Muslim-Muslim yang Feminis
Kontribusi ”Male Feminist” Muslim terhadap Wacana Kesetaraan GenderMakin
banyak perempuan dihormati dalam suatu masyarakat maka semakin beradab
masyarakat itu, namun apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk
meraih kebebasan, tandanya masyarakat itu mengikuti kebiasaan barbar. (Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi)
Tidak
terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap
perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela
melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga
seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya.
Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi
perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki. (Qasim Amin)
Percakapan
male feminist
dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari beberapa nama laki-laki yang
terlibat dalam wacana perempuan sejak pertengahan abad ke-19. Salah satu
tokoh yang dikenal luas adalah Qasim Amin seorang sarjana hukum dan
pengacara yang menulis buku
Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) pada tahun 1899.
Menempatkan tokoh laki-laki itu khususnya Qasim Amin dalam ranah ”muslim feminis” – istilah ini selanjutnya menggantikan
male feminist
– lebih tepat dari pada menyematkan sebutan-sebutan yang berlebihan
yang menyulut kontroversi. Misalnya sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak
Feminisme Islam” atau ”Pelopor Pembebasan Perempuan”. Sebutan ini jelas
ahistoris karena menafikan peran perempuan-perempuan yang sezaman atau
sebelum Qasim Amin dalam wacana dan gerakan perempuan. Sebutan ini juga
ditolak mentah-mentah oleh sebagian kalangan feminis dengan tudingan
bahwa dengan sebutan itu seolah-olah laki-lakilah yang mengawali
pembebasan perempuan atau perempuan masih butuh laki-laki untuk bebas.
Kritik yang datang dari Laila Ahmed dalam bukunya
Gender and Women in Islam
menantang sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak Feminisme Mesir”. Bagi
Laila, Qasim memiliki kontak yang sangat terbatas dengan
perempuan-perempuan Mesir waktu itu, artinya tidak semua kelas perempuan
bisa diamati oleh Qasim, sehingga cenderung mengeneralisasi kesimpulan
tentang perempuan Mesir. Alasannya adalah bahwa pada masa itu segregasi
gender dalam masyarakat Mesir sangat kuat. Akses Qasim sangat terbatas
pada keluarga terdekat, pelayan atau mungkin pelacur. Sehingga Qasim
menyuguhkan sebuah model yang cenderung stereotipe tentang perempuan
Mesir sebagai perempuan yang terbelakang, bodoh dan jauh tertinggal dari
”saudari-saudari” Eropa mereka.
Kritik lain datang dari tokoh
Feminis Mesir kontemporer, Nawal Saadawi, yang sering digolongkan
sebagai feminis radikal dan marxis.(1) Nawal Saadawi mengkritik
”pemujaan” yang berlebihan pada Qasim Amin yang riwayat hidupnya
dijadikan sinetron dalam 40 episode yang ditayangkan oleh televisi Mesir
selama bulan Desember 2002. Tak hanya ”pengistimewaan” terhadap Qasim
yang dikritik, peran Putri Nazli Fadhil dalam sinetron itu yang menurut
Nawal dilebih-lebihkan sebagai seorang bangsawan Mesir yang
ruang-tamunya
(shalûn) dipenuhi tokoh-tokoh Mesir seperti Syekh
Muhammad Abduh (mufti Mesir), Qasim Amin, Saad Zaghlul, Luthfi Sayyid
dan lain-lain. Apakah karena Nazli seorang bangsawan sehingga kisah
hidupnya menarik untuk diangkat? Bagaimana dengan ruang-tamu May Ziyadah
seorang perempuan sastrawan yang penuh dengan kegiatan sastra dan
berlangsung hingga tahun 1913? Bagaimana dengan peran perempuan penulis
lainnya seperti Aisyah Taimuriyah (1840-1903) atau Zainab Fawwaz yang
sezaman dengan Qasim? Atau peran Malak Hifni Nashif yang terkenal dengan
nama penanya
Bahitsah al-Badiyah (Penulis Desa) yang hidup
antara 1886-1918, yang tulisan-tulisan sangat tajam dan kuat untuk
melawan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan? Bagi Nawal, ide-ide
Malak Hifni jauh lebih maju dibanding tulisan Qasim Amin atau Rifaah
al-Thahtawi. Malak Hifni menyebut bahwa tulisan-tulisan al-Thahtawi
hanya sampai di level ”ishlah” (reformasi) sementara Qasim Amin hanya
level “tahrîr” (pembebasan) saja.(2)
Bagi saya, sebutan untuk
Qasim Amin itu memang berlebihan dan cenderung kontraproduktif. Sebutan
itu bertujuan menghargai jasa Qasim Amin, namun dengan istilah yang
berlebihan justru mendatangkan hujatan bagi Qasim Amin. Selanjutnya yang
dilihat bukan subtansi ide yang telah ditulis oleh Qasim Amin tentang
perempuan – yang bagi saya sangat bernas, tajam dan luar biasa – namun
tak jarang fokus hujatan itu pada jenis kelamin Qasim Amin sebagai
laki-laki. Saya sepakat untuk menanggalkan gelar yang ahistoris itu, dan
bagi saya, yang lebih tepat adalah mendudukkan wacana yang dikemukakan
oleh Qasim Amin dan tokoh laki-laki lainnya tentang perempuan dalam
ranah ”muslim (yang) feminis” bukan sebagai ”pelopor” apalagi sebutan
”bapak” feminisme Islam.
Dalam ranah ini, kita akan menemukan
sosok-sosok ”muslim yang feminis” yang memiliki kepedulian dan
keterlibatan dalam sejarah perempuan. Saya memilih tiga nama tokoh
muslim yang masuk dalam ranah ”muslim yang feminis” yaitu: Syaikh Rifaah
Rafi’ al-Thahtawi, Syaikh Muhammad Abduh dan Qasim Amin.
Ketiga tokoh ini berada dalam sebuah era yang disebut
nahda
(kebangkitan untuk reformasi dan modernisasi Islam) yang terjadi pada
pertengahan abad ke-19 yang berawal dari Mesir. Waktu itu seolah-olah
telah menjadi kesepakatan umum bagi para tokoh dan intelektual nahda
bahwa perempuan yang bebas, terpelajar dan mandiri adalah syarat utama
dari kebangkitan umat Islam. Maka, pembebasan dan pemberdayaan perempuan
merupakan agenda yang melekat dan tidak bisa dipisahkan dari agenda
besar itu. Era itu juga mendorong kemunculan bagi “muslim-muslim yang
feminis” ini.
Fokus catatan saya pada masa itu adalah bahwa
“pandangan laki-laki” dalam masyarakat yang sangat patriarkis dan
maskulin mulai diuji dan dikritik. Dan pihak yang melancarkan kritik
yang sengit ini datang dari kaum laki-laki sendiri. Mereka menguji
“kelelakian” yang melahirkan suatu standard norma, penilaian, dan
penghakiman terhadap “keperempuanan”. Laki-laki mulai mendekonstruksi
“standard kelelakian” terhadap pelbagai masalah: kemuliaan perempuan,
tubuh perempuan, sekaligus mencari sebab mengapa perempuan harus
ditindas dan sengaja tidak diberi akses pendidikan. Apakah kadar
laki-laki bisa lebih tinggi setelah merendahkan kadar perempuan? Atau
sebaliknya, laki-laki merasa laki-laki dalam posisi yang setara dengan
perempuan?
Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873)Dalam
penelusuran saya, Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahthawi adalah “muslim
feminis” pertama di era modern Islam yang menggedor kesadaran umat untuk
meninggalkan penindasan terhadap perempuan. Syaikh Rifaah dikenal
sebagai pelopor liberalisme karena pandangannya terhadap politik,
masyarakat dan pendidikan terinspirasi dari tradisi kemodernan Perancis
dan tidak merujuk pada tradisi Islam – meskipun ia seorang ulama
al-Azhar. Rifaah lulus dari al-Azhar pada 1825, ia direkomendasikan oleh
gurunya Syaikh Hasan al-Aththar pada penguasa Mesir (saat itu Muhammad
Ali) untuk ikut rombongan pelajar Mesir ke Perancis yang akan belajar
ilmu, pengetahuan dan persenjataan modern.

Selama
lima tahun Rifaah al-Thahtawi belajar di Perancis. Menurut pengakuannya
ia belajar etika, filsafat sosial dan politik, matematika dan geometri.
Ia juga membaca karya-karya intelektual Perancis saat itu seperti
Condillac, Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan Bezout. Perjalanan hidup
di Perancis dituturkan oleh Rifaah al-Thahtawi dalam sebuah buku-memoar
Takhlîsh al-Ibrîz fi Talkhîsh Baris
yang memuat amatan dia terhadap kota dan masyarakat Perancis dari sisi
politik, sosial dan budaya serta tak luput potret terhadap perempuan
Perancis. Buku yang ditulis sistematis dalam bahasa sastrawi ini
diterbitkan di Kairo pada 1834, tiga tahun setelah ia kembali dari
Paris.
Di Paris, Rifaah al-Thahtawi menyaksikan kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki. Perempuan di negeri ini memiliki kebebasan,
pendidikan yang tinggi dan bisa bergaul secara luas. Kebebasan itu tidak
mengundang pelecehan dan stigma yang negatif terhadap perempuan.
Keadaan ini bertolak belakang dengan kondisi perempuan di negerinya yang
menetapkan kemuliaan dan kesucian perempuan dengan pingitan; jika
terpaksa pergi ke luar rumah – yang hanya untuk hal darurat – harus
dibungkus oleh hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Kaum perempuan di
negerinya pun tidak terdidik. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
perempuan terhadap aturan-aturan tadi akan membuat mereka dianggap
sebagai perempuan yang imoral dan hampir mustahil memperoleh jodoh.
Bagi
Rifaah, perempuan Perancis memiliki standard kemuliaan dan kesucian
tersendiri meski mereka bergaul luas dan bercampur-baur dengan laki-laki
(al-ikhtilâth). Sumber kemuliaan perempuan itu adalah pendidikan: “Kesucian
(‘iffah) perempuan bukan dengan membuka atau membungkus mereka tapi bersumber dari pendidikan yang baik....”(3)
Kemuliaan
perempuan tidak terletak pada secarik bungkus. Dalam ranah ini, Rifaah
al-Thahtawi seolah-olah ingin mengkritik tradisi hijab di Mesir yang
merupakan standard kemuliaan perempuan, sedangkan yang tidak berhijab
dituding perempuan hina. Perempuan di Paris memiliki pendidikan yang
baik berarti mereka perempuan mulia meski tidak berhijab.
Rifaah
juga menyaksikan perempuan itu menari dengan para laki-laki dan tradisi
ini tidak dianggap imoral. Rifaah melihatnya sebagai seni: “Mayoritas
penduduk Perancis menari, dan kebiasaan ini tampaknya sebagai keakraban
bukan hal yang dianggap fasik, berbeda dari tarian di negeri Mesir yang
penarinya hanya kaum perempuan yang tujuannya membangkitkan berahi.”
Rifaah
al-Thahtawi, yang lahir di pedalaman Mesir, lulus dari lembaga agama
yang sangat tradisional, memiliki pandangan yang sangat terbuka dan jauh
dari penghakiman dan tidak mengalami “benturan budaya”. Ia menemukan
hakikat kemuliaan perempuan di negeri lain. Meskipun ada perbedaan
adat-istiadat Rifaah tidak membawa pandangan umum laki-laki di
negerinya.
Bagi Rifaah al-Thahtawi, pendidikan adalah rahim bagi
kelahiran perempuan modern. Sejak tiba di Mesir ia melakukan reformasi
pendidikan di Mesir. Ketika ia masuk dalam Komite Reformasi Pendidikan
di Mesir pada 1836, ia mengusulkan dibukanya sekolah khusus perempuan,
namun gagal karena kondisi Mesir yang tidak memungkinkan. Meskipun
demikian tetap dibuka sekolah khusus untuk perawat dan bidan.(4)
Rifaah
pernah disingkirkan oleh penguasa Mesir saat itu yaitu Khadewi Abbas
yang menentang proyek modernisasi dan menutup sekolah-sekolah. Pada 1848
Rifaah diasingkan ke Khortum, Sudan, dengan dalih membangun sekolah
dasar! Rifaah menghabiskan enam tahun di daerah pembuangannya itu dengan
menerjemahkan sebuah novel terkenal
Les aventures de Télémaque
(Pertualangan Telemachus) karya penulis Perancis François Fénelon pada
abad ke-17. Rifaah al-Thahtawi baru bisa kembali ke Kairo dan dipulihkan
jabatannya setelah Abbas mangkat pada 1854.
Perhatian Rifaah al-Thahtawi terhadap pendidikan perempuan tertuang kembali dalam karyanya
Manâhij al-Albab al-Mishriyah fil Âdâb al-‘Ashriyah
– sebuah buku tentang tentang cita-cita masyarakat madani yang dibangun
melalui ilmu-ilmu humaniora modern. Buku terpenting karyanya tentang
pendidikan perempuan berjudul
al-Mursyid al-Amîn lil Banât wal Banîn
(Petunjuk Terpercaya untuk Anak Perempuan dan Laki-Laki). Buku yang
terdiri dari 7 bab dan 50 sub-bab ini diterbitkan pertama kali pada
1872.
Buku ini menuntut pendidikan bagi perempuan. Rifaah
al-Thahtawi menilai laki-laki yang menolak pendidikan perempuan
laki-laki itu memiliki kecemburuan yang berlebihan. Rifaah menilai sikap
ini ditemukan dalam kebiasaan lokal Mesir dan menyebutnya sebagai
“kebiasaan jahiliyah”. Rifaah menjadikan standard keadaban masyarakat
tergantung pada seberapa banyak perempuan yang dihormati dalam
masyarakat itu.
“Makin banyak perempuan dihormati dalam suatu
masyarakat, berarti semakin banyak keberadaban masyarakat itu, namun
apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk mendapatkan kebebasan –
yang seharusnya mereka miliki – hal ini menunjukkan pada kebiasaan
barbar.(5) Rifaah memiliki pengamatan yang tajam dan sangat
tepat ketika menangkap ketakutan laki-laki dan kecemburuan laki-laki
pada perempuan yang pandai – suatu pandangan yang masih berlaku hingga
saat ini. Padahal perempuan yang terdidik “menguntungkan” bagi
laki-laki.
Pertama, perempuan yang terpelajar, kata
Rifaah, akan mampu berinteraksi secara baik dengan laki-laki, bisa
berdialog dan bertukar pendapat
(wa yaj’aluhunna bil ma’ârifi ahlan wa yashluhunna bihi li musyârakati al-rijâl fil kalâm wal ra’yi) .
Perempuan yang memiliki kemampuan membaca dan menulis adalah bagian
yang terpenting dari kesempurnaan perempuan dan menjadi sebab utama
ketertarikan laki-laki yang terpelajar kepadanya dari pada soal
kecantikan. Perempuan yang terdidik tidak perlu cantik, tapi perempuan
yang cantik tak bisa lepas dari pendidikan.(6)
Kedua,
perempuan yang terpelajar akan berpengaruh pada pendidikan dan karakter
anaknya. Rifaah al-Thahtawi mengandaikan seorang anak perempuan yang
melihat ibunya gemar membaca, mampu mengatur urusan rumah tangga dan
sibuk mendidik anak-anaknya maka anak perempuan itu akan terdorong untuk
menjadi seperti ibunya.(7)
Ketiga, perempuan yang
terpelajar akan memiliki pekerjaan dan kesibukan sedangkan perempuan
yang menganggur akan melahirkan kebiasaan yang buruk: gemar gosip dan
mudah iri hati. Pekerjaan akan menjaga perempuan dari hal-hal yang tidak
terpuji itu. Bahkan, menurut Rifaah al-Thahtawi, kalau pengangguran
dianggap keburukan bagi laki-laki, maka pengangguran jauh lebih buruk
lagi untuk perempuan.(8)
Rifaah al-Thahtawi juga mengkritik
pandangan laki-laki yang melihat perempuan hanya sebagai tempat untuk
bersenang-senang saja. Padahal, kata Rifaah, perempuan itu persis
seperti laki-laki baik anggota tubuhnya, keperluannya, inderanya yang
lahir dan batin maupun sifat-sifatnya; bisa dikatakan struktur perempuan
itu menyerupai struktur laki-laki.(9) Orang yang berakal, kata Rifaah,
akan menemukan perbedaan yang sangat tipis antara laki-laki dan
perempuan kecuali masing-masing memiliki alat reproduksi yang berbeda;
hanya dari sisi ini akan tampak perbedaan.(10) Selain sisi tadi
laki-laki dan perempuan benar-benar sama.
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) Muhammad
Abduh adalah seorang ulama lulusan al-Azhar pada 1877. Pada awalnya ia
sangat terpengaruh oleh Jamaluddin al-Afghani, penggerak “Pan-Islamisme”
sebagai elan untuk melawan kolonialisme asing. Akibat aktivitas
politiknya Abduh bersama al-Afghani diasingkan, salah satunya ke
Perancis; di negeri inilah ia bertemu Qasim Amin yang menjadi
penerjemahnya. Pemikiran keagamaan Abduh sangat berpengaruh pada
pemikiran Qasim Amin. Setelah kembali ke Mesir, Abduh mengubah
siasatnya. Setelah sebelumnya menjadi seorang “revolusioner” dengan
mengikuti Jamaluddin al-Afgani, kemudian ia menjadi seorang “reformis”
untuk melakukan agenda-agenda reformasi dalam agama, pendidikan dan
peradilan agama. Agenda ini berjalan semakin efektif ketika Abduh
diangkat menjadi mufti Mesir pada 1899 hingga ia wafat pada 1905.

Muhammad
Abduh berikhtiar untuk mengembalikan rasionalitas Islam yang,
menurutnya, merupakan dasar dari modernitas Islam. Berbeda dari
al-Thahthawi yang liberal – yang memandang modernitas ada di Barat
dengan melakukan penerjemahan khazanah intelektual, politik, sastra,
hingga peraturan dan perundang-undangan Perancis ke dalam bahasa Arab
dan Turki – Abduh tidak melakukan proses ini, karena di samping tidak
memiliki pendidikan Barat, Abduh sendiri berkeyakinan bahwa Islam telah
menyediakan prinsip-prinsip modernitas. Oleh karena itu, Abduh berusaha
menemukan kembali elan kemajuan dalam Islam dengan menyingkap
aspek-aspek rasionalitas. Abduh menegakkan kembali supremasi nalar
manusia yang selama berabad-abad telah ditaklukkan oleh kebodohan,
kejumudan dan irasionalitas. Bagi Abduh, Islam dulu pernah jaya karena
ditopang oleh penalaran yang kuat. Sebab kemunduran umat Islam, bagi
Abduh, telah jelas: hilangnya supremasi akal dalam umat Islam.
Inilah
agenda utama Abduh dalam melakukan penafsiran kembali terhadap
doktrin-doktrin Islam melalui arahan “akal yang tercerahkan”. Sebagai
seorang sarjana muslim dan Mufti Mesir saat itu, penafsiran Abduh sangat
otoritatif. Dalam konteks perempuan, bagi Abduh, penindasan dan
kesewenang-wenangan terhadap perempuan sangat bertentangan dengan Islam,
karena Islam, menurut Abduh, memuat ajaran yang mengedepankan
kesetaraan. Kalau penindasan perempuan pada periodenya membawa
doktrin-doktrin Islam, maka Abduh menyuguhkan kembali tafsir yang modern
tentang perempuan. Model tafsir yang dikembangkan Abduh adalah dengan
melacak kembali sosio-historis(11) ayat-ayat al-Quran melalui dua
proses:
pertama ayat-ayat itu turun dalam lanskap budaya setempat
abad ke-7 Masehi. Oleh karena itu, ayat dan aturan tentang perempuan
harus dikaitan dengan sebab turunnya
(asbâb al-nuzûl) yang bersumber dari kejadian dan adat-istiadat bangsa Arab waktu itu.
Kedua
bagaimana al-Quran dipahami kembali dalam konteks kehidupan Abduh pada
akhir abad ke-19 yang mengusung jargon kemajuan, rasionalitas dan
modernitas.
Kepedulian Abduh terhadap perempuan tertuang dalam tulisan-tulisannya di
al-Waqâ’i’ al-Mishriyah
– media yang diterbitkan oleh Pemerintah Mesir yang berisi laporan
kejadian-kejadian di Mesir – pada 1881 sebelum Abduh menjadi Mufti
Mesir. Dalam media itu Abduh menulis “Urgensi Perni¬kahan bagi Manusia”
dan “Hukum Poligami dalam Syariat Islam”. Dalam konteks relasi gender,
Abduh tergolong tradisional. Bagi Abduh, suatu bangsa terdiri dari
kumpulan rumah (keluarga). Apabila keluarga dalam keadaan baik, maka
bangsa tersebut akan baik pula. Untuk kasus poligami, Abduh mengkritik
keras alasan poligami yang selalu menarik-narik justifikasi agama. Abduh
juga menemukan bahwa mayoritas pelaku poligami pada masa hidupnya
menimbulkan kerusakan.(12) Abduh berpendapat jika pada zaman Nabi
poligami bisa dibatasi, maka di masa sekarang sudah waktunya dilarang
karena menimbulkan mudarat.
Prinsip kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan ditegaskan oleh Abduh – sebagai seorang ulama dan Mufti –
dengan mengutip dalil al-Quran dan Hadis sembari memberikan penafsiran
yang mencerahkan. Salah satu sumbangan penting Abduh adalah membongkar
mitos penciptaan yang menjadi sebab-musabab stereotipe gender perempuan.
Konon Adam adalah makhluk yang pertama kali diciptakan selanjutnya Hawa
yang dibentuk dari tulang rusuknya. Abduh menentang pemahaman ini
dengan merujuk pada surat al-Nisa’ ayat 1, manusia diciptakan dari “nafs
wâhidah” (jiwa yang satu) dan Abduh menentang bahwa yang disebut “nafs
wâhidah” adalah Adam.
Menurut Abduh, pemahaman ini kontradiktif
karena setiap bangsa di dunia akan mengaku memiliki nenek-moyang
sendiri. Bangsa Cina akan menyebut asal-usul leluhurnya berbeda dari
bangsa Ibrani, Mongol, Negro atau Indian. Bangsa-bangsa ini memiliki
klaim nenek-moyang dan sejarahnya sendiri-sendiri. Sementara, ayat tadi
meliputi seluruh bangsa di bumi. Bagaimana mungkin membatasi pengertian
“nafs wâhidah” hanya pada Adam, yang hanya dikenal oleh sebuah
bangsa?(13) Penafsiran “nafs wâhidah” yang merujuk pada Adam sebagai
moyang manusia bagi Abduh tidak masuk akal dan bertentangan dengan
sejarah antropologi manusia. Pendapat Abduh berlawanan dengan penafsiran
mayoritas ahli tafsir klasik yang menafsirkan ayat ini untuk menegaskan
Hawa dicip¬takan dari tulang rusuk Adam. Sementara, dengan dalil ayat
di atas, Abduh bersikukuh dengan pandangannya bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki kesetaraan dalam asal-usul penciptaan; baik laki-laki
atau perempuan diciptakan dari “nafs wâhidah”.
Abduh juga
membongkar penafsiran yang sering dirujuk oleh kelompok misioginis
terhadap perempuan seperti kutipan “qawwam” dalam surat al-Nisa’ ayat 34
yang berarti “pemimpin” yang acap kali ditarik terlalu jauh untuk
melarang perempuan sebagai pemimpin politik yang akan memimpin para
laki-laki. Padahal yang dimakud pemimpin di sini adalah dalam konteks
keluarga. Kehidupan keluarga laksana kehidupan sosial, maka diperlukan
seorang pemimpin untuk menyatukan pendapat dan keinginan yang berbeda
dari masing-masing individu.(14) Sedangkan lanjutan ayat ini yang
berisi tentang “kelebihan laki-laki”, bagi Abduh, artinya sangat sempit:
“kelebihan” dalam arti jasmani dan pemberian nafkah. Namun “kelebihan”
di sini dipahami sebagai sunnah (ketentuan) Allah dan diskripsi atas
pluralitas kehidupan sosial. Tuju¬an dari makna “kelebihan” dalam ayat
ini seharusnya dipahami sebagai perimbangan dalam lini kehidupan dan
untuk saling berbagi, bukan bertujuan merendahkan bagian yang lain.(15)
Sedangkan masalah nafkah bukan berarti laki-laki bisa bersikap
otoriter terhadap istri, karena perempuan juga memiliki tanggung jawab
dan kewajiban. Dalam ayat lain Allah menuntut sang suami untuk membalas
dan melayani sang istri ketika hamil, mengasuh anak, dan lain-lain.(16)
Maka kepemimpinan harus sejalan dengan kemauan dan pilihan yang
dipimpin, seorang pemimpin tidak boleh memaksa melainkan membimbing dan
merawat.(17) Dalam ayat lain kepemimpinan dalam keluarga berasas pada
musyawarah.(18)
Sumber penindasan perempuan, dalam pemikiran
Abduh, berasal dari konteks sosial perempuan itu. Di sinilah tubuh
perempuan bergerak menjadi “tubuh sosial” yang diatur oleh hukum,
adat-istiadat dan pandangan laki-laki waktu itu. Sumber kekerasan yang
sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga. Abduh memberikan
aturan untuk melindungi perempuan dari kekerasan model ini. Fokus Abduh
pada soal penetapan aturan yang melindungi perempuan dalam pernikahan,
poligami, perceraian dan hak waris.
Dalam Islam, perempuan
berhak menentukan calon suaminya, dan tidak seorang pun yang berhak
untuk memaksa. Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah pernah membatalkan
pernikahan Khansa' bint Khizam, ketika ayah Khansa' memaksakan
pernikahan dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan kehendak Khansa'.
Dan seorang wali perempuan tidak berhak menghalang-halangi pernikahan
perempuan jika keduanya saling mencintai, sesuai firman Allah dalam
al-Baqarah ayat 232.
Bagi Abduh, poligami lebih pada soal produk
budaya masyarakat yang tidak selalu berkaitan dengan agama, dan bukan
kasus Islam saja. Dalam sebuah fatwanya, Muhammad Abduh memperbolehkan
pelarangan tradisi poligami ini dengan tiga alasan.
Pertama, adil adalah syarat poligami dan syarat ini pernah terjadi sesuai firman Allah:
Dan
kamu tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka jangan terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai) . Jikapun ternyata ada seorang
yang bisa berbuat adil, mungkin satu dari sejuta orang, realitas ini
tidak bisa dijadikan kaidah.
Kedua, dewasa ini, suami berbuat
tidak baik terhadap istrinya karena berpoligami, seperti tidak memberi
nafkah, dan bertindak sewenang-wenang. Maka, hakim agama
(qâdlî) berhak melarang tradisi ini untuk menghindari kerusakan dalam kehidupan keluarga.
Ketiga,
timbul permusuhan dan perselisihan antara anak-anak yang berbeda ibu,
karena mereka dididik dalam suasana persaingan dan kebencian antara
istri-istri. Setelah mempertimbangkan realitas di atas, tokoh-tokoh
agama berhak membatalkan tradisi ini, untuk menjaga kemaslahatan dan
menghindar dari kerusakan dalam sebuah keluarga.(19)
Laki-laki
juga tidak bisa menceraikan istrinya sewenang-wenang; kalau pernikahan
saja harus disahkan melalui proses keterlibatan wali dan saksi dalam
proses ijab-kabul, maka perceraian juga harus dilangsungkan dalam
konteks yang demikian. Abduh membatasi ketentuan laki-laki yang secara
mudah menceraikan istrinya. Sebagai seorang mufti, Abduh menetapkan
aturan perceraian sebagai berikut.
Pertama, setiap suami yang ingin menceraikan istrinya harus mendatangi pengadilan agama dan mengabarkan sebab keretakan rumah tangga.
Kedua,
hakim agama harus menasihati laki-laki tersebut tentang hakikat dan
hukum perceraian dari al-Quran dan al Sunnah, bahwa perbuatan ini
memiliki akibat-akibat negatif dan termasuk perbuatan yang paling
dibenci Allah. Hakim agama memberi tenggat waktu pada suami untuk
mempertimbangkan kembali.
Ketiga, jika sang suami kembali setelah
seminggu dan tetap memaksa, maka hakim agama mengutus juru damai dari
keluarga suami dan keluarga istri.
Keempat, jika juru damai gagal
mendamaikan dua pasangan ini, keduanya melaporkan pada hakim agama, dan
pengadilan agama bisa mengizinkan sang suami menceraikan istrinya.
Kelima perceraian tidak dianggap sah kecuali di pengadilan agama: di depan hakim agama dan dihadiri dua orang saksi.(20)
Abduh juga menyusun materi-materi perlindungan hak-hak perempuan pada perceraian
(Protection on Rights on Divorce)
sebanyak sebelas materi, seperti hak mendapatkan jaminan setelah
perceraian, hak gugat cerai, dan lain-lain sebagainya. Hingga saat ini,
materi-materi tersebut masih berlaku dalam Seksi Undang-Undang Mesir
(Egyptian Law Section).
Pengaruh Abduh tersebar ke negeri-negeri muslim yang mengadopsi
pemikiran Abduh dalam membuat aturan dan perundang-undangan negara.
Sebelum Abduh, laki-laki dengan mudah dapat menceraikan istrinya dengan
ucapan “Aku cerai kamu!”
Pendapat Abduh ini lebih maju dari
Rifaah al-Thahtawi. Dalam kasus poligami, Rifaah tidak memiliki
keberanian untuk melarang, namun ia menekankan soal keadilan. Meskipun
ketika ia menggambarkan relasi gender antara laki-laki dan perempuan di
Paris, Rifaah menekankan pada cinta dan kesetiaan pada pasangannya saja,
namun di negerinya sendiri, Rifaah tidak mengambil langkah terlalu
jauh.
Soal jatah warisan perempuan, juga menjadi pangkal
stereotipe terhadap perempuan, yaitu separuh bagian laki-laki yang
diklaim dari kutipan QS al-Nisâ' ayat 7-11. Abduh memiliki pandangan
yang lain dalam menafsirkan ayat-ayat ini. Abduh berpendapat melalui
ayat ini bahwa penekanannya adalah “bagian perempuan”
menjadi asas
bagian laki-laki. Kalimat ini dipilih untuk menghapus kebiasaan
laki-laki Arab jahiliyah yang tidak mengakui hak waris perempuan dan
menjadikan laki-laki sebagai asas dalam sendi-sendi kehidupan periode
itu. Oleh karena itu, firman ini berbunyi,
li al-dzakar mitsl hadzdzi al-untsayain (bagian laki-laki adalah seperti bagian dua perempuan), bukan
li al-untsâ nishf hadzdzi al-dzakar (bagian perempuan separuh bagian laki-laki).(21)
Abduh
mengajak kita untuk melihat pada fokus ayat itu yakni adanya pengakuan
terhadap hak waris perempuan setelah sebelumnya tidak diakui sama
sekali, meskipun jatah tersebut sangat kompromistis. Signifikasinya
adalah adanya
pengakuan dan perluasan hak-hak perempuan dan adanya pembatasan terhadap hak-hak laki-laki. Jatah yang kompomistis itu bisa dipahami sebagai sistem “kuota” – seperti kuota 30 persen untuk perempuan dalam politik kita.
Dalam
hal poligami, yang juga dilakukan oleh Abduh adalah pembatasan terhadap
hak yang diklaim sebagai hak istimewa laki-laki. Sebelumnya, batasan
jumlah istri dalam poligami tidak terbatas, yang kemudian dibatasi empat
orang saja. Signifikasi yang bisa diambil adalah adanya pembatasan
poligami. Nah,
pembatasan inilah yang dijadikan kaidah oleh Abduh untuk melarang poligami.
Saya memiliki catatan terhadap pemikiran Abduh ini.
Pertama
pemikirannya mengandung nuansa tradisional yang mengulas perempuan
dalam konteks membangun rumah-tangga. Kata Abduh, “bangsa yang maju
ditentukan oleh keluarga yang maju.” Namun demikian, di sini diperlukan
perempuan yang merdeka, dihargai dan terdidik.
Kedua,
pemikirannya mengandung nuansa liberal yang memakai rasionalitas dalam
menafsirkan teks-teks agama. Metodologi interpretasi Abduh menjadi titik
tolak penggemar hermeunetika modern. Metodologi Abduh diteruskan oleh
murid dan penerusnya, seperti Rasyid Ridla, Amin Al-Khuli, Ahmad
Khalafullah, Bint Syathi', Nasr Hamid Abu-Zayd, Ibrahim Khalifah dan
lain-lain.(22) Menghormati dan mengakui hak-hak perempuan, bagi Abduh,
bersumber dari dalam ajaran Islam yang tercerahkan, yang mengakui
rasionalitas dan kemajuan.
Qasim Amin (1863-1908)Qasim
Amin adalah seorang “muslim feminis” yang paling populer,
karya-karyanya dikenal luas dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa
dunia serta memiliki pengaruh terhadap wacana pembebasan perempuan. Ia
berasal dari keluarga kelas menengah, lulus dari sekolah hukum dan
melanjutkan pendidikan hukumnya di Perancis antara 1881-1885.
Kontroversi seputar karya dan sosok Qasim Amin sendiri tidak pernah usai
hingga sekarang. Padahal ia “hanya” menerbitkan dua buku tentang
perempuan:
Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pada 1899, dan setahun kemudian menerbitkan
al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern).

Kelebihan
Qasim Amin dari generasi “muslim feminis” sebelumnya adalah bahwa ia
lebih berani dan terbuka melancarkan kritik terhadap kaum laki-laki dan
masyarakat patriarkis saat itu. Qasim Amin memadukan elan liberalisme
Rifaah al-Thahtawi dan rasionalitas Islam Muhammad Abduh. Hal ini
tertuang dalam
Tahrîr al-Mar’ah yang melihat pembebasan perempuan
dari dua perspektif besar: reformasi pendidikan dan sosial, serta
reformasi pemikiran keagamaan. Sebagai seorang pengacara dan ahli hukum
Perancis tentulah Qasim Amin mengimani liberalisme – Qasim Amin memiliki
pernyataan bagus tentang kebebasan: “kebebasan yang sebenarnya membawa
segala pemikiran, menerbitkan segala aliran dan menyambut setiap
pemikiran”(23) Qasim Amin juga sangat lihai mengutip pendapat filosof
dan intelektual Barat. Sementara untuk konteks pemikiran keagamaan Qasim
sangat terpengaruh oleh ide-ide Muhammad Abduh: sosok yang sangat dia
hormati dan dianggap gurunya.
Atas dasar itulah, Muhammad Imarah, yang mengumpulkan dan menyunting karya-karya Muhammad Abduh dan Qasim Amin, menganggap
Tahrîr al-Mar’ah
yang bagian agama ditulis oleh Muhammad Abduh sendiri. Saya menolak
anggapan ini setelah sebelumnya mempercayainya. Qasim memang sangat
terpengaruh Abduh, namun bukan berarti
Tahrîr al-Mar’ah sebagai
karya berdua. Perspektif keagamaan di buku ini memang menegaskan ide-ide
Abduh tentang perempuan serta mengutip fatwa dan aturan Abduh soal
poligami, nikah dan perceraian. Mungkin saja Abduh memiliki kontribusi
besar dalam membantu menyiapkan data yang berkaitan dengan penafsiran
agama, mungkin saja Abduh membaca buku ini sebelum terbit dengan
memberikan masukan-masukan atau sebagai “proof-reader”. Tapi kalau kita
membaca buku ini secara saksama, diksi, gaya tulisan, keterbukaan dan
keberanian dalam mengangkat penindasan perempuan adalah khas Qasim Amin.
Qasim
Amin adalah sosok yang “sentimentil” yang berbeda dari Muhammad Abduh
yang tenang dan rasional. Perbedaan ini tampak dalam gaya tulisan mereka
berdua, meskipun keduanya dikenal memiliki tulisan yang indah, diksi
yang tegas dan sastrawi. Empat tahun sebelum menerbitkan buku
Tahrîr al-Mar’ah, Qasim Amin menulis buku
Le Egyptiens
(1894) yang menjadi bantahan pada buku karangan seorang penulis
Perancis Duc Dharcouri. Dharcouri mengkritik kemunduran dan
keterbelakangan perempuan Mesir. Ia menyebut penyebabnya berasal dari
agama Islam. Qasim membantah buku itu dan “membela” realitas perempuan
Mesir. Dari sinilah lahir kontroversi. Ada perbedaan besar dalam
pemikiran Qasim Amin antara buku ini dengan
Tahrîr al-Mar’ah.
Dalam buku ini Qasim membela tradisi hijab dan tidak sepakat dengan
penyebutan perempuan Mesir dalam kondisi yang sangat terbelakang.
Saya
menilai buku Qasim ini yang ditulis dalam bahasa Perancis itu seperti
buku dari mereka yang beraliran “nasionalis-apologetik” – yang juga
sering mengusung slogan “right or wrong is my country” – di mana sebagai
seorang Mesir, Qasim tidak terima negerinya direndahkan. Selain itu,
seperti dalam pengakuan Qasim Amin sendiri, ia sampai jatuh sakit selama
sepuluh hari setelah membaca buku ini. Setelah sembuh ia terdorong
untuk menulis bantahan.
Pengakuan lain dituturkan oleh Qasim Amin
kepada Rasyid Ridha, seorang murid Muhammad Abduh, bahwa ia menulis
buku ini dalam suasana emosi yang sangat tinggi. Namun setelah itu ia
sadar bahwa memang benar tersebar keburukan dalam rumah-tangga Mesir. Ia
pun insaf dan berkata “Tidak ada faedahnya kalau keburukan itu memang
ada di dalam diri kita, kemudian kita terlalu sibuk membantah orang yang
mencela keburukan kita atau kita malah mencari-cari keburukan yang ada
dalam diri orang yang mencela itu. Sebaiknya kita membahas keburukan
yang ada dalam diri kita, dan berusaha mencari cara untuk
menghilangkannya.”(24) Oleh karena itu, Qasim Amin tidak pernah
menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Arab.(25) Inilah karakter Qasim
Amin yang jejak-jejak emosinya terlihat jelas dalam tulisannya; karakter
tulisan inilah yang membedakan teks Qasim Amin dari Muhammad Abduh.
Buku
Le Egyptiens ini tak hanya bertentangan dengan dua buku yang ditulis oleh Qasim Amin sesudahnya baik dalam
Tahrirul Mar’ah dan
al-Mar’ah al-Jadîdah
namun juga bertentangan dengan tulisan-tulisan Qasim Amin sebelumnya
yang diterbitkan dalam media seperti al-Mu’ayyid. Dalam
tulisan-tulisannya waktu itu Qasim telah memberikan kritik terhadap
kondisi masyarakat Mesir dari sisi sosial, ekonomi dan pendidikan. Qasim
Amin telah menulis soal kemiskinan, pentingnya kemerdekaan
(al-istiqlâl) dan reformasi pendidikan yang baginya perlu menyentuh rasa nasionalisme
(al-ihsâs al-wathanî).
Buku
Tahrîr al-Mar’ah
menyedot perhatian bangsa Arab waktu itu karena menyulut kontroversi
baik yang berasal dari lawan politik(26) kubu Qasim Amin hingga
tokoh-tokoh agama(27) yang menulis bantahan-bantahan. Lawan politik
Qasim Amin yang terkenal adalah Musthafa Kamil ketua Partai Nasional
(al-Hizb al-Wathanî) yang menuduh secara tak langsung Qasim Amin
menyerukan pendidikan perempuan Mesir atas dasar-dasar pendidikan Eropa.
Buku Qasim Amin ini juga menyulut kemarahan dari penguasa Mesir saat
itu, Khadewi Abbas Helmi, yang memiliki ambisi menjadi penguasa
satu-satunya di Mesir dan bebas dari pengaruh Inggris. Dalam konteks
keluarga bangsawan Mesir, Khadewi Abbas juga terlibat perpecahan dengan
Putri Nazli Fadhil yang sangat dekat dengan kubu Qasim Amin seperti
Muhammad Abduh, Saad Zaghlul dan Luthfi Sayyid. Khadewi Abbas memberikan
dukungan terhadap Musthafa Kamil yang mengusung nasionalisme “radikal”
yang mengingkan “revolusi”, sementara kubu Qasim Amin lebih tampak
sebagai kubu “reformasi”. Kubu Abbas Helmi dan Musthafa Kamil menuding
karya Qasim ini berbau politik dan membawa agenda kolonial Eropa.
Beberapa
penulis perempuan juga ikut menulis bantahan seperti Aisyah Taimuryiah
dan Malak Hifni Nashif. Kritik terhadap Qasim Amin diteruskan oleh
feminis radikal atau postkolonial yang mencurigai Qasim Amin tetap
membawa perspektif laki-laki dalam memandang perempuan, dengan
memberikan kategori untuk “perempuan” bila ingin disebut “modern”. Qasim
Amin dianggap tidak terlalu maju, karena hanya berbicara pada batasan
jilbab yang boleh terbuka hanya wajah dan tangan. Qasim Amin hanya
menolak kritik terhadap pingitan perempuan dan busana yang menutupi
seluruh tubuh perempuan (hijab) dan cadar perempuan
(niqâb).
Dalam hal pendidikan, Qasim Amin hanya berbicara pendidikan tingkat
dasar bagi perempuan. Kritik lain dari feminis postkolonial menyebut
Qasim Amin silau oleh modernitas dan rasionalitas, sehingga mengorbankan
tradisi-tradisi yang mungkin menjadi pilihan perempuan, namun justeru
dilihat oleh Qasim sebagai kemunduran. Pengertian “perempuan modern”
yang “diinginkan” oleh Qasim Amin haruslah terbebas dari tradisi
masyarakat.
Bagi saya, tuduhan ini berlebihan. Wacana Qasim Amin
memang tidak akan pernah lepas dari kekurangan yang semestinya terus
dibaca dan dikritik. Tulisan Qasim Amin adalah produk sosial, politik
dan agama di mana Qasim Amin hidup. Salah satu sumbangan terbesar Qasim
Amin adalah kritik pada lelaki patriarkis pada zamannya, membongkar
standard kelelakian tentang perempuan dan sistem sosial-politik yang
zalim. Oleh sebab itu, karya-karya Qasim Amin ini perlu dibaca dalam
konteks dia sebagai
male feminist.
Dalam menghadapi
kontroversi yang bertubi-tubi, Qasim Amin menjadi “penangkal-petir” dari
serangan-serangan yang dialamatkan kepada mereka yang menyerukan
reformasi agama, pendidikan dan kesetaraan gender. Qasim Amin hidup
dalam kondisi transisi politik Mesir yang rawan. Satu sisi serangan
berasal dari kubu konservatif yang menginginkan status-quo, serangan
sisi lain berasal dari kubu revolusioner yang menuding agenda kaum
reformis sebagai penguatan terhadap agenda kolonialis. Sebagai ilustrasi
adalah posisi Soekarno bersama kubunya yang menerima untuk terlibat
dalam PPKI/BPUPKI yang dibentuk Pemerintah Jepang di tengah serangan
kaum tradisional dan kubu revolusioner (seperti Sjahrir dan Tan Malaka).
Kira-kira seperti ini posisi Qasim Amin dan kubunya saat itu.
Serangan
terhadap Qasim Amin muncul karena ia tidak memiliki posisi politik yang
kuat dan penting, tidak seperti Muhamamd Abduh sebagai Mufti Mesir atau
Rifaah al-Thahtawi sebagai orang pemerintah. Qasim Amin adalah seorang
ahli hukum yang juga bekerja untuk pemerintah. Di sinilah letak
kontroversinya juga, seorang pegawai pemerintah melancarkan kritik atas
kebijakan pemerintah, meskipun tak lansung, namun secara jelas Qasim
Amin menegaskan bahwa keterbelakangan yang terjadi dalam masyarakat
merupakan tanggungjawab pemerintah yang berkuasa.
Qasim Amin
juga memilih diksi “tahrîrul mar’ah” (pembebasan perempuan), istilah
yang dianggap provokatif dan tidak pernah dipakai oleh tokoh-tokoh
reformasi sebelumnya baik oleh al-Thahthawi ataupun Abduh. Generasi
sebelum Qasim cukup memakai
tarbiyatul mar’ah wa ta’lîmuhâ (pendidikan dan pengajaran perempuan) bukan pembebasan perempuan.
Apabila
Qasim dibandingkan dengan Rifaah, ide Qasim memiliki persebaran yang
lebih luas, sementara ide Rifaah diterbitkan secara terbatas dalam media
Raudlatul Madâris – hanya dibagikan pada sekolah dan lembaga
pemerintah. Karena reformasi pendidikan dijadikan kebijakan pemerintah,
maka proyek Rifaah didukung penuh oleh pemerintah. Hal itu berbeda dari
Qasim Amin yang bukunya diterbitkan untuk khalayak luas, dan dengan
begitu “pembebasan perempuan” menjadi opini publik. Lebih dari itu,
posisi politik Qasim Amin berlawanan dengan penguasa Mesir, Khadewi
Abbas Hilmi.(28)
Sejauh pembacaan saya terhadap karya Qasim
Ami, dia melancarkan kritik yang keras terhadap penguasa. Bagi Qasim,
keterbelakangan sebuah bangsa akan menyebabkan keterbelakangan perempuan
dan sumber utamanya adalah sistem politik yang tiranikal. Seorang suami
menindas istrinya karena ia juga tertindas di lingkungan sosial dan
politiknya. Di sinilah saya melihat karya Qasim Amin ini juga membawa
kritik terhadap penguasa waktu itu.
Dalam buku
Tahrîr al-Mar’ah,
Qasim Amin menggunakan Islam sebagai poros untuk agenda reformasi. Ia
memulai dengan premis bahwa Islam adalah agama yang mengakui kesetaraan,
kemandirian dan kemuliaan peremuan.(29) Namun, Qasim Amin melihat
realitas yang ada dalam masyarakat muslim saat itu bertentangan dengan
dasar-dasar Islam ini, yang menurutnya berpulang pada dua sebab:
pertama adalah adat-istiadat masyarakat, dan
kedua adalah penafsiran fiqih yang rigid.
Oleh
karena itu, Qasim Amin mengkritik adat-istiadat yang dilihatnya sebagai
kemunduran, dan baginya kebiasan masyarakat ini tidaklah suci untuk
dikritik. Dan kebiasaan yang buruk ini tiba-tiba mengalahkan ajaran
agama dan dianggap sebagai ajaran agama. Qasim Amin juga menyebut sebab
penindasan perempuan berasal dari sistem politik yang zalim.
Kepemimpinan yang lalim di suatu bangsa akan melahirkan model laki-laki
yang kuat namun menghina perempuan karena kelemahannya.(30)
Kritik
yang sengit juga dialamatkan oleh Qasim Amin kepada kaum ulama yang
menyumbang penafsiran dan aturan yang menindas perempuan. “Tak
terbantahkan oleh siapa pun bahwa agama Islam sekarang ini telah berubah
dari ajaran dasarnya, sedangkan para ulama sangat sedikit yang diberi
cahaya oleh Allah, mereka telah memainkan agama sesuai kepentingan nafsu
mereka, sehinga mereka menjadi barang tertawaan dan ejekan.”
Qasim menyebut beberapa kebiasaan laki-laki yang menghina perempuan
(ihtiqâr al-mar’ah) ,
seperti laki-laki yang rumahnya dipenuhi budak perempuan atau
istri-istri dan ia melampiaskan syahwatnya kepada yang ia suka,
laki-laki yang menceraikan istrinya tanpa alasan, laki-laki yang duduk
sendiri di meja makan menikmati hidangan dikelilingi oleh para perempuan
baik istri, ibu dan adik-adiknya yang makan dari sisa makanan itu,
laki-laki yang menyewa seorang penjaga untuk memantau ke mana pun
istrinya pergi, laki-laki yang memenjara istri di rumahnya dan laki-laki
itu bangga akan sikapnya, laki-laki yang menganggap perempuan tidak
bisa dipercaya dan diberi amanat, laki-laki yang memisahkan perempuan
dari ruang publik dan tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk
memberikan pendapat tentang makanan, seni dan hal-hal umum lainnya atau
tidak diberi kebebasan beragama. Qasim Amin menyatakan bahwa deskripsi
di atas tidak berlebihan, itulah yang ia saksikan di Mesir pada waktu
itu.(31)
Ketika Qasim berbicara tentang urgensi pendidikan
perempuan, ia sependapat dengan Rifaah al-Thahtawi tentang kesetaraan
perempuan dengan laki-laki yang memiliki nalar, perasaan dan tubuh.
Perbedaannya hanya berkaitan dengan organ kecil di tubuhnya.

Dalam
soal pakaian, Qasim Amin menolak hijab yang menutupi seluruh tubuh
perempuan dan penggunaan cadar atau segregasi perempuan melalui batasan
tabir. Qasim menunjukkan bahwa pakaian ini telah dikenal jauh sebelum
Islam dan ditemukan dalam masyarakat yang lain, yang kemudian dianggap
sebagai “busana agama” dan tak jarang aturannya dilebih-lebihkan. Qasim
Amin menentang keras pengurungan perempuan baik dalam rumah atau dalam
pakaian yang serba tertutup. Qasim Amin memilih pendapat yang “moderat”
yaitu bahwa perempuan boleh terbuka wajah dan tangannya. Qasim menentang
anggapan bahwa perempuan harus tertutup tubuhnya karena dituding
sebagai sumber fitnah. Bagi Qasim persoalan ini hanya berkaitan dengan
laki-laki yang hatinya lemah. Kalau ia takut tergoda perempuan, mengapa
tidak menundukkan pandangan
(ghadd al-bashar)?
“Mengherankan,
mengapa laki-laki tidak diperintahkan membungkus dirinya atau menutup
wajahnya jika takut pada perempuan yang dianggap bisa menimbulkah
fitnah? Apakah laki-laki menganggap dirinya lebih lemah dari perempuan
sehingga tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dibandingkan
perempuan?”(32) Qasim Amin menentang keras poligami. Ia menyebutkan kebiasaan ini sebagai bentuk penghinaan yang keras pada perempuan.
Tidak
terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap
perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela
melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga
seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya.
Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi
perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki…(33) Sementara buku “Perempuan Modern”
(al-mar’ah al-jadîdah) merupakan penegasan kembali terhadap ide-ide yang telah tertuang dalam buku
Tahrîr al-Mar’ah
yang ditulis sebelumnya. Dengan buku “Perempuan Modern”, sekaligus
Qasim Amin merespon serangan-serangan yang dilancarkan padanya oleh para
pengkritiknya. Buku ini melanjutkan polemik dan membantah tudingan
bahwa dirinya menyerukan perempuan untuk melepaskan jilbab. Dalam buku
ini Qasim menekankan kembali prinsip-prinsip kemodernan dan keberadaban.
Bagi Qasim, yang disebut dengan “perempuan modern” adalah buah dari
peradaban modern yang muncul di Barat setelah penemuan-penemuan ilmiah
yang membebaskan akal-budi dari kekangan khurafat, wahm dan praduga.(34)
Setelah menuturkan kondisi perempuan dalam lintas sejarah, yang
ditemukan penindasan-pernindasan terhadapnya, ia menyebutkan sebabnya
adalah hilangnya kebebasan politik di suatu bangsa. Masyarakat yang
terkekang oleh penindasan akan berdampak pada kekerasan dalam rumah
tangga. Qasim menunjuk negeri-negeri Timur yang menurutnya perempuan itu
ditindas oleh laki-laki, sementara laki-lakinya ditindas oleh Penguasa.
Laki-laki itu menjadi sosok penindas di rumahnya dan ia akan menjadi
tertindas setelah keluar dari rumahnya.(35)
Dalam buku ini juga Qasim Amin menegaskan kembali tentang “kebebasan perempuan”
(hurriyatul mar’ah)
yang tertuang dalam bab khusus. Bagi Qasim kebebasan adalah syarat
utama untuk pemberdayaan kualitas manusia dan akan membawa pada
kebahagiaan. Kebebasan yang dimaksud oleh Qasim di sini adalah kebebasan
individu, setiap orang memiliki kemerdekaan dalam pemikiran, kehendak
dan memilih pekerjaan yang berpijak pada batas-batas aturan dan etika
serta ia tidak takluk pada kehendak di luar dirinya. Kebebasan dalam
pengertian seperti inilah seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan
perempuan.(36) Qasim Amin dalam bab ini juga mencela pandangan, sikap
dan kebiasaan laki-laki yang merendahkan perempuan, seperti anggapan
laki-laki yang merasa memiliki kedaulatan tak terbatas pada perempuan,
perempuan sebagai sumber fitnah, perlakuan sewenang-wenang pada istri,
mengurung istri di dalam rumah, menganggap buruk perempuan yang keluar
rumah, membungkus seluruh perempuan dengan hijab dan mewajibkan cadar
serta keburukan-keburukan lainnya yang Qasim temukan dalam masyarakat
masa itu.
Catatan AkhirKontribusi para laki-laki dalam wacana perempuan sangat tepat ditempatkan pada ranah
male feminist
– tokoh-tokoh yang saya ulas di atas lebih layak disebut sebagai
“muslim yang feminis” dari pada gelar-gelar yang tujuan awalnya untuk
menghormati mereka namun yang timbul justeru sebaliknya: datangnya
hujatan. Gelar-gelar yang kontraproduktif itu misalnya sebutan “pembela
perempuan”, “pelopor pembebasan perempuan” atau “bapak feminisme Islam”.
Sebutan-sebutan ini secara tak sadar telah mengungkapkan adanya
kesenjangan gender: derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari
perempuan. Padahal kesenjangan inilah yang dikritik oleh feminisme.
Para
“muslim feminis” yang saya suguhkan ide-idenya di atas terbatas pada
konteks di mana mereka hidup. Anda akan menemukan pola relasi gender
antara laki-laki dan perempuan yang sangat sederhana yakni dalam lingkup
keluarga. Dalam ranah ini bukan berarti saya tidak menyadari bahwa
pembahasan “muslim feminis” masih dalam lingkup heteroseksual–dugaan
yang bisa muncul: pembahasan ini acuh tak acuh terhadap homoseksualitas.
Apalagi dalam perkembangan terakhir, wacana
male feminist
dikembangkan oleh kalangan gay yang menguji kembali soal “kejantanan”
(benarkah laki-laki baru disebut “jantan” apabila tertarik pada
perempuan?) atau kritik pada soal “macoisme”. Saya yakin kontribusi ini
sangat penting terhadap wacana
male feminist. Saya tidak hendak
menafikan wacana ini, atau dianggap “heteroseksis” ketika mengulas
“muslim feminis” yang lingkupnya sangat sederhana (keluarga) dalam
perspektif heteroseksual. Saya pun tak hendak meneguhkan
“hetero-normativitas”. Tema ini membutuhkan pembahasan yang lebih
mendalam dan saya berjanji akan mengulas wacana
male feminist yang jauh “lebih maju” di kesempatan yang lain.
Saya memlih beberapa tokoh
male feminist tadi – dengan pemikiran mereka yang sangat sederhana – untuk memberikan kontribusi pada wacana
male feminist
dari perspektif Islam di Indonesia yang tidak terlalu dikenal luas.
Acap kali nama Qasim Amin disebut dan tulisan-tulisannya dikutip namun
diseret terlalu jauh dari konteksnya dan—seperti yang telah saya
singgung di atas—perannya dilebih-lebihkan.
Sebutan
male feminist
bagi Qasim Amin atau tokoh-tokoh muslim lainnya yang pro terhadap
gerakan perempuan adalah pengakuan terhadap mereka sebagai laki-laki
yang tidak bisa “bebas-nilai-gender”. Namun saya tak berharap kritik
yang dialamatkan pada mereka lebih diarahkan pada “kelelakian”-nya,
bukan pada subtansi idenya.
Hal terpenting yang dikemukakan oleh “
male-feminist yang muslim” itu bukan soal apa pendapat mereka
tentang perempuan
– saya menghormati kebebasan perempuan untuk mendefinisikan diri
sendiri dan membebaskan diri dari penilaian di luar dirinya – tapi apa
yang mereka (laki-laki) katakan untuk melawan sistem yang patriarkis,
mengkritik pandangan yang bias laki-laki dan membongkar
standard-standard yang dibangun oleh laki-laki untuk perempuan.
Male feminist
insaf, ia sebagai laki-laki tidak bisa dipisahkan dari perempuan (tidak
dalam arti heteroseksual), ia terlibat di dalamnya, namun ia juga perlu
sadar akan “batas” sebagai laki-laki. Ia tidak memiliki hak atau pun
kewewenangan untuk merasa paling tahu dan mengeluarkan aturan tentang
perempuan.
Male feminist adalah “mitra-perempuan” dalam jihad
menegakkan kesetaraan gender. Dalam posisi yang sangat terlibat ini
namun dengan tetap mengakui adanya “batas”, saya kira kesadaran inilah
yang terpenting bagi
male-feminist.
Jakarta 11 September 2009
Mohamad Guntur RomliCatatan Belakang:
Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 64 "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" (November 2009)
(1)
Dalam wawancara saya dengan Nawal Saadawi, dia menolak pengaruh
Marxisme pada ide-idenya, bagi dia Karl Marx tidak lebih jenius dari
dia, wawancara saya dimuat di GATRA, Edisi 30, 4 Juni 2004.
(2) Saadawi, Nawal, ”Tahrîr al-Mar’ah Bayna Musalsal Qâsim Amîn wa Khithâb Collin Powel”, harian al-Hayat, 8 Maret 2003.
(3) wa binnisbah li’iffatin nisâ’ la ya’ti min kasfihinna wa satrihinna bal mansya’u dzâlika al-tarbiyah al-jayyidah.
(4) Sekolah untuk perempuan kala itu bukan berarti tidak ada tapi
jumlahnya sangat terbatas. Kaum perempuan yang menerima pendidikan hanya
terbatas pada keluarga bangsawan dan kaya. Anak-anak perempuan dalam
keluarga ini dididik oleh guru-guru asing. Pada era Muhammad Ali telah
ada sekolah-sekolah khusus untuk perempuan yang dibangun oleh
komunitas-komunitas non-muslim: Kristen dan Barat. Pada 1835, dibangun
sekolah khusus perempuan oleh seorang istri dari misionaris Kristen
Inggris. Ini merupakan sekolah asing pertama untuk perempuan berdasarkan
dukungan penuh dari seorang muridnya yang berasal dari keluarga
penguasa Muhammad Ali, Madihah Ahmad Ubadah. Lihat ”Huqûq al-Mar’ah fil
Fikr al-Ijtimâ’î Inda Rifâ’ah Râfi’ al-Thahthâwi” dalam Kairomajalah
al-Tasamuh, Edisi 20, 2008, yang terbit di Kairo.
(5) Kullamâ
katsura ihtirâmul mar’ah ’ind qawmin katsura adâbuhum fa ’adamu
tawfiyatin nisâ’ huqûquhunna fîmâ yanbaghî lahunna al-hurriyah fîhi
dalîlun ’alâ al-thabî’ah al-barbarah.
(6) wa la syakka anna
hushulal mar’ah ala malakatil qirâh wal kitâbah, wa ‘ala al-takhalluq
bil akhlâq al-hamîdah wal ithlâ’ alal ma’ârif al-mufîdah huwa ajmal
shifâtil kamâl wa huwa asywaqu li al-rijâl al-mutarabbîn minal jamâl,
fal adab lil mar’ah yughni ‘anil jamâl, wa lâkinna al-jamâl lâ yughni
‘anil adab.
(7) Inna âdâbal mar’ah wa ma’ârifahâ tu’atstsiru
katsîran ‘alâ akhlâqi awlâdihâ, idz al-bint al-shaghîrah idzâ ra’at
ummahâ muqbalah ’alâ muthâla’ah al-kutub wa dlabth umûril al-bayt wal
isytighâl bi tarbiyati awlâdihâ jadzdzabatha al-ghîrah ilâ antakûna
mistla ummihâ.
(8) Fa’inna farâgha aydihinna ‘anil ‘amal yusyghilu
alsinatahunn bil abâthil wa qulûbahunna bil ahwâ’ wa ifti’âl aqâwil fal
’amal yashûnu al-mar’ah ’ammâ lâ yalîqu wa yuqibuhâ minal fadhîlah wa
idzâ kânal bathâlah madzmûmah fî haqqi al-rijâl fahiya mudzammamah
’adzîmah fi haqqi al-nisâ’.
(9) Fîmâ ‘adâ hâdzâ al-malâdz fahiya
mitsluhu sawâ bi sawâ’, a’dlâ’uha ka a’dlâ’ihi, wa hâjatuha ka hâjatihi
wa hawâsuhâ al-dhâhirah wal bâthinah ka hawâsihi, wa shifâtuha ka
shifâtihi hattâ kâdat an tandzima al-untsâ fi salaki al-rijâl.
(10) Idzâ am’ana al-âqil al-nadlar al-daqîq fî hay’ati al-rajul wal
mar’ah fi ayyi wajhin kâna minal wujûh wa fi ayyi nisbatin min al-nasab
lam yajid illâ farqan yasîran fi al-dzukûrah wal unûtsah wa ma
yata’allaqu bihimâ, fa al-dzukûrah wal unûtsah hiya mawdli’u al-tadlud
wa al-tabâyun.
(11) Romli, Mohamad Guntur, 2002, ”Kontekstualisasi
Tafsir Sosio-Historis Muhammad Abduh: Pandangan Abduh terhadap
Pembebasan Perempuan” dalam Romli, M. Guntur dan Sofia Tidjadi (Ed.),
Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban, Kairo: Fosgama.
(12) Imarah, Muhammad, 1979, al-Islâm wa al-Mar’ah fi Ra'yî al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Kairo: Dâr al-Hilâl, hlm. 11-12.
(13) Abduh, Muhammad, 1993, dalam al-A‘mâl al-Kâmilah (Koleksi Lengkap
Karya Muhammad Abduh), (Penyunting Muhammad Imarah), Kairo: Dâr
al-Syurûq, Cet. I, Vol. 5, hlm. 160.
(14) al-A‘mâl al Kâmilah, Vol. 4, hlm. 611.
15 (15) QS. al-Baqarah (2): 251, QS. al-Hasyar (58): 7 dan QS. al-Hujarât (49): 13.
16 (16) QS. al-Baqarah (2): 233.
(17) al-A‘mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 201.
(18) QS. al-Baqarah (2): 233.
(19) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 92.
(20) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 174-175.
(21) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 173.
(22) Lihat Romli, Mohamad Guntur, 2002, op. cit..
(23) al-hurriyah al-haqîqiyah tahtamilu ibdâ’ kulli fikrin, wa nasyri kulli madzhabin wa tarwîj kulli fikrin.
(24) Hamdan, Samir Abu, 1993, Qasim Amin: Jadaliyah al-‘Alâqah Bayna al-Mar’ah wa al-Nahdlah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
(25) Buku ini baru diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Muhammad
al-Bukhari dan diterbikan bersama karangan-karangan Qasim Amin yang lain
yang dikumpulkan dan diberi pengantar oleh Muhammad Imarah dalam
al-A’mâl al-Kamilah yang pertama kali terbit di tahun 1975
(26) Dua
buku yang ditulis oleh Muhammad Thal’at Harb, ahli ekonomi dan
penggagas Bank Mesir, Tarbiyatul Mar’ah wal Hijâb (Pendidikan Perempuan
dan Hijab) dan Fashlu Khithâbil Mar’ah wal Hijâb (Wacana Perempuan dan
Hijab) yang menuduh Qasim Amin membawa agenda pembebasan Eropa dan
memiliki kontradiksi dalam pemikiran-pemikirannya yang ada dalam
karya-karyanya.
(27) Syekh Muhammad Ahmad Hasanain al-Bulaqi,
seorang ulama al-Azhar saat itu, menulis al-Jalîsul Anîs Amma fi Tahdzîr
Tahrîrul Mar’ah Min al-Talbîs dan Muhammad Farid Wajdi yang menulis
al-Mar’ah al-Muslimah.
(28) Zayd, Muna Ahmad Abu, al-Ushûl
al-Fikriyah Li Huqûq al-Mar’ah fi Mishr al-Hadîtsah (Dasar-dasar
Pemikiran tentang Hak-hak Perempuan di Mesir Modern), makalah seminar di
Perpustakaan Alexandria, Mesir, tanggal 19-21 Januari 2009.
(29)
Amin, Qasim, 1988, dalam al-A’mâl al-Kamilah (Kumpulan Karya Lengkap
Qasim Amin), yang dikumpulkan dan disunting oleh Muhammad Imarah, Kairo:
Dar al-Syurûq, Cet ke-2, hlm. 325.
(30) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 326.
(31) al-A’mâl al-Kamilah , hlm. 327-328.
(32) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 356.
(33) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 393.
(34) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 420.
(35) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 426.
(36) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 437.