Tentang Adli

Foto saya
yogyakarta, D.I.Y, Indonesia
Welcome !!!

Rabu, 06 Juni 2012

KORUPSI DALAM KACAMATA MARXISME

Selama ini orang menyoroti korupsi dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyorotinya dari sudut pandang bobroknya moral, agama, hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya.... Tapi, sepanjang pengamatanku, belum ada yang menyorotinya dari sudut pandang Marxisme. Nah, untuk itulah dalam kesempatan ini (4-Juni-2012) aku ingin mengisi kekosongan itu dan sebagai pengisi kesempatanku tentang apa yang aku pikirkan belakangan ini.


Walaupun Marxisme sering dicemooh di sana-sini dan dianggap aliran sesat oleh beberapa orang atau kelompok, menurut-ku ajaran Marxisme masih sangat relevan untuk menganalisis fenomena dan dinamika sosial-budaya-ekonomi kemasyarakatan. Berikut ini salah satu analisis Marxisme terhadap korupsi.

Dalam literatur Marxisme dikenal istilah AKUMULASI PRIMITIF (dalam bahasa David Harvey di sebut dengan AKUMULASI MELALUI PENJARAHAN). Apa itu akumulasi primitif? Secara sederhana akumulasi primitif itu memiliki pengertian PROSES PEMISAHAN PEKERJA DENGAN ALAT PRODUKSINYA. Itu pengertian sederhananya, tetapi dalam pengertian yang luas, akumulasi primitif, menurut David Harvey, menjelma dalam bentuk-bentuk deregulasi, pencabutan subsidi, privatisasi, penciptaan ketergantungan, proses hegemoni dan penciptaan ruang. Mari kita ulas tentang penciptaan ruang dalam tradisi kapitalisme: Penciptaan ruang yang dimaksud di sini adalah aktivitas para kapitalisme mencari tempat-tempat yang strategis untuk melakukan penetrasi modalnya dan kemudian melakukan akumulasi kapital (penumpukan keuntungan). Munculnya berbagai kota-kota di negara, dalam perspektif Marxisme, sebenarnya ulah dari para pemilik modal besar (kapitalisme) dalam menciptakan ruang demi untuk menjalankan bisnis-nya yang bercorak kapitalis.

Dalam hal menciptakan ruang (akumulasi primitif) demi untuk akumulasi kapital, para kapitalis tidak saja mendorong terbangunnya berbagai kota-kota di suatu negara, tetapi juga para kapitalis itu juga berusaha untuk mendorong terciptanya ruang-ruang abstrak dalam bentuk prilaku manusia-manusia yang memegang jabatan di suatu negara. Bentuk konkret dari penciptaan ruang abstrak tersebut adalah mendorong para pejabat atau para pemimpin disuatu negara untuk menumbuh kembangkan penyakit korup atau rakus akan kekayaan materiil.

Pertanyaannya adalah: Mengapa para kapitalis itu (kapitalis yang aku maksud di sini adalah kapitalis-multinasional/imperialis) mendorong agar para pejabat itu menumbuh kembangkan penyakit korup? Jawabannya sederhana: Bahwa dengan berhasilnya para kapitalis menumbuh kembangkan penyakit korup di dalam kepribadian para pejabat negara tersebut, maka para kapitalis tersebut dapat dengan mudah membeli mereka. Bukti yang paling nyata yang terjadi di Indonesia adalah, telah terbelinya pejabat-pejabat Indonesia oleh asing yang ditandai dengan menggilanya produk-produk hukum (kebijakan pemerintah) yang terlahir atas dasar seruan atau perintah dari asing, undang-undang dasar 1945 amandemen misalnya, atau undang-undang nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi misalnya, atau undang-undang tentang ketenagakerjaan yang melegalkan tentang kerja kontrak (outsourching). Jadi, MENTAL KORUP dari para pejabat tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh para kapitalis dalam tataran akumulasi primitif atau akumulasi melalui penjarahan.

Berikut ini aku kutipkan pengakuan USAID (United State Agency for International) yang penulis comot dari situs resmi USAID:

“USAID telah membantu merancang draf Rancangan Undang-Undang Migas yang diserahkan kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada Oktober 2002. Rancangan Undang-Undang ini akan meningkatkan persaingan dan efesiensi dengan mereduksi peran Pertamina di bidang eksplorasi dan produksi. Sektor migas yang lebih efisien akan menurunkan harga, meningkatkan kualitas produk bagi konsumen, meningkatkan penerimaan negara, dan memperbaiki kualitas udara. USAID akan terus bekerja dalam menyusun peraturan pelaksanaan undang-undang migas.

Untuk proyek tahun 2001, USAID mengnggarkan dana sebesar US$ 850.000 untuk menyokong LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan perguruan tinggi dalam mengembangkan program peningkatan kesadaran dan dukungan bagi keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat pada isu-isu sektor energi, termasuk penghapusan subsidi energi dan pengurangan bensin bertimbal."

Dari pengakuan USAID tersebut, sudah jelas kepentingan para imperialis yang diejawantahkan melalui USAID berusaha menggiring perekonomian Indonesia ke ranah persaingan pasar dan efesiensi. Yang namanya persaingan sudah pasti ada pihak yang kuat dan lemah dan pihak yang lemah pun harus remuk-redam ketika bersaing dengan raksasa-raksasa kapital di wilayah pasar. Sedangkan esensi dari efesiensi adalah memanfaatkan sumber daya seirit-iritnya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal terakhir inilah yang kemudian melegalkan para imperialis untuk mengeruk kekayaan alam di Indonesia (Freeport di Papua misalnya atau tambang-tambang Migas di Pangkalan Brandan atau tambang nikel di Ternate) dan menindas pekerja atau buruh dan merusak alam Indonesia. Berkali-kali penulis tekankan di sini, keberhasilan dari imperialis untuk mendikte Indonesia pada tahap awalnya kapitalis harus membuka jalannya terlebih dahulu, dengan cara menciptakan pejabat-pejabat bermental korup. Pejabat yang bermental korup inilah yang sangat mudah disuap, diiming-imingi kenikmatan materiil (coba saja perhatikan para pejabat yang sangat doyan dan rakus dengan kesenangan materiil seperti desakannya untuk menaikan gaji, meniduri perempuan yang bukan istrinya, cabul, kerjaan tidur diwaktu rapat...dan lain-lain...dan sebagainya). Ketika mereka mudah disuap (dibeli) pada saat itulah kapitalis-imperialis akan menyuap mereka demi untuk meng-GOAL-kan kepentingannya melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Mungkin kawan-kawan ada yang bertanya, bukankah kelakuan korup tersebut akan merugikan para kapitalis dalam mengakumulasi kapitalnya (penumpukan keuntungan)? Itu benar sekali kawan, tapi dalam tataran ketika akumulasi primitif itu telah tercipta. Perlu selalu diingat watak dari kapitalisme adalah PENGORBANAN SEDIKIT, DEMI UNTUK MENGERUK KEUNTUNGAN SEBESAR-BESARNYA! Pada tataran penciptaan ruang abstrak, para kapitalis itu telah berhitung untung dan ruginya mendorong para pejabat-pejabat negara itu memiliki sifat rakus atau korup. Mereka tentunya berpikir, pengeluaran kita para kapitalis luar biasa sangat kecil untuk mendorong tumbuhnya sifat rakus, ketimbang keuntungan yang kita peroleh dengan mengeruk kekayaan di suatu negeri, di Indonesia salah satunya.

Yang menggeletik adalah kenapa para korporasi asing yang tahu betul bahwa Soeharto dan kaki tangannya itu adalah para pejabat KORUP bersedia untuk menyuntikan dana segarnya melalui IMF? Sudah jelas apabila dipakai analisis Marxisme dalam landscap penciptaan ruang, justru prilaku korup tersebutlah yang akan memberikan peluang besar bagi para kapitalis untuk melakukan penetrasi modalnya di Indonesia demi untuk kepentingan akumulasi modalnya lebih lanjut.

Naaaaah, ketika ruang-ruang tersebut telah tercipta, dan kapitalis-kapitalis multinasional itu telah mapan dalam berbisnis di suatu negeri (baca: Indonesia) pada saat itulah para kapitalis ini menyerukan: GANYANG PARA KORUPTOR! GANTUNG PARA KORUPTOR! BANTAI PARA KORUPTOR! Seruan ini jelas, dilakukan oleh para kapitalis tersebut untuk mengamankan aktivitasnya dalam mengakumulasi modal-nya. TERKUTUKLAH PARA KAPITALIS ITU!

Berangkat dari ulasanku tentang korupsi dalam kacamata Marxisme ini dapatlah ditarik sebentuk garis pemahaman bahwa proyek pengganyangan terhadap korupsi bukan saja proyek dari rakyat Indonesia yang menginginkan para koruptor itu dibersihkan, tetapi juga proyek dari para imperialis yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, akan sangat lucu apabila gerakan anti korupsi ini tidak dibarengi dengan gerakan mengusir para imperialis-imperialis yang tengah beroperasi di Indonesia. Mereka itu, para imperialis itu, kata Soekarno adalah tidak lebih dari sosok Rahwana Dasamuka Bermulut Sepuluh dimana kelakuannya ibarat ular naga nyai blorong, mulutnya dengan rakus mencari makan di Indonesia tetapi perutnya ada di luar negeri.

*Sumber : Ismantoro Dwi Yuwono
--Pembelajar Sosialisme-Ilmiah--