Tentang Adli

Foto saya
yogyakarta, D.I.Y, Indonesia
Welcome !!!

Jumat, 20 Juli 2012

Demi Tuhan Saya Atheis


Mohamad Guntur Romli

Judul di atas adalah kutipan dari kaus yang sering dipakai Dadang. Seorang pria yang mengenalkan dirinya sebagai pelukis dan mendirikan sebuah organisasi bernama Jaringan Kafir Liberal—disingkat JAKAR. Akronim yang ingin dinisbatkan pada kelamin laki-laki, namun karena Dadang memiliki lidah Sunda maka pengucapan ”z” terpeleset menjadi ”j”. 
 
Kaus ”Demi Tuhan Saya Atheis” dipakai ke mana-mana oleh Dadang, baik pada acara-acara diskusi, pertemuan di hotel-hotel mewah, hingga lesehan-lesehan santai atau seperti pengakuan Dadang sendiri pengajian-pengajian yang dihadiri orang berjubah dan berjenggot. 
 
Tidak hanya memaklumkan bahwa dirinya ”atheis” dan ”kafir liberal” Dadang juga memberikan kritik yang tajam -- yang disertai gurauan dan cengengesan -- terhadap agama-agama yang disebutnya ”impor”. 
 
Agama-agama yang diklaim resmi di negeri ini dalam kategori Dadang -- dan saya pun bersetuju -- semua adalah ”agama-agama impor”. Dadang pun menyatakan, pengikut-pengikut dari ”agama-agama impor” inilah yang tak sedikit membuat keributan, dan menyingkirkan agama dan kepercayaan ”asli” di negeri ini.
 
Setelah menarik perhatian dengan diktum dan organisasi yang dibentuknya, Dadang pun menawarkan kaus hasil sablonannya itu. Dadang juga aktif di media sosial: facebook dan twitter. 
 
Kemunculan Dadang bersama penyataan, kaus, komentar dan ”jaringan”nya di acara-acara umum ditanggapi santai, penuh gurau dan geli. Tak ada yang menganggap Dadang melakukan penodaan agama. Tak ada yang menganggap serius atau diambil hati. 
 
Meskipun tak jarang kemunculan Dadang seperti sabotase terhadap acara diskusi yang serius. Yang sebelumnya kening sampai berkerut, dan para narasumber berdebat sampai urat leher benjol-benjol, ketika Dadang muncul tertawa terbahak-bahak mendengar komentar Dadang itu.
 
Meskipun  aktif  ”berkampanye” via kaus, facebook, twitter, dan ”berkhotbah” di diskusi-diskusi, adakah yang terpengaruh menjadi atheis atau tertarik masuk JAKAR versi Dadang? Setahu saya belum ada. 
  
Namun nasib Alexander Aan seorang pegawai negeri di Dharmasraya, Sumatra Barat tak semujur nasib Dadang di Jakarta. Kini ia diadili dengan dakwaan menistakan agama hanya karena pengakuannya sebagai atheis melalui akun di facebook. 
 
Proses Aan menjadi atheis terlihat alamiah, ia mempertanyakan kuasa Tuhan di tengah kezaliman-kezaliman yang ditemui di sekelilingnya. Kalau manusia bisa berbuat apa saja, jahat, buruk, kejam, brutal, dan seperti dibiarkan, di mana Tuhan yang Mahapengasih dan Mahapenyayang? 
 
Pertanyaan yang klasik dan tua, setua gugatan manusia terhadap konsep agama, keadilan, dan kuasa Tuhan. Namun ternyata bagi masyarakat sekitarnya ditimpali dengan kehebohan dan ancaman fisik. 
 
Polisi yang awalnya dengan dalih mengamankannya dari amuk massa, ternyata menetapkannya sebagai tersangka, proses pun bergulir hingga kini ia duduk di kursi pesakitan, hanya gara-gara ia mempertanyakan lagi kuasa Tuhan dan agama dalam merespon kezaliman dan kejahatan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini.
 
Karakter dan tulisan Aan mungkin tidak seperti Dadang yang penuh gurau dan galau, ia dianggap serius dengan pernyataan-pernyataannya, kalau serius mengapa tidak ditanggapi dengan serius juga dengan bantahan balik dan argumentasi yang bisa mematahkan klaim-klaimnya?  
 
Kalau Aan dianggap ”tersesat” karena mengaku dirinya sebagai atheis, mengapa pihak yang superior yang menganggap dirinya paling benar dan beriman tidak menunjukkan jalan yang lurus dan benar? Dengan cepat-cepat ingin membungkam dan memasukkan Aan ke dalam penjara secara tidak langsung mereka menganggap bahwa pendapat dan komentar Aan bisa menaklukkan dan mematahkan keyakinan mereka terhadap Tuhan dan agama. 
 
Saya teringat ucapan Gus Mus (KH Mustofa Bisri), hal yang ironis ada pihak yang dianggap tersesat, tapi bukan ditunjukkan jalan yang benar justru dikamplengi (ditempeng, dipukul).
 
Apakah dengan intimidasi melalui massa, jeratan pasal-pasal karet, ancaman mendekam dalam jeruji lima tahun bisa mengubah keyakinan Aan? Saya yakin tidak. Kekerasan terhadapnya hanya akan mempertebal apa yang sudah ia yakini sebelum ini. 
 
Justru saya merasa dengan melakukan kekerasan, intimidasi, dan penghakiman terhadap Aan secara tidak langsung kita sudah membenarkan sangkaan atheisme, bahwa kekerasan dan kezaliman sering diatasnamakan oleh pengikut yang mengaku bertuhan dan beragama. 
 
Tiba-tiba saya mendengar Dadang berkata sambil terkekeh-kekeh, ”karena itu, demi Tuhan, Saya Atheis”   

Muslim-muslim yang feminis

Muslim-Muslim yang Feminis
Kontribusi ”Male Feminist” Muslim terhadap Wacana Kesetaraan Gender


Makin banyak perempuan dihormati dalam suatu masyarakat maka semakin beradab masyarakat itu, namun apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk meraih kebebasan, tandanya masyarakat itu mengikuti kebiasaan barbar. (Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi)

Tidak terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya. Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki. (Qasim Amin)

Percakapan male feminist dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari beberapa nama laki-laki yang terlibat dalam wacana perempuan sejak pertengahan abad ke-19. Salah satu tokoh yang dikenal luas adalah Qasim Amin seorang sarjana hukum dan pengacara yang menulis buku Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) pada tahun 1899.

Menempatkan tokoh laki-laki itu khususnya Qasim Amin dalam ranah ”muslim feminis” – istilah ini selanjutnya menggantikan male feminist – lebih tepat dari pada menyematkan sebutan-sebutan yang berlebihan yang menyulut kontroversi. Misalnya sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak Feminisme Islam” atau ”Pelopor Pembebasan Perempuan”. Sebutan ini jelas ahistoris karena menafikan peran perempuan-perempuan yang sezaman atau sebelum Qasim Amin dalam wacana dan gerakan perempuan. Sebutan ini juga ditolak mentah-mentah oleh sebagian kalangan feminis dengan tudingan bahwa dengan sebutan itu seolah-olah laki-lakilah yang mengawali pembebasan perempuan atau perempuan masih butuh laki-laki untuk bebas.

Kritik yang datang dari Laila Ahmed dalam bukunya Gender and Women in Islam menantang sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak Feminisme Mesir”. Bagi Laila, Qasim memiliki kontak yang sangat terbatas dengan perempuan-perempuan Mesir waktu itu, artinya tidak semua kelas perempuan bisa diamati oleh Qasim, sehingga cenderung mengeneralisasi kesimpulan tentang perempuan Mesir. Alasannya adalah bahwa pada masa itu segregasi gender dalam masyarakat Mesir sangat kuat. Akses Qasim sangat terbatas pada keluarga terdekat, pelayan atau mungkin pelacur. Sehingga Qasim menyuguhkan sebuah model yang cenderung stereotipe tentang perempuan Mesir sebagai perempuan yang terbelakang, bodoh dan jauh tertinggal dari ”saudari-saudari” Eropa mereka.

Kritik lain datang dari tokoh Feminis Mesir kontemporer, Nawal Saadawi, yang sering digolongkan sebagai feminis radikal dan marxis.(1) Nawal Saadawi mengkritik ”pemujaan” yang berlebihan pada Qasim Amin yang riwayat hidupnya dijadikan sinetron dalam 40 episode yang ditayangkan oleh televisi Mesir selama bulan Desember 2002. Tak hanya ”pengistimewaan” terhadap Qasim yang dikritik, peran Putri Nazli Fadhil dalam sinetron itu yang menurut Nawal dilebih-lebihkan sebagai seorang bangsawan Mesir yang ruang-tamunya (shalûn) dipenuhi tokoh-tokoh Mesir seperti Syekh Muhammad Abduh (mufti Mesir), Qasim Amin, Saad Zaghlul, Luthfi Sayyid dan lain-lain. Apakah karena Nazli seorang bangsawan sehingga kisah hidupnya menarik untuk diangkat? Bagaimana dengan ruang-tamu May Ziyadah seorang perempuan sastrawan yang penuh dengan kegiatan sastra dan berlangsung hingga tahun 1913? Bagaimana dengan peran perempuan penulis lainnya seperti Aisyah Taimuriyah (1840-1903) atau Zainab Fawwaz yang sezaman dengan Qasim? Atau peran Malak Hifni Nashif yang terkenal dengan nama penanya Bahitsah al-Badiyah (Penulis Desa) yang hidup antara 1886-1918, yang tulisan-tulisan sangat tajam dan kuat untuk melawan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan? Bagi Nawal, ide-ide Malak Hifni jauh lebih maju dibanding tulisan Qasim Amin atau Rifaah al-Thahtawi. Malak Hifni menyebut bahwa tulisan-tulisan al-Thahtawi hanya sampai di level ”ishlah” (reformasi) sementara Qasim Amin hanya level “tahrîr” (pembebasan) saja.(2)

Bagi saya, sebutan untuk Qasim Amin itu memang berlebihan dan cenderung kontraproduktif. Sebutan itu bertujuan menghargai jasa Qasim Amin, namun dengan istilah yang berlebihan justru mendatangkan hujatan bagi Qasim Amin. Selanjutnya yang dilihat bukan subtansi ide yang telah ditulis oleh Qasim Amin tentang perempuan – yang bagi saya sangat bernas, tajam dan luar biasa – namun tak jarang fokus hujatan itu pada jenis kelamin Qasim Amin sebagai laki-laki. Saya sepakat untuk menanggalkan gelar yang ahistoris itu, dan bagi saya, yang lebih tepat adalah mendudukkan wacana yang dikemukakan oleh Qasim Amin dan tokoh laki-laki lainnya tentang perempuan dalam ranah ”muslim (yang) feminis” bukan sebagai ”pelopor” apalagi sebutan ”bapak” feminisme Islam.

Dalam ranah ini, kita akan menemukan sosok-sosok ”muslim yang feminis” yang memiliki kepedulian dan keterlibatan dalam sejarah perempuan. Saya memilih tiga nama tokoh muslim yang masuk dalam ranah ”muslim yang feminis” yaitu: Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi, Syaikh Muhammad Abduh dan Qasim Amin.

Ketiga tokoh ini berada dalam sebuah era yang disebut nahda (kebangkitan untuk reformasi dan modernisasi Islam) yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 yang berawal dari Mesir. Waktu itu seolah-olah telah menjadi kesepakatan umum bagi para tokoh dan intelektual nahda bahwa perempuan yang bebas, terpelajar dan mandiri adalah syarat utama dari kebangkitan umat Islam. Maka, pembebasan dan pemberdayaan perempuan merupakan agenda yang melekat dan tidak bisa dipisahkan dari agenda besar itu. Era itu juga mendorong kemunculan bagi “muslim-muslim yang feminis” ini.

Fokus catatan saya pada masa itu adalah bahwa “pandangan laki-laki” dalam masyarakat yang sangat patriarkis dan maskulin mulai diuji dan dikritik. Dan pihak yang melancarkan kritik yang sengit ini datang dari kaum laki-laki sendiri. Mereka menguji “kelelakian” yang melahirkan suatu standard norma, penilaian, dan penghakiman terhadap “keperempuanan”. Laki-laki mulai mendekonstruksi “standard kelelakian” terhadap pelbagai masalah: kemuliaan perempuan, tubuh perempuan, sekaligus mencari sebab mengapa perempuan harus ditindas dan sengaja tidak diberi akses pendidikan. Apakah kadar laki-laki bisa lebih tinggi setelah merendahkan kadar perempuan? Atau sebaliknya, laki-laki merasa laki-laki dalam posisi yang setara dengan perempuan?

Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873)

Dalam penelusuran saya, Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahthawi adalah “muslim feminis” pertama di era modern Islam yang menggedor kesadaran umat untuk meninggalkan penindasan terhadap perempuan. Syaikh Rifaah dikenal sebagai pelopor liberalisme karena pandangannya terhadap politik, masyarakat dan pendidikan terinspirasi dari tradisi kemodernan Perancis dan tidak merujuk pada tradisi Islam – meskipun ia seorang ulama al-Azhar. Rifaah lulus dari al-Azhar pada 1825, ia direkomendasikan oleh gurunya Syaikh Hasan al-Aththar pada penguasa Mesir (saat itu Muhammad Ali) untuk ikut rombongan pelajar Mesir ke Perancis yang akan belajar ilmu, pengetahuan dan persenjataan modern.

Selama lima tahun Rifaah al-Thahtawi belajar di Perancis. Menurut pengakuannya ia belajar etika, filsafat sosial dan politik, matematika dan geometri. Ia juga membaca karya-karya intelektual Perancis saat itu seperti Condillac, Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan Bezout. Perjalanan hidup di Perancis dituturkan oleh Rifaah al-Thahtawi dalam sebuah buku-memoar Takhlîsh al-Ibrîz fi Talkhîsh Baris yang memuat amatan dia terhadap kota dan masyarakat Perancis dari sisi politik, sosial dan budaya serta tak luput potret terhadap perempuan Perancis. Buku yang ditulis sistematis dalam bahasa sastrawi ini diterbitkan di Kairo pada 1834, tiga tahun setelah ia kembali dari Paris.

Di Paris, Rifaah al-Thahtawi menyaksikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan di negeri ini memiliki kebebasan, pendidikan yang tinggi dan bisa bergaul secara luas. Kebebasan itu tidak mengundang pelecehan dan stigma yang negatif terhadap perempuan. Keadaan ini bertolak belakang dengan kondisi perempuan di negerinya yang menetapkan kemuliaan dan kesucian perempuan dengan pingitan; jika terpaksa pergi ke luar rumah – yang hanya untuk hal darurat – harus dibungkus oleh hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Kaum perempuan di negerinya pun tidak terdidik. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perempuan terhadap aturan-aturan tadi akan membuat mereka dianggap sebagai perempuan yang imoral dan hampir mustahil memperoleh jodoh.

Bagi Rifaah, perempuan Perancis memiliki standard kemuliaan dan kesucian tersendiri meski mereka bergaul luas dan bercampur-baur dengan laki-laki (al-ikhtilâth). Sumber kemuliaan perempuan itu adalah pendidikan: “Kesucian (‘iffah) perempuan bukan dengan membuka atau membungkus mereka tapi bersumber dari pendidikan yang baik....”(3)

Kemuliaan perempuan tidak terletak pada secarik bungkus. Dalam ranah ini, Rifaah al-Thahtawi seolah-olah ingin mengkritik tradisi hijab di Mesir yang merupakan standard kemuliaan perempuan, sedangkan yang tidak berhijab dituding perempuan hina. Perempuan di Paris memiliki pendidikan yang baik berarti mereka perempuan mulia meski tidak berhijab.

Rifaah juga menyaksikan perempuan itu menari dengan para laki-laki dan tradisi ini tidak dianggap imoral. Rifaah melihatnya sebagai seni: “Mayoritas penduduk Perancis menari, dan kebiasaan ini tampaknya sebagai keakraban bukan hal yang dianggap fasik, berbeda dari tarian di negeri Mesir yang penarinya hanya kaum perempuan yang tujuannya membangkitkan berahi.”

Rifaah al-Thahtawi, yang lahir di pedalaman Mesir, lulus dari lembaga agama yang sangat tradisional, memiliki pandangan yang sangat terbuka dan jauh dari penghakiman dan tidak mengalami “benturan budaya”. Ia menemukan hakikat kemuliaan perempuan di negeri lain. Meskipun ada perbedaan adat-istiadat Rifaah tidak membawa pandangan umum laki-laki di negerinya.

Bagi Rifaah al-Thahtawi, pendidikan adalah rahim bagi kelahiran perempuan modern. Sejak tiba di Mesir ia melakukan reformasi pendidikan di Mesir. Ketika ia masuk dalam Komite Reformasi Pendidikan di Mesir pada 1836, ia mengusulkan dibukanya sekolah khusus perempuan, namun gagal karena kondisi Mesir yang tidak memungkinkan. Meskipun demikian tetap dibuka sekolah khusus untuk perawat dan bidan.(4)

Rifaah pernah disingkirkan oleh penguasa Mesir saat itu yaitu Khadewi Abbas yang menentang proyek modernisasi dan menutup sekolah-sekolah. Pada 1848 Rifaah diasingkan ke Khortum, Sudan, dengan dalih membangun sekolah dasar! Rifaah menghabiskan enam tahun di daerah pembuangannya itu dengan menerjemahkan sebuah novel terkenal Les aventures de Télémaque (Pertualangan Telemachus) karya penulis Perancis François Fénelon pada abad ke-17. Rifaah al-Thahtawi baru bisa kembali ke Kairo dan dipulihkan jabatannya setelah Abbas mangkat pada 1854.

Perhatian Rifaah al-Thahtawi terhadap pendidikan perempuan tertuang kembali dalam karyanya Manâhij al-Albab al-Mishriyah fil Âdâb al-‘Ashriyah – sebuah buku tentang tentang cita-cita masyarakat madani yang dibangun melalui ilmu-ilmu humaniora modern. Buku terpenting karyanya tentang pendidikan perempuan berjudul al-Mursyid al-Amîn lil Banât wal Banîn (Petunjuk Terpercaya untuk Anak Perempuan dan Laki-Laki). Buku yang terdiri dari 7 bab dan 50 sub-bab ini diterbitkan pertama kali pada 1872.

Buku ini menuntut pendidikan bagi perempuan. Rifaah al-Thahtawi menilai laki-laki yang menolak pendidikan perempuan laki-laki itu memiliki kecemburuan yang berlebihan. Rifaah menilai sikap ini ditemukan dalam kebiasaan lokal Mesir dan menyebutnya sebagai “kebiasaan jahiliyah”. Rifaah menjadikan standard keadaban masyarakat tergantung pada seberapa banyak perempuan yang dihormati dalam masyarakat itu.

“Makin banyak perempuan dihormati dalam suatu masyarakat, berarti semakin banyak keberadaban masyarakat itu, namun apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk mendapatkan kebebasan – yang seharusnya mereka miliki – hal ini menunjukkan pada kebiasaan barbar.(5)

Rifaah memiliki pengamatan yang tajam dan sangat tepat ketika menangkap ketakutan laki-laki dan kecemburuan laki-laki pada perempuan yang pandai – suatu pandangan yang masih berlaku hingga saat ini. Padahal perempuan yang terdidik “menguntungkan” bagi laki-laki.

Pertama, perempuan yang terpelajar, kata Rifaah, akan mampu berinteraksi secara baik dengan laki-laki, bisa berdialog dan bertukar pendapat (wa yaj’aluhunna bil ma’ârifi ahlan wa yashluhunna bihi li musyârakati al-rijâl fil kalâm wal ra’yi) . Perempuan yang memiliki kemampuan membaca dan menulis adalah bagian yang terpenting dari kesempurnaan perempuan dan menjadi sebab utama ketertarikan laki-laki yang terpelajar kepadanya dari pada soal kecantikan. Perempuan yang terdidik tidak perlu cantik, tapi perempuan yang cantik tak bisa lepas dari pendidikan.(6)

Kedua, perempuan yang terpelajar akan berpengaruh pada pendidikan dan karakter anaknya. Rifaah al-Thahtawi mengandaikan seorang anak perempuan yang melihat ibunya gemar membaca, mampu mengatur urusan rumah tangga dan sibuk mendidik anak-anaknya maka anak perempuan itu akan terdorong untuk menjadi seperti ibunya.(7)

Ketiga, perempuan yang terpelajar akan memiliki pekerjaan dan kesibukan sedangkan perempuan yang menganggur akan melahirkan kebiasaan yang buruk: gemar gosip dan mudah iri hati. Pekerjaan akan menjaga perempuan dari hal-hal yang tidak terpuji itu. Bahkan, menurut Rifaah al-Thahtawi, kalau pengangguran dianggap keburukan bagi laki-laki, maka pengangguran jauh lebih buruk lagi untuk perempuan.(8)

Rifaah al-Thahtawi juga mengkritik pandangan laki-laki yang melihat perempuan hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang saja. Padahal, kata Rifaah, perempuan itu persis seperti laki-laki baik anggota tubuhnya, keperluannya, inderanya yang lahir dan batin maupun sifat-sifatnya; bisa dikatakan struktur perempuan itu menyerupai struktur laki-laki.(9) Orang yang berakal, kata Rifaah, akan menemukan perbedaan yang sangat tipis antara laki-laki dan perempuan kecuali masing-masing memiliki alat reproduksi yang berbeda; hanya dari sisi ini akan tampak perbedaan.(10) Selain sisi tadi laki-laki dan perempuan benar-benar sama.

Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905)

Muhammad Abduh adalah seorang ulama lulusan al-Azhar pada 1877. Pada awalnya ia sangat terpengaruh oleh Jamaluddin al-Afghani, penggerak “Pan-Islamisme” sebagai elan untuk melawan kolonialisme asing. Akibat aktivitas politiknya Abduh bersama al-Afghani diasingkan, salah satunya ke Perancis; di negeri inilah ia bertemu Qasim Amin yang menjadi penerjemahnya. Pemikiran keagamaan Abduh sangat berpengaruh pada pemikiran Qasim Amin. Setelah kembali ke Mesir, Abduh mengubah siasatnya. Setelah sebelumnya menjadi seorang “revolusioner” dengan mengikuti Jamaluddin al-Afgani, kemudian ia menjadi seorang “reformis” untuk melakukan agenda-agenda reformasi dalam agama, pendidikan dan peradilan agama. Agenda ini berjalan semakin efektif ketika Abduh diangkat menjadi mufti Mesir pada 1899 hingga ia wafat pada 1905.

Muhammad Abduh berikhtiar untuk mengembalikan rasionalitas Islam yang, menurutnya, merupakan dasar dari modernitas Islam. Berbeda dari al-Thahthawi yang liberal – yang memandang modernitas ada di Barat dengan melakukan penerjemahan khazanah intelektual, politik, sastra, hingga peraturan dan perundang-undangan Perancis ke dalam bahasa Arab dan Turki – Abduh tidak melakukan proses ini, karena di samping tidak memiliki pendidikan Barat, Abduh sendiri berkeyakinan bahwa Islam telah menyediakan prinsip-prinsip modernitas. Oleh karena itu, Abduh berusaha menemukan kembali elan kemajuan dalam Islam dengan menyingkap aspek-aspek rasionalitas. Abduh menegakkan kembali supremasi nalar manusia yang selama berabad-abad telah ditaklukkan oleh kebodohan, kejumudan dan irasionalitas. Bagi Abduh, Islam dulu pernah jaya karena ditopang oleh penalaran yang kuat. Sebab kemunduran umat Islam, bagi Abduh, telah jelas: hilangnya supremasi akal dalam umat Islam.

Inilah agenda utama Abduh dalam melakukan penafsiran kembali terhadap doktrin-doktrin Islam melalui arahan “akal yang tercerahkan”. Sebagai seorang sarjana muslim dan Mufti Mesir saat itu, penafsiran Abduh sangat otoritatif. Dalam konteks perempuan, bagi Abduh, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan sangat bertentangan dengan Islam, karena Islam, menurut Abduh, memuat ajaran yang mengedepankan kesetaraan. Kalau penindasan perempuan pada periodenya membawa doktrin-doktrin Islam, maka Abduh menyuguhkan kembali tafsir yang modern tentang perempuan. Model tafsir yang dikembangkan Abduh adalah dengan melacak kembali sosio-historis(11) ayat-ayat al-Quran melalui dua proses: pertama ayat-ayat itu turun dalam lanskap budaya setempat abad ke-7 Masehi. Oleh karena itu, ayat dan aturan tentang perempuan harus dikaitan dengan sebab turunnya (asbâb al-nuzûl) yang bersumber dari kejadian dan adat-istiadat bangsa Arab waktu itu. Kedua bagaimana al-Quran dipahami kembali dalam konteks kehidupan Abduh pada akhir abad ke-19 yang mengusung jargon kemajuan, rasionalitas dan modernitas.

Kepedulian Abduh terhadap perempuan tertuang dalam tulisan-tulisannya di al-Waqâ’i’ al-Mishriyah – media yang diterbitkan oleh Pemerintah Mesir yang berisi laporan kejadian-kejadian di Mesir – pada 1881 sebelum Abduh menjadi Mufti Mesir. Dalam media itu Abduh menulis “Urgensi Perni¬kahan bagi Manusia” dan “Hukum Poligami dalam Syariat Islam”. Dalam konteks relasi gender, Abduh tergolong tradisional. Bagi Abduh, suatu bangsa terdiri dari kumpulan rumah (keluarga). Apabila keluarga dalam keadaan baik, maka bangsa tersebut akan baik pula. Untuk kasus poligami, Abduh mengkritik keras alasan poligami yang selalu menarik-narik justifikasi agama. Abduh juga menemukan bahwa mayoritas pelaku poligami pada masa hidupnya menimbulkan kerusakan.(12) Abduh berpendapat jika pada zaman Nabi poligami bisa dibatasi, maka di masa sekarang sudah waktunya dilarang karena menimbulkan mudarat.

Prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ditegaskan oleh Abduh – sebagai seorang ulama dan Mufti – dengan mengutip dalil al-Quran dan Hadis sembari memberikan penafsiran yang mencerahkan. Salah satu sumbangan penting Abduh adalah membongkar mitos penciptaan yang menjadi sebab-musabab stereotipe gender perempuan. Konon Adam adalah makhluk yang pertama kali diciptakan selanjutnya Hawa yang dibentuk dari tulang rusuknya. Abduh menentang pemahaman ini dengan merujuk pada surat al-Nisa’ ayat 1, manusia diciptakan dari “nafs wâhidah” (jiwa yang satu) dan Abduh menentang bahwa yang disebut “nafs wâhidah” adalah Adam.

Menurut Abduh, pemahaman ini kontradiktif karena setiap bangsa di dunia akan mengaku memiliki nenek-moyang sendiri. Bangsa Cina akan menyebut asal-usul leluhurnya berbeda dari bangsa Ibrani, Mongol, Negro atau Indian. Bangsa-bangsa ini memiliki klaim nenek-moyang dan sejarahnya sendiri-sendiri. Sementara, ayat tadi meliputi seluruh bangsa di bumi. Bagaimana mungkin membatasi pengertian “nafs wâhidah” hanya pada Adam, yang hanya dikenal oleh sebuah bangsa?(13) Penafsiran “nafs wâhidah” yang merujuk pada Adam sebagai moyang manusia bagi Abduh tidak masuk akal dan bertentangan dengan sejarah antropologi manusia. Pendapat Abduh berlawanan dengan penafsiran mayoritas ahli tafsir klasik yang menafsirkan ayat ini untuk menegaskan Hawa dicip¬takan dari tulang rusuk Adam. Sementara, dengan dalil ayat di atas, Abduh bersikukuh dengan pandangannya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam asal-usul penciptaan; baik laki-laki atau perempuan diciptakan dari “nafs wâhidah”.

Abduh juga membongkar penafsiran yang sering dirujuk oleh kelompok misioginis terhadap perempuan seperti kutipan “qawwam” dalam surat al-Nisa’ ayat 34 yang berarti “pemimpin” yang acap kali ditarik terlalu jauh untuk melarang perempuan sebagai pemimpin politik yang akan memimpin para laki-laki. Padahal yang dimakud pemimpin di sini adalah dalam konteks keluarga. Kehidupan keluarga laksana kehidupan sosial, maka diperlukan seorang pemimpin untuk menyatukan pendapat dan keinginan yang berbeda dari masing-masing individu.(14) Sedangkan lanjutan ayat ini yang berisi tentang “kelebihan laki-laki”, bagi Abduh, artinya sangat sempit: “kelebihan” dalam arti jasmani dan pemberian nafkah. Namun “kelebihan” di sini dipahami sebagai sunnah (ketentuan) Allah dan diskripsi atas pluralitas kehidupan sosial. Tuju¬an dari makna “kelebihan” dalam ayat ini seharusnya dipahami sebagai perimbangan dalam lini kehidupan dan untuk saling berbagi, bukan bertujuan merendahkan bagian yang lain.(15)

Sedangkan masalah nafkah bukan berarti laki-laki bisa bersikap otoriter terhadap istri, karena perempuan juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban. Dalam ayat lain Allah menuntut sang suami untuk membalas dan melayani sang istri ketika hamil, mengasuh anak, dan lain-lain.(16) Maka kepemimpinan harus sejalan dengan kemauan dan pilihan yang dipimpin, seorang pemimpin tidak boleh memaksa melainkan membimbing dan merawat.(17) Dalam ayat lain kepemimpinan dalam keluarga berasas pada musyawarah.(18)

Sumber penindasan perempuan, dalam pemikiran Abduh, berasal dari konteks sosial perempuan itu. Di sinilah tubuh perempuan bergerak menjadi “tubuh sosial” yang diatur oleh hukum, adat-istiadat dan pandangan laki-laki waktu itu. Sumber kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga. Abduh memberikan aturan untuk melindungi perempuan dari kekerasan model ini. Fokus Abduh pada soal penetapan aturan yang melindungi perempuan dalam pernikahan, poligami, perceraian dan hak waris.

Dalam Islam, perempuan berhak menentukan calon suaminya, dan tidak seorang pun yang berhak untuk memaksa. Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah pernah membatalkan pernikahan Khansa' bint Khizam, ketika ayah Khansa' memaksakan pernikahan dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan kehendak Khansa'. Dan seorang wali perempuan tidak berhak menghalang-halangi pernikahan perempuan jika keduanya saling mencintai, sesuai firman Allah dalam al-Baqarah ayat 232.

Bagi Abduh, poligami lebih pada soal produk budaya masyarakat yang tidak selalu berkaitan dengan agama, dan bukan kasus Islam saja. Dalam sebuah fatwanya, Muhammad Abduh memperbolehkan pelarangan tradisi poligami ini dengan tiga alasan. Pertama, adil adalah syarat poligami dan syarat ini pernah terjadi sesuai firman Allah: Dan kamu tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka jangan terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) . Jikapun ternyata ada seorang yang bisa berbuat adil, mungkin satu dari sejuta orang, realitas ini tidak bisa dijadikan kaidah. Kedua, dewasa ini, suami berbuat tidak baik terhadap istrinya karena berpoligami, seperti tidak memberi nafkah, dan bertindak sewenang-wenang. Maka, hakim agama (qâdlî) berhak melarang tradisi ini untuk menghindari kerusakan dalam kehidupan keluarga. Ketiga, timbul permusuhan dan perselisihan antara anak-anak yang berbeda ibu, karena mereka dididik dalam suasana persaingan dan kebencian antara istri-istri. Setelah mempertimbangkan realitas di atas, tokoh-tokoh agama berhak membatalkan tradisi ini, untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan dalam sebuah keluarga.(19)

Laki-laki juga tidak bisa menceraikan istrinya sewenang-wenang; kalau pernikahan saja harus disahkan melalui proses keterlibatan wali dan saksi dalam proses ijab-kabul, maka perceraian juga harus dilangsungkan dalam konteks yang demikian. Abduh membatasi ketentuan laki-laki yang secara mudah menceraikan istrinya. Sebagai seorang mufti, Abduh menetapkan aturan perceraian sebagai berikut. Pertama, setiap suami yang ingin menceraikan istrinya harus mendatangi pengadilan agama dan mengabarkan sebab keretakan rumah tangga. Kedua, hakim agama harus menasihati laki-laki tersebut tentang hakikat dan hukum perceraian dari al-Quran dan al Sunnah, bahwa perbuatan ini memiliki akibat-akibat negatif dan termasuk perbuatan yang paling dibenci Allah. Hakim agama memberi tenggat waktu pada suami untuk mempertimbangkan kembali. Ketiga, jika sang suami kembali setelah seminggu dan tetap memaksa, maka hakim agama mengutus juru damai dari keluarga suami dan keluarga istri. Keempat, jika juru damai gagal mendamaikan dua pasangan ini, keduanya melaporkan pada hakim agama, dan pengadilan agama bisa mengizinkan sang suami menceraikan istrinya. Kelima perceraian tidak dianggap sah kecuali di pengadilan agama: di depan hakim agama dan dihadiri dua orang saksi.(20)

Abduh juga menyusun materi-materi perlindungan hak-hak perempuan pada perceraian (Protection on Rights on Divorce) sebanyak sebelas materi, seperti hak mendapatkan jaminan setelah perceraian, hak gugat cerai, dan lain-lain sebagainya. Hingga saat ini, materi-materi tersebut masih berlaku dalam Seksi Undang-Undang Mesir (Egyptian Law Section). Pengaruh Abduh tersebar ke negeri-negeri muslim yang mengadopsi pemikiran Abduh dalam membuat aturan dan perundang-undangan negara. Sebelum Abduh, laki-laki dengan mudah dapat menceraikan istrinya dengan ucapan “Aku cerai kamu!”

Pendapat Abduh ini lebih maju dari Rifaah al-Thahtawi. Dalam kasus poligami, Rifaah tidak memiliki keberanian untuk melarang, namun ia menekankan soal keadilan. Meskipun ketika ia menggambarkan relasi gender antara laki-laki dan perempuan di Paris, Rifaah menekankan pada cinta dan kesetiaan pada pasangannya saja, namun di negerinya sendiri, Rifaah tidak mengambil langkah terlalu jauh.

Soal jatah warisan perempuan, juga menjadi pangkal stereotipe terhadap perempuan, yaitu separuh bagian laki-laki yang diklaim dari kutipan QS al-Nisâ' ayat 7-11. Abduh memiliki pandangan yang lain dalam menafsirkan ayat-ayat ini. Abduh berpendapat melalui ayat ini bahwa penekanannya adalah “bagian perempuan” menjadi asas bagian laki-laki. Kalimat ini dipilih untuk menghapus kebiasaan laki-laki Arab jahiliyah yang tidak mengakui hak waris perempuan dan menjadikan laki-laki sebagai asas dalam sendi-sendi kehidupan periode itu. Oleh karena itu, firman ini berbunyi, li al-dzakar mitsl hadzdzi al-untsayain (bagian laki-laki adalah seperti bagian dua perempuan), bukan li al-untsâ nishf hadzdzi al-dzakar (bagian perempuan separuh bagian laki-laki).(21)

Abduh mengajak kita untuk melihat pada fokus ayat itu yakni adanya pengakuan terhadap hak waris perempuan setelah sebelumnya tidak diakui sama sekali, meskipun jatah tersebut sangat kompromistis. Signifikasinya adalah adanya pengakuan dan perluasan hak-hak perempuan dan adanya pembatasan terhadap hak-hak laki-laki. Jatah yang kompomistis itu bisa dipahami sebagai sistem “kuota” – seperti kuota 30 persen untuk perempuan dalam politik kita.

Dalam hal poligami, yang juga dilakukan oleh Abduh adalah pembatasan terhadap hak yang diklaim sebagai hak istimewa laki-laki. Sebelumnya, batasan jumlah istri dalam poligami tidak terbatas, yang kemudian dibatasi empat orang saja. Signifikasi yang bisa diambil adalah adanya pembatasan poligami. Nah, pembatasan inilah yang dijadikan kaidah oleh Abduh untuk melarang poligami.

Saya memiliki catatan terhadap pemikiran Abduh ini. Pertama pemikirannya mengandung nuansa tradisional yang mengulas perempuan dalam konteks membangun rumah-tangga. Kata Abduh, “bangsa yang maju ditentukan oleh keluarga yang maju.” Namun demikian, di sini diperlukan perempuan yang merdeka, dihargai dan terdidik. Kedua, pemikirannya mengandung nuansa liberal yang memakai rasionalitas dalam menafsirkan teks-teks agama. Metodologi interpretasi Abduh menjadi titik tolak penggemar hermeunetika modern. Metodologi Abduh diteruskan oleh murid dan penerusnya, seperti Rasyid Ridla, Amin Al-Khuli, Ahmad Khalafullah, Bint Syathi', Nasr Hamid Abu-Zayd, Ibrahim Khalifah dan lain-lain.(22) Menghormati dan mengakui hak-hak perempuan, bagi Abduh, bersumber dari dalam ajaran Islam yang tercerahkan, yang mengakui rasionalitas dan kemajuan.

Qasim Amin (1863-1908)

Qasim Amin adalah seorang “muslim feminis” yang paling populer, karya-karyanya dikenal luas dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia serta memiliki pengaruh terhadap wacana pembebasan perempuan. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, lulus dari sekolah hukum dan melanjutkan pendidikan hukumnya di Perancis antara 1881-1885. Kontroversi seputar karya dan sosok Qasim Amin sendiri tidak pernah usai hingga sekarang. Padahal ia “hanya” menerbitkan dua buku tentang perempuan: Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pada 1899, dan setahun kemudian menerbitkan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern).

Kelebihan Qasim Amin dari generasi “muslim feminis” sebelumnya adalah bahwa ia lebih berani dan terbuka melancarkan kritik terhadap kaum laki-laki dan masyarakat patriarkis saat itu. Qasim Amin memadukan elan liberalisme Rifaah al-Thahtawi dan rasionalitas Islam Muhammad Abduh. Hal ini tertuang dalam Tahrîr al-Mar’ah yang melihat pembebasan perempuan dari dua perspektif besar: reformasi pendidikan dan sosial, serta reformasi pemikiran keagamaan. Sebagai seorang pengacara dan ahli hukum Perancis tentulah Qasim Amin mengimani liberalisme – Qasim Amin memiliki pernyataan bagus tentang kebebasan: “kebebasan yang sebenarnya membawa segala pemikiran, menerbitkan segala aliran dan menyambut setiap pemikiran”(23) Qasim Amin juga sangat lihai mengutip pendapat filosof dan intelektual Barat. Sementara untuk konteks pemikiran keagamaan Qasim sangat terpengaruh oleh ide-ide Muhammad Abduh: sosok yang sangat dia hormati dan dianggap gurunya.

Atas dasar itulah, Muhammad Imarah, yang mengumpulkan dan menyunting karya-karya Muhammad Abduh dan Qasim Amin, menganggap Tahrîr al-Mar’ah yang bagian agama ditulis oleh Muhammad Abduh sendiri. Saya menolak anggapan ini setelah sebelumnya mempercayainya. Qasim memang sangat terpengaruh Abduh, namun bukan berarti Tahrîr al-Mar’ah sebagai karya berdua. Perspektif keagamaan di buku ini memang menegaskan ide-ide Abduh tentang perempuan serta mengutip fatwa dan aturan Abduh soal poligami, nikah dan perceraian. Mungkin saja Abduh memiliki kontribusi besar dalam membantu menyiapkan data yang berkaitan dengan penafsiran agama, mungkin saja Abduh membaca buku ini sebelum terbit dengan memberikan masukan-masukan atau sebagai “proof-reader”. Tapi kalau kita membaca buku ini secara saksama, diksi, gaya tulisan, keterbukaan dan keberanian dalam mengangkat penindasan perempuan adalah khas Qasim Amin.

Qasim Amin adalah sosok yang “sentimentil” yang berbeda dari Muhammad Abduh yang tenang dan rasional. Perbedaan ini tampak dalam gaya tulisan mereka berdua, meskipun keduanya dikenal memiliki tulisan yang indah, diksi yang tegas dan sastrawi. Empat tahun sebelum menerbitkan buku Tahrîr al-Mar’ah, Qasim Amin menulis buku Le Egyptiens (1894) yang menjadi bantahan pada buku karangan seorang penulis Perancis Duc Dharcouri. Dharcouri mengkritik kemunduran dan keterbelakangan perempuan Mesir. Ia menyebut penyebabnya berasal dari agama Islam. Qasim membantah buku itu dan “membela” realitas perempuan Mesir. Dari sinilah lahir kontroversi. Ada perbedaan besar dalam pemikiran Qasim Amin antara buku ini dengan Tahrîr al-Mar’ah. Dalam buku ini Qasim membela tradisi hijab dan tidak sepakat dengan penyebutan perempuan Mesir dalam kondisi yang sangat terbelakang.

Saya menilai buku Qasim ini yang ditulis dalam bahasa Perancis itu seperti buku dari mereka yang beraliran “nasionalis-apologetik” – yang juga sering mengusung slogan “right or wrong is my country” – di mana sebagai seorang Mesir, Qasim tidak terima negerinya direndahkan. Selain itu, seperti dalam pengakuan Qasim Amin sendiri, ia sampai jatuh sakit selama sepuluh hari setelah membaca buku ini. Setelah sembuh ia terdorong untuk menulis bantahan.

Pengakuan lain dituturkan oleh Qasim Amin kepada Rasyid Ridha, seorang murid Muhammad Abduh, bahwa ia menulis buku ini dalam suasana emosi yang sangat tinggi. Namun setelah itu ia sadar bahwa memang benar tersebar keburukan dalam rumah-tangga Mesir. Ia pun insaf dan berkata “Tidak ada faedahnya kalau keburukan itu memang ada di dalam diri kita, kemudian kita terlalu sibuk membantah orang yang mencela keburukan kita atau kita malah mencari-cari keburukan yang ada dalam diri orang yang mencela itu. Sebaiknya kita membahas keburukan yang ada dalam diri kita, dan berusaha mencari cara untuk menghilangkannya.”(24) Oleh karena itu, Qasim Amin tidak pernah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Arab.(25) Inilah karakter Qasim Amin yang jejak-jejak emosinya terlihat jelas dalam tulisannya; karakter tulisan inilah yang membedakan teks Qasim Amin dari Muhammad Abduh.

Buku Le Egyptiens ini tak hanya bertentangan dengan dua buku yang ditulis oleh Qasim Amin sesudahnya baik dalam Tahrirul Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah namun juga bertentangan dengan tulisan-tulisan Qasim Amin sebelumnya yang diterbitkan dalam media seperti al-Mu’ayyid. Dalam tulisan-tulisannya waktu itu Qasim telah memberikan kritik terhadap kondisi masyarakat Mesir dari sisi sosial, ekonomi dan pendidikan. Qasim Amin telah menulis soal kemiskinan, pentingnya kemerdekaan (al-istiqlâl) dan reformasi pendidikan yang baginya perlu menyentuh rasa nasionalisme (al-ihsâs al-wathanî).

Buku Tahrîr al-Mar’ah menyedot perhatian bangsa Arab waktu itu karena menyulut kontroversi baik yang berasal dari lawan politik(26) kubu Qasim Amin hingga tokoh-tokoh agama(27) yang menulis bantahan-bantahan. Lawan politik Qasim Amin yang terkenal adalah Musthafa Kamil ketua Partai Nasional (al-Hizb al-Wathanî) yang menuduh secara tak langsung Qasim Amin menyerukan pendidikan perempuan Mesir atas dasar-dasar pendidikan Eropa. Buku Qasim Amin ini juga menyulut kemarahan dari penguasa Mesir saat itu, Khadewi Abbas Helmi, yang memiliki ambisi menjadi penguasa satu-satunya di Mesir dan bebas dari pengaruh Inggris. Dalam konteks keluarga bangsawan Mesir, Khadewi Abbas juga terlibat perpecahan dengan Putri Nazli Fadhil yang sangat dekat dengan kubu Qasim Amin seperti Muhammad Abduh, Saad Zaghlul dan Luthfi Sayyid. Khadewi Abbas memberikan dukungan terhadap Musthafa Kamil yang mengusung nasionalisme “radikal” yang mengingkan “revolusi”, sementara kubu Qasim Amin lebih tampak sebagai kubu “reformasi”. Kubu Abbas Helmi dan Musthafa Kamil menuding karya Qasim ini berbau politik dan membawa agenda kolonial Eropa.

Beberapa penulis perempuan juga ikut menulis bantahan seperti Aisyah Taimuryiah dan Malak Hifni Nashif. Kritik terhadap Qasim Amin diteruskan oleh feminis radikal atau postkolonial yang mencurigai Qasim Amin tetap membawa perspektif laki-laki dalam memandang perempuan, dengan memberikan kategori untuk “perempuan” bila ingin disebut “modern”. Qasim Amin dianggap tidak terlalu maju, karena hanya berbicara pada batasan jilbab yang boleh terbuka hanya wajah dan tangan. Qasim Amin hanya menolak kritik terhadap pingitan perempuan dan busana yang menutupi seluruh tubuh perempuan (hijab) dan cadar perempuan (niqâb). Dalam hal pendidikan, Qasim Amin hanya berbicara pendidikan tingkat dasar bagi perempuan. Kritik lain dari feminis postkolonial menyebut Qasim Amin silau oleh modernitas dan rasionalitas, sehingga mengorbankan tradisi-tradisi yang mungkin menjadi pilihan perempuan, namun justeru dilihat oleh Qasim sebagai kemunduran. Pengertian “perempuan modern” yang “diinginkan” oleh Qasim Amin haruslah terbebas dari tradisi masyarakat.

Bagi saya, tuduhan ini berlebihan. Wacana Qasim Amin memang tidak akan pernah lepas dari kekurangan yang semestinya terus dibaca dan dikritik. Tulisan Qasim Amin adalah produk sosial, politik dan agama di mana Qasim Amin hidup. Salah satu sumbangan terbesar Qasim Amin adalah kritik pada lelaki patriarkis pada zamannya, membongkar standard kelelakian tentang perempuan dan sistem sosial-politik yang zalim. Oleh sebab itu, karya-karya Qasim Amin ini perlu dibaca dalam konteks dia sebagai male feminist.

Dalam menghadapi kontroversi yang bertubi-tubi, Qasim Amin menjadi “penangkal-petir” dari serangan-serangan yang dialamatkan kepada mereka yang menyerukan reformasi agama, pendidikan dan kesetaraan gender. Qasim Amin hidup dalam kondisi transisi politik Mesir yang rawan. Satu sisi serangan berasal dari kubu konservatif yang menginginkan status-quo, serangan sisi lain berasal dari kubu revolusioner yang menuding agenda kaum reformis sebagai penguatan terhadap agenda kolonialis. Sebagai ilustrasi adalah posisi Soekarno bersama kubunya yang menerima untuk terlibat dalam PPKI/BPUPKI yang dibentuk Pemerintah Jepang di tengah serangan kaum tradisional dan kubu revolusioner (seperti Sjahrir dan Tan Malaka). Kira-kira seperti ini posisi Qasim Amin dan kubunya saat itu.

Serangan terhadap Qasim Amin muncul karena ia tidak memiliki posisi politik yang kuat dan penting, tidak seperti Muhamamd Abduh sebagai Mufti Mesir atau Rifaah al-Thahtawi sebagai orang pemerintah. Qasim Amin adalah seorang ahli hukum yang juga bekerja untuk pemerintah. Di sinilah letak kontroversinya juga, seorang pegawai pemerintah melancarkan kritik atas kebijakan pemerintah, meskipun tak lansung, namun secara jelas Qasim Amin menegaskan bahwa keterbelakangan yang terjadi dalam masyarakat merupakan tanggungjawab pemerintah yang berkuasa.

Qasim Amin juga memilih diksi “tahrîrul mar’ah” (pembebasan perempuan), istilah yang dianggap provokatif dan tidak pernah dipakai oleh tokoh-tokoh reformasi sebelumnya baik oleh al-Thahthawi ataupun Abduh. Generasi sebelum Qasim cukup memakai tarbiyatul mar’ah wa ta’lîmuhâ (pendidikan dan pengajaran perempuan) bukan pembebasan perempuan.

Apabila Qasim dibandingkan dengan Rifaah, ide Qasim memiliki persebaran yang lebih luas, sementara ide Rifaah diterbitkan secara terbatas dalam media Raudlatul Madâris – hanya dibagikan pada sekolah dan lembaga pemerintah. Karena reformasi pendidikan dijadikan kebijakan pemerintah, maka proyek Rifaah didukung penuh oleh pemerintah. Hal itu berbeda dari Qasim Amin yang bukunya diterbitkan untuk khalayak luas, dan dengan begitu “pembebasan perempuan” menjadi opini publik. Lebih dari itu, posisi politik Qasim Amin berlawanan dengan penguasa Mesir, Khadewi Abbas Hilmi.(28)

Sejauh pembacaan saya terhadap karya Qasim Ami, dia melancarkan kritik yang keras terhadap penguasa. Bagi Qasim, keterbelakangan sebuah bangsa akan menyebabkan keterbelakangan perempuan dan sumber utamanya adalah sistem politik yang tiranikal. Seorang suami menindas istrinya karena ia juga tertindas di lingkungan sosial dan politiknya. Di sinilah saya melihat karya Qasim Amin ini juga membawa kritik terhadap penguasa waktu itu.

Dalam buku Tahrîr al-Mar’ah, Qasim Amin menggunakan Islam sebagai poros untuk agenda reformasi. Ia memulai dengan premis bahwa Islam adalah agama yang mengakui kesetaraan, kemandirian dan kemuliaan peremuan.(29) Namun, Qasim Amin melihat realitas yang ada dalam masyarakat muslim saat itu bertentangan dengan dasar-dasar Islam ini, yang menurutnya berpulang pada dua sebab: pertama adalah adat-istiadat masyarakat, dan kedua adalah penafsiran fiqih yang rigid.

Oleh karena itu, Qasim Amin mengkritik adat-istiadat yang dilihatnya sebagai kemunduran, dan baginya kebiasan masyarakat ini tidaklah suci untuk dikritik. Dan kebiasaan yang buruk ini tiba-tiba mengalahkan ajaran agama dan dianggap sebagai ajaran agama. Qasim Amin juga menyebut sebab penindasan perempuan berasal dari sistem politik yang zalim. Kepemimpinan yang lalim di suatu bangsa akan melahirkan model laki-laki yang kuat namun menghina perempuan karena kelemahannya.(30)

Kritik yang sengit juga dialamatkan oleh Qasim Amin kepada kaum ulama yang menyumbang penafsiran dan aturan yang menindas perempuan. “Tak terbantahkan oleh siapa pun bahwa agama Islam sekarang ini telah berubah dari ajaran dasarnya, sedangkan para ulama sangat sedikit yang diberi cahaya oleh Allah, mereka telah memainkan agama sesuai kepentingan nafsu mereka, sehinga mereka menjadi barang tertawaan dan ejekan.”

Qasim menyebut beberapa kebiasaan laki-laki yang menghina perempuan (ihtiqâr al-mar’ah) , seperti laki-laki yang rumahnya dipenuhi budak perempuan atau istri-istri dan ia melampiaskan syahwatnya kepada yang ia suka, laki-laki yang menceraikan istrinya tanpa alasan, laki-laki yang duduk sendiri di meja makan menikmati hidangan dikelilingi oleh para perempuan baik istri, ibu dan adik-adiknya yang makan dari sisa makanan itu, laki-laki yang menyewa seorang penjaga untuk memantau ke mana pun istrinya pergi, laki-laki yang memenjara istri di rumahnya dan laki-laki itu bangga akan sikapnya, laki-laki yang menganggap perempuan tidak bisa dipercaya dan diberi amanat, laki-laki yang memisahkan perempuan dari ruang publik dan tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk memberikan pendapat tentang makanan, seni dan hal-hal umum lainnya atau tidak diberi kebebasan beragama. Qasim Amin menyatakan bahwa deskripsi di atas tidak berlebihan, itulah yang ia saksikan di Mesir pada waktu itu.(31)

Ketika Qasim berbicara tentang urgensi pendidikan perempuan, ia sependapat dengan Rifaah al-Thahtawi tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang memiliki nalar, perasaan dan tubuh. Perbedaannya hanya berkaitan dengan organ kecil di tubuhnya.

Dalam soal pakaian, Qasim Amin menolak hijab yang menutupi seluruh tubuh perempuan dan penggunaan cadar atau segregasi perempuan melalui batasan tabir. Qasim menunjukkan bahwa pakaian ini telah dikenal jauh sebelum Islam dan ditemukan dalam masyarakat yang lain, yang kemudian dianggap sebagai “busana agama” dan tak jarang aturannya dilebih-lebihkan. Qasim Amin menentang keras pengurungan perempuan baik dalam rumah atau dalam pakaian yang serba tertutup. Qasim Amin memilih pendapat yang “moderat” yaitu bahwa perempuan boleh terbuka wajah dan tangannya. Qasim menentang anggapan bahwa perempuan harus tertutup tubuhnya karena dituding sebagai sumber fitnah. Bagi Qasim persoalan ini hanya berkaitan dengan laki-laki yang hatinya lemah. Kalau ia takut tergoda perempuan, mengapa tidak menundukkan pandangan (ghadd al-bashar)?

“Mengherankan, mengapa laki-laki tidak diperintahkan membungkus dirinya atau menutup wajahnya jika takut pada perempuan yang dianggap bisa menimbulkah fitnah? Apakah laki-laki menganggap dirinya lebih lemah dari perempuan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dibandingkan perempuan?”(32)

Qasim Amin menentang keras poligami. Ia menyebutkan kebiasaan ini sebagai bentuk penghinaan yang keras pada perempuan.

Tidak terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya. Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki…(33)

Sementara buku “Perempuan Modern” (al-mar’ah al-jadîdah) merupakan penegasan kembali terhadap ide-ide yang telah tertuang dalam buku Tahrîr al-Mar’ah yang ditulis sebelumnya. Dengan buku “Perempuan Modern”, sekaligus Qasim Amin merespon serangan-serangan yang dilancarkan padanya oleh para pengkritiknya. Buku ini melanjutkan polemik dan membantah tudingan bahwa dirinya menyerukan perempuan untuk melepaskan jilbab. Dalam buku ini Qasim menekankan kembali prinsip-prinsip kemodernan dan keberadaban. Bagi Qasim, yang disebut dengan “perempuan modern” adalah buah dari peradaban modern yang muncul di Barat setelah penemuan-penemuan ilmiah yang membebaskan akal-budi dari kekangan khurafat, wahm dan praduga.(34)

Setelah menuturkan kondisi perempuan dalam lintas sejarah, yang ditemukan penindasan-pernindasan terhadapnya, ia menyebutkan sebabnya adalah hilangnya kebebasan politik di suatu bangsa. Masyarakat yang terkekang oleh penindasan akan berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga. Qasim menunjuk negeri-negeri Timur yang menurutnya perempuan itu ditindas oleh laki-laki, sementara laki-lakinya ditindas oleh Penguasa. Laki-laki itu menjadi sosok penindas di rumahnya dan ia akan menjadi tertindas setelah keluar dari rumahnya.(35)

Dalam buku ini juga Qasim Amin menegaskan kembali tentang “kebebasan perempuan” (hurriyatul mar’ah) yang tertuang dalam bab khusus. Bagi Qasim kebebasan adalah syarat utama untuk pemberdayaan kualitas manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Kebebasan yang dimaksud oleh Qasim di sini adalah kebebasan individu, setiap orang memiliki kemerdekaan dalam pemikiran, kehendak dan memilih pekerjaan yang berpijak pada batas-batas aturan dan etika serta ia tidak takluk pada kehendak di luar dirinya. Kebebasan dalam pengertian seperti inilah seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan perempuan.(36) Qasim Amin dalam bab ini juga mencela pandangan, sikap dan kebiasaan laki-laki yang merendahkan perempuan, seperti anggapan laki-laki yang merasa memiliki kedaulatan tak terbatas pada perempuan, perempuan sebagai sumber fitnah, perlakuan sewenang-wenang pada istri, mengurung istri di dalam rumah, menganggap buruk perempuan yang keluar rumah, membungkus seluruh perempuan dengan hijab dan mewajibkan cadar serta keburukan-keburukan lainnya yang Qasim temukan dalam masyarakat masa itu.

Catatan Akhir

Kontribusi para laki-laki dalam wacana perempuan sangat tepat ditempatkan pada ranah male feminist – tokoh-tokoh yang saya ulas di atas lebih layak disebut sebagai “muslim yang feminis” dari pada gelar-gelar yang tujuan awalnya untuk menghormati mereka namun yang timbul justeru sebaliknya: datangnya hujatan. Gelar-gelar yang kontraproduktif itu misalnya sebutan “pembela perempuan”, “pelopor pembebasan perempuan” atau “bapak feminisme Islam”. Sebutan-sebutan ini secara tak sadar telah mengungkapkan adanya kesenjangan gender: derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Padahal kesenjangan inilah yang dikritik oleh feminisme.

Para “muslim feminis” yang saya suguhkan ide-idenya di atas terbatas pada konteks di mana mereka hidup. Anda akan menemukan pola relasi gender antara laki-laki dan perempuan yang sangat sederhana yakni dalam lingkup keluarga. Dalam ranah ini bukan berarti saya tidak menyadari bahwa pembahasan “muslim feminis” masih dalam lingkup heteroseksual–dugaan yang bisa muncul: pembahasan ini acuh tak acuh terhadap homoseksualitas. Apalagi dalam perkembangan terakhir, wacana male feminist dikembangkan oleh kalangan gay yang menguji kembali soal “kejantanan” (benarkah laki-laki baru disebut “jantan” apabila tertarik pada perempuan?) atau kritik pada soal “macoisme”. Saya yakin kontribusi ini sangat penting terhadap wacana male feminist. Saya tidak hendak menafikan wacana ini, atau dianggap “heteroseksis” ketika mengulas “muslim feminis” yang lingkupnya sangat sederhana (keluarga) dalam perspektif heteroseksual. Saya pun tak hendak meneguhkan “hetero-normativitas”. Tema ini membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dan saya berjanji akan mengulas wacana male feminist yang jauh “lebih maju” di kesempatan yang lain.

Saya memlih beberapa tokoh male feminist tadi – dengan pemikiran mereka yang sangat sederhana – untuk memberikan kontribusi pada wacana male feminist dari perspektif Islam di Indonesia yang tidak terlalu dikenal luas. Acap kali nama Qasim Amin disebut dan tulisan-tulisannya dikutip namun diseret terlalu jauh dari konteksnya dan—seperti yang telah saya singgung di atas—perannya dilebih-lebihkan.

Sebutan male feminist bagi Qasim Amin atau tokoh-tokoh muslim lainnya yang pro terhadap gerakan perempuan adalah pengakuan terhadap mereka sebagai laki-laki yang tidak bisa “bebas-nilai-gender”. Namun saya tak berharap kritik yang dialamatkan pada mereka lebih diarahkan pada “kelelakian”-nya, bukan pada subtansi idenya.

Hal terpenting yang dikemukakan oleh “male-feminist yang muslim” itu bukan soal apa pendapat mereka tentang perempuan – saya menghormati kebebasan perempuan untuk mendefinisikan diri sendiri dan membebaskan diri dari penilaian di luar dirinya – tapi apa yang mereka (laki-laki) katakan untuk melawan sistem yang patriarkis, mengkritik pandangan yang bias laki-laki dan membongkar standard-standard yang dibangun oleh laki-laki untuk perempuan.

Male feminist insaf, ia sebagai laki-laki tidak bisa dipisahkan dari perempuan (tidak dalam arti heteroseksual), ia terlibat di dalamnya, namun ia juga perlu sadar akan “batas” sebagai laki-laki. Ia tidak memiliki hak atau pun kewewenangan untuk merasa paling tahu dan mengeluarkan aturan tentang perempuan. Male feminist adalah “mitra-perempuan” dalam jihad menegakkan kesetaraan gender. Dalam posisi yang sangat terlibat ini namun dengan tetap mengakui adanya “batas”, saya kira kesadaran inilah yang terpenting bagi male-feminist.

Jakarta 11 September 2009

Mohamad Guntur Romli

Catatan Belakang:
Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 64 "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" (November 2009)

(1) Dalam wawancara saya dengan Nawal Saadawi, dia menolak pengaruh Marxisme pada ide-idenya, bagi dia Karl Marx tidak lebih jenius dari dia, wawancara saya dimuat di GATRA, Edisi 30, 4 Juni 2004.
(2) Saadawi, Nawal, ”Tahrîr al-Mar’ah Bayna Musalsal Qâsim Amîn wa Khithâb Collin Powel”, harian al-Hayat, 8 Maret 2003.
(3) wa binnisbah li’iffatin nisâ’ la ya’ti min kasfihinna wa satrihinna bal mansya’u dzâlika al-tarbiyah al-jayyidah.
(4) Sekolah untuk perempuan kala itu bukan berarti tidak ada tapi jumlahnya sangat terbatas. Kaum perempuan yang menerima pendidikan hanya terbatas pada keluarga bangsawan dan kaya. Anak-anak perempuan dalam keluarga ini dididik oleh guru-guru asing. Pada era Muhammad Ali telah ada sekolah-sekolah khusus untuk perempuan yang dibangun oleh komunitas-komunitas non-muslim: Kristen dan Barat. Pada 1835, dibangun sekolah khusus perempuan oleh seorang istri dari misionaris Kristen Inggris. Ini merupakan sekolah asing pertama untuk perempuan berdasarkan dukungan penuh dari seorang muridnya yang berasal dari keluarga penguasa Muhammad Ali, Madihah Ahmad Ubadah. Lihat ”Huqûq al-Mar’ah fil Fikr al-Ijtimâ’î Inda Rifâ’ah Râfi’ al-Thahthâwi” dalam Kairomajalah al-Tasamuh, Edisi 20, 2008, yang terbit di Kairo.
(5) Kullamâ katsura ihtirâmul mar’ah ’ind qawmin katsura adâbuhum fa ’adamu tawfiyatin nisâ’ huqûquhunna fîmâ yanbaghî lahunna al-hurriyah fîhi dalîlun ’alâ al-thabî’ah al-barbarah.
(6) wa la syakka anna hushulal mar’ah ala malakatil qirâh wal kitâbah, wa ‘ala al-takhalluq bil akhlâq al-hamîdah wal ithlâ’ alal ma’ârif al-mufîdah huwa ajmal shifâtil kamâl wa huwa asywaqu li al-rijâl al-mutarabbîn minal jamâl, fal adab lil mar’ah yughni ‘anil jamâl, wa lâkinna al-jamâl lâ yughni ‘anil adab.
(7) Inna âdâbal mar’ah wa ma’ârifahâ tu’atstsiru katsîran ‘alâ akhlâqi awlâdihâ, idz al-bint al-shaghîrah idzâ ra’at ummahâ muqbalah ’alâ muthâla’ah al-kutub wa dlabth umûril al-bayt wal isytighâl bi tarbiyati awlâdihâ jadzdzabatha al-ghîrah ilâ antakûna mistla ummihâ.
(8) Fa’inna farâgha aydihinna ‘anil ‘amal yusyghilu alsinatahunn bil abâthil wa qulûbahunna bil ahwâ’ wa ifti’âl aqâwil fal ’amal yashûnu al-mar’ah ’ammâ lâ yalîqu wa yuqibuhâ minal fadhîlah wa idzâ kânal bathâlah madzmûmah fî haqqi al-rijâl fahiya mudzammamah ’adzîmah fi haqqi al-nisâ’.
(9) Fîmâ ‘adâ hâdzâ al-malâdz fahiya mitsluhu sawâ bi sawâ’, a’dlâ’uha ka a’dlâ’ihi, wa hâjatuha ka hâjatihi wa hawâsuhâ al-dhâhirah wal bâthinah ka hawâsihi, wa shifâtuha ka shifâtihi hattâ kâdat an tandzima al-untsâ fi salaki al-rijâl.
(10) Idzâ am’ana al-âqil al-nadlar al-daqîq fî hay’ati al-rajul wal mar’ah fi ayyi wajhin kâna minal wujûh wa fi ayyi nisbatin min al-nasab lam yajid illâ farqan yasîran fi al-dzukûrah wal unûtsah wa ma yata’allaqu bihimâ, fa al-dzukûrah wal unûtsah hiya mawdli’u al-tadlud wa al-tabâyun.
(11) Romli, Mohamad Guntur, 2002, ”Kontekstualisasi Tafsir Sosio-Historis Muhammad Abduh: Pandangan Abduh terhadap Pembebasan Perempuan” dalam Romli, M. Guntur dan Sofia Tidjadi (Ed.), Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban, Kairo: Fosgama.
(12) Imarah, Muhammad, 1979, al-Islâm wa al-Mar’ah fi Ra'yî al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Kairo: Dâr al-Hilâl, hlm. 11-12.
(13) Abduh, Muhammad, 1993, dalam al-A‘mâl al-Kâmilah (Koleksi Lengkap Karya Muhammad Abduh), (Penyunting Muhammad Imarah), Kairo: Dâr al-Syurûq, Cet. I, Vol. 5, hlm. 160.
(14) al-A‘mâl al Kâmilah, Vol. 4, hlm. 611.
15 (15) QS. al-Baqarah (2): 251, QS. al-Hasyar (58): 7 dan QS. al-Hujarât (49): 13.
16 (16) QS. al-Baqarah (2): 233.
(17) al-A‘mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 201.
(18) QS. al-Baqarah (2): 233.
(19) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 92.
(20) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 174-175.
(21) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 173.
(22) Lihat Romli, Mohamad Guntur, 2002, op. cit..
(23) al-hurriyah al-haqîqiyah tahtamilu ibdâ’ kulli fikrin, wa nasyri kulli madzhabin wa tarwîj kulli fikrin.
(24) Hamdan, Samir Abu, 1993, Qasim Amin: Jadaliyah al-‘Alâqah Bayna al-Mar’ah wa al-Nahdlah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
(25) Buku ini baru diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Muhammad al-Bukhari dan diterbikan bersama karangan-karangan Qasim Amin yang lain yang dikumpulkan dan diberi pengantar oleh Muhammad Imarah dalam al-A’mâl al-Kamilah yang pertama kali terbit di tahun 1975
(26) Dua buku yang ditulis oleh Muhammad Thal’at Harb, ahli ekonomi dan penggagas Bank Mesir, Tarbiyatul Mar’ah wal Hijâb (Pendidikan Perempuan dan Hijab) dan Fashlu Khithâbil Mar’ah wal Hijâb (Wacana Perempuan dan Hijab) yang menuduh Qasim Amin membawa agenda pembebasan Eropa dan memiliki kontradiksi dalam pemikiran-pemikirannya yang ada dalam karya-karyanya.
(27) Syekh Muhammad Ahmad Hasanain al-Bulaqi, seorang ulama al-Azhar saat itu, menulis al-Jalîsul Anîs Amma fi Tahdzîr Tahrîrul Mar’ah Min al-Talbîs dan Muhammad Farid Wajdi yang menulis al-Mar’ah al-Muslimah.
(28) Zayd, Muna Ahmad Abu, al-Ushûl al-Fikriyah Li Huqûq al-Mar’ah fi Mishr al-Hadîtsah (Dasar-dasar Pemikiran tentang Hak-hak Perempuan di Mesir Modern), makalah seminar di Perpustakaan Alexandria, Mesir, tanggal 19-21 Januari 2009.
(29) Amin, Qasim, 1988, dalam al-A’mâl al-Kamilah (Kumpulan Karya Lengkap Qasim Amin), yang dikumpulkan dan disunting oleh Muhammad Imarah, Kairo: Dar al-Syurûq, Cet ke-2, hlm. 325.
(30) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 326.
(31) al-A’mâl al-Kamilah , hlm. 327-328.
(32) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 356.
(33) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 393.
(34) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 420.
(35) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 426.
(36) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 437.