Judul di atas adalah kutipan dari kaus yang sering dipakai Dadang.
Seorang pria yang mengenalkan dirinya sebagai pelukis dan mendirikan
sebuah organisasi bernama Jaringan Kafir Liberal—disingkat JAKAR.
Akronim yang ingin dinisbatkan pada kelamin laki-laki, namun karena
Dadang memiliki lidah Sunda maka pengucapan ”z” terpeleset menjadi ”j”.
Kaus ”Demi Tuhan Saya Atheis” dipakai ke mana-mana oleh Dadang, baik
pada acara-acara diskusi, pertemuan di hotel-hotel mewah, hingga
lesehan-lesehan santai atau seperti pengakuan Dadang sendiri
pengajian-pengajian yang dihadiri orang berjubah dan berjenggot.
Tidak hanya memaklumkan bahwa dirinya ”atheis” dan ”kafir liberal”
Dadang juga memberikan kritik yang tajam -- yang disertai gurauan dan
cengengesan -- terhadap agama-agama yang disebutnya ”impor”.
Agama-agama yang diklaim resmi di negeri ini dalam kategori Dadang --
dan saya pun bersetuju -- semua adalah ”agama-agama impor”. Dadang pun
menyatakan, pengikut-pengikut dari ”agama-agama impor” inilah yang tak
sedikit membuat keributan, dan menyingkirkan agama dan kepercayaan
”asli” di negeri ini.
Setelah menarik perhatian dengan diktum dan organisasi yang
dibentuknya, Dadang pun menawarkan kaus hasil sablonannya itu. Dadang
juga aktif di media sosial: facebook dan twitter.
Kemunculan Dadang bersama penyataan, kaus, komentar dan ”jaringan”nya
di acara-acara umum ditanggapi santai, penuh gurau dan geli. Tak ada
yang menganggap Dadang melakukan penodaan agama. Tak ada yang menganggap
serius atau diambil hati.
Meskipun tak jarang kemunculan Dadang seperti sabotase terhadap acara
diskusi yang serius. Yang sebelumnya kening sampai berkerut, dan para
narasumber berdebat sampai urat leher benjol-benjol, ketika Dadang
muncul tertawa terbahak-bahak mendengar komentar Dadang itu.
Meskipun aktif ”berkampanye” via kaus, facebook, twitter, dan
”berkhotbah” di diskusi-diskusi, adakah yang terpengaruh menjadi atheis
atau tertarik masuk JAKAR versi Dadang? Setahu saya belum ada.
Namun nasib Alexander Aan seorang pegawai negeri di Dharmasraya,
Sumatra Barat tak semujur nasib Dadang di Jakarta. Kini ia diadili
dengan dakwaan menistakan agama hanya karena pengakuannya sebagai atheis
melalui akun di facebook.
Proses Aan menjadi atheis terlihat alamiah, ia mempertanyakan kuasa
Tuhan di tengah kezaliman-kezaliman yang ditemui di sekelilingnya. Kalau
manusia bisa berbuat apa saja, jahat, buruk, kejam, brutal, dan seperti
dibiarkan, di mana Tuhan yang Mahapengasih dan Mahapenyayang?
Pertanyaan yang klasik dan tua, setua gugatan manusia terhadap konsep
agama, keadilan, dan kuasa Tuhan. Namun ternyata bagi masyarakat
sekitarnya ditimpali dengan kehebohan dan ancaman fisik.
Polisi yang awalnya dengan dalih mengamankannya dari amuk massa,
ternyata menetapkannya sebagai tersangka, proses pun bergulir hingga
kini ia duduk di kursi pesakitan, hanya gara-gara ia mempertanyakan lagi
kuasa Tuhan dan agama dalam merespon kezaliman dan kejahatan yang
terjadi dalam kehidupan dunia ini.
Karakter dan tulisan Aan mungkin tidak seperti Dadang yang penuh gurau
dan galau, ia dianggap serius dengan pernyataan-pernyataannya, kalau
serius mengapa tidak ditanggapi dengan serius juga dengan bantahan balik
dan argumentasi yang bisa mematahkan klaim-klaimnya?
Kalau Aan dianggap ”tersesat” karena mengaku dirinya sebagai atheis,
mengapa pihak yang superior yang menganggap dirinya paling benar dan
beriman tidak menunjukkan jalan yang lurus dan benar? Dengan cepat-cepat
ingin membungkam dan memasukkan Aan ke dalam penjara secara tidak
langsung mereka menganggap bahwa pendapat dan komentar Aan bisa
menaklukkan dan mematahkan keyakinan mereka terhadap Tuhan dan agama.
Saya teringat ucapan Gus Mus (KH Mustofa Bisri), hal yang ironis ada
pihak yang dianggap tersesat, tapi bukan ditunjukkan jalan yang benar
justru dikamplengi (ditempeng, dipukul).
Apakah dengan intimidasi melalui massa, jeratan pasal-pasal karet,
ancaman mendekam dalam jeruji lima tahun bisa mengubah keyakinan Aan?
Saya yakin tidak. Kekerasan terhadapnya hanya akan mempertebal apa yang
sudah ia yakini sebelum ini.
Justru saya merasa dengan melakukan kekerasan, intimidasi, dan
penghakiman terhadap Aan secara tidak langsung kita sudah membenarkan
sangkaan atheisme, bahwa kekerasan dan kezaliman sering diatasnamakan
oleh pengikut yang mengaku bertuhan dan beragama.
Tiba-tiba saya mendengar Dadang berkata sambil terkekeh-kekeh, ”karena itu, demi Tuhan, Saya Atheis”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar