Tentang Adli
Jumat, 20 Juli 2012
Demi Tuhan Saya Atheis
Muslim-muslim yang feminis
Kontribusi ”Male Feminist” Muslim terhadap Wacana Kesetaraan Gender
Makin banyak perempuan dihormati dalam suatu masyarakat maka semakin beradab masyarakat itu, namun apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk meraih kebebasan, tandanya masyarakat itu mengikuti kebiasaan barbar. (Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi)
Tidak terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya. Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki. (Qasim Amin)
Percakapan male feminist dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari beberapa nama laki-laki yang terlibat dalam wacana perempuan sejak pertengahan abad ke-19. Salah satu tokoh yang dikenal luas adalah Qasim Amin seorang sarjana hukum dan pengacara yang menulis buku Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) pada tahun 1899.
Menempatkan tokoh laki-laki itu khususnya Qasim Amin dalam ranah ”muslim feminis” – istilah ini selanjutnya menggantikan male feminist – lebih tepat dari pada menyematkan sebutan-sebutan yang berlebihan yang menyulut kontroversi. Misalnya sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak Feminisme Islam” atau ”Pelopor Pembebasan Perempuan”. Sebutan ini jelas ahistoris karena menafikan peran perempuan-perempuan yang sezaman atau sebelum Qasim Amin dalam wacana dan gerakan perempuan. Sebutan ini juga ditolak mentah-mentah oleh sebagian kalangan feminis dengan tudingan bahwa dengan sebutan itu seolah-olah laki-lakilah yang mengawali pembebasan perempuan atau perempuan masih butuh laki-laki untuk bebas.
Kritik yang datang dari Laila Ahmed dalam bukunya Gender and Women in Islam menantang sebutan Qasim Amin sebagai ”Bapak Feminisme Mesir”. Bagi Laila, Qasim memiliki kontak yang sangat terbatas dengan perempuan-perempuan Mesir waktu itu, artinya tidak semua kelas perempuan bisa diamati oleh Qasim, sehingga cenderung mengeneralisasi kesimpulan tentang perempuan Mesir. Alasannya adalah bahwa pada masa itu segregasi gender dalam masyarakat Mesir sangat kuat. Akses Qasim sangat terbatas pada keluarga terdekat, pelayan atau mungkin pelacur. Sehingga Qasim menyuguhkan sebuah model yang cenderung stereotipe tentang perempuan Mesir sebagai perempuan yang terbelakang, bodoh dan jauh tertinggal dari ”saudari-saudari” Eropa mereka.
Kritik lain datang dari tokoh Feminis Mesir kontemporer, Nawal Saadawi, yang sering digolongkan sebagai feminis radikal dan marxis.(1) Nawal Saadawi mengkritik ”pemujaan” yang berlebihan pada Qasim Amin yang riwayat hidupnya dijadikan sinetron dalam 40 episode yang ditayangkan oleh televisi Mesir selama bulan Desember 2002. Tak hanya ”pengistimewaan” terhadap Qasim yang dikritik, peran Putri Nazli Fadhil dalam sinetron itu yang menurut Nawal dilebih-lebihkan sebagai seorang bangsawan Mesir yang ruang-tamunya (shalûn) dipenuhi tokoh-tokoh Mesir seperti Syekh Muhammad Abduh (mufti Mesir), Qasim Amin, Saad Zaghlul, Luthfi Sayyid dan lain-lain. Apakah karena Nazli seorang bangsawan sehingga kisah hidupnya menarik untuk diangkat? Bagaimana dengan ruang-tamu May Ziyadah seorang perempuan sastrawan yang penuh dengan kegiatan sastra dan berlangsung hingga tahun 1913? Bagaimana dengan peran perempuan penulis lainnya seperti Aisyah Taimuriyah (1840-1903) atau Zainab Fawwaz yang sezaman dengan Qasim? Atau peran Malak Hifni Nashif yang terkenal dengan nama penanya Bahitsah al-Badiyah (Penulis Desa) yang hidup antara 1886-1918, yang tulisan-tulisan sangat tajam dan kuat untuk melawan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan? Bagi Nawal, ide-ide Malak Hifni jauh lebih maju dibanding tulisan Qasim Amin atau Rifaah al-Thahtawi. Malak Hifni menyebut bahwa tulisan-tulisan al-Thahtawi hanya sampai di level ”ishlah” (reformasi) sementara Qasim Amin hanya level “tahrîr” (pembebasan) saja.(2)
Bagi saya, sebutan untuk Qasim Amin itu memang berlebihan dan cenderung kontraproduktif. Sebutan itu bertujuan menghargai jasa Qasim Amin, namun dengan istilah yang berlebihan justru mendatangkan hujatan bagi Qasim Amin. Selanjutnya yang dilihat bukan subtansi ide yang telah ditulis oleh Qasim Amin tentang perempuan – yang bagi saya sangat bernas, tajam dan luar biasa – namun tak jarang fokus hujatan itu pada jenis kelamin Qasim Amin sebagai laki-laki. Saya sepakat untuk menanggalkan gelar yang ahistoris itu, dan bagi saya, yang lebih tepat adalah mendudukkan wacana yang dikemukakan oleh Qasim Amin dan tokoh laki-laki lainnya tentang perempuan dalam ranah ”muslim (yang) feminis” bukan sebagai ”pelopor” apalagi sebutan ”bapak” feminisme Islam.
Dalam ranah ini, kita akan menemukan sosok-sosok ”muslim yang feminis” yang memiliki kepedulian dan keterlibatan dalam sejarah perempuan. Saya memilih tiga nama tokoh muslim yang masuk dalam ranah ”muslim yang feminis” yaitu: Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi, Syaikh Muhammad Abduh dan Qasim Amin.
Ketiga tokoh ini berada dalam sebuah era yang disebut nahda (kebangkitan untuk reformasi dan modernisasi Islam) yang terjadi pada pertengahan abad ke-19 yang berawal dari Mesir. Waktu itu seolah-olah telah menjadi kesepakatan umum bagi para tokoh dan intelektual nahda bahwa perempuan yang bebas, terpelajar dan mandiri adalah syarat utama dari kebangkitan umat Islam. Maka, pembebasan dan pemberdayaan perempuan merupakan agenda yang melekat dan tidak bisa dipisahkan dari agenda besar itu. Era itu juga mendorong kemunculan bagi “muslim-muslim yang feminis” ini.
Fokus catatan saya pada masa itu adalah bahwa “pandangan laki-laki” dalam masyarakat yang sangat patriarkis dan maskulin mulai diuji dan dikritik. Dan pihak yang melancarkan kritik yang sengit ini datang dari kaum laki-laki sendiri. Mereka menguji “kelelakian” yang melahirkan suatu standard norma, penilaian, dan penghakiman terhadap “keperempuanan”. Laki-laki mulai mendekonstruksi “standard kelelakian” terhadap pelbagai masalah: kemuliaan perempuan, tubuh perempuan, sekaligus mencari sebab mengapa perempuan harus ditindas dan sengaja tidak diberi akses pendidikan. Apakah kadar laki-laki bisa lebih tinggi setelah merendahkan kadar perempuan? Atau sebaliknya, laki-laki merasa laki-laki dalam posisi yang setara dengan perempuan?
Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873)
Dalam penelusuran saya, Syaikh Rifaah Rafi’ al-Thahthawi adalah “muslim feminis” pertama di era modern Islam yang menggedor kesadaran umat untuk meninggalkan penindasan terhadap perempuan. Syaikh Rifaah dikenal sebagai pelopor liberalisme karena pandangannya terhadap politik, masyarakat dan pendidikan terinspirasi dari tradisi kemodernan Perancis dan tidak merujuk pada tradisi Islam – meskipun ia seorang ulama al-Azhar. Rifaah lulus dari al-Azhar pada 1825, ia direkomendasikan oleh gurunya Syaikh Hasan al-Aththar pada penguasa Mesir (saat itu Muhammad Ali) untuk ikut rombongan pelajar Mesir ke Perancis yang akan belajar ilmu, pengetahuan dan persenjataan modern.
Selama lima tahun Rifaah al-Thahtawi belajar di Perancis. Menurut pengakuannya ia belajar etika, filsafat sosial dan politik, matematika dan geometri. Ia juga membaca karya-karya intelektual Perancis saat itu seperti Condillac, Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan Bezout. Perjalanan hidup di Perancis dituturkan oleh Rifaah al-Thahtawi dalam sebuah buku-memoar Takhlîsh al-Ibrîz fi Talkhîsh Baris yang memuat amatan dia terhadap kota dan masyarakat Perancis dari sisi politik, sosial dan budaya serta tak luput potret terhadap perempuan Perancis. Buku yang ditulis sistematis dalam bahasa sastrawi ini diterbitkan di Kairo pada 1834, tiga tahun setelah ia kembali dari Paris.
Di Paris, Rifaah al-Thahtawi menyaksikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan di negeri ini memiliki kebebasan, pendidikan yang tinggi dan bisa bergaul secara luas. Kebebasan itu tidak mengundang pelecehan dan stigma yang negatif terhadap perempuan. Keadaan ini bertolak belakang dengan kondisi perempuan di negerinya yang menetapkan kemuliaan dan kesucian perempuan dengan pingitan; jika terpaksa pergi ke luar rumah – yang hanya untuk hal darurat – harus dibungkus oleh hijab yang menutupi seluruh tubuhnya. Kaum perempuan di negerinya pun tidak terdidik. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan perempuan terhadap aturan-aturan tadi akan membuat mereka dianggap sebagai perempuan yang imoral dan hampir mustahil memperoleh jodoh.
Bagi Rifaah, perempuan Perancis memiliki standard kemuliaan dan kesucian tersendiri meski mereka bergaul luas dan bercampur-baur dengan laki-laki (al-ikhtilâth). Sumber kemuliaan perempuan itu adalah pendidikan: “Kesucian (‘iffah) perempuan bukan dengan membuka atau membungkus mereka tapi bersumber dari pendidikan yang baik....”(3)
Kemuliaan perempuan tidak terletak pada secarik bungkus. Dalam ranah ini, Rifaah al-Thahtawi seolah-olah ingin mengkritik tradisi hijab di Mesir yang merupakan standard kemuliaan perempuan, sedangkan yang tidak berhijab dituding perempuan hina. Perempuan di Paris memiliki pendidikan yang baik berarti mereka perempuan mulia meski tidak berhijab.
Rifaah juga menyaksikan perempuan itu menari dengan para laki-laki dan tradisi ini tidak dianggap imoral. Rifaah melihatnya sebagai seni: “Mayoritas penduduk Perancis menari, dan kebiasaan ini tampaknya sebagai keakraban bukan hal yang dianggap fasik, berbeda dari tarian di negeri Mesir yang penarinya hanya kaum perempuan yang tujuannya membangkitkan berahi.”
Rifaah al-Thahtawi, yang lahir di pedalaman Mesir, lulus dari lembaga agama yang sangat tradisional, memiliki pandangan yang sangat terbuka dan jauh dari penghakiman dan tidak mengalami “benturan budaya”. Ia menemukan hakikat kemuliaan perempuan di negeri lain. Meskipun ada perbedaan adat-istiadat Rifaah tidak membawa pandangan umum laki-laki di negerinya.
Bagi Rifaah al-Thahtawi, pendidikan adalah rahim bagi kelahiran perempuan modern. Sejak tiba di Mesir ia melakukan reformasi pendidikan di Mesir. Ketika ia masuk dalam Komite Reformasi Pendidikan di Mesir pada 1836, ia mengusulkan dibukanya sekolah khusus perempuan, namun gagal karena kondisi Mesir yang tidak memungkinkan. Meskipun demikian tetap dibuka sekolah khusus untuk perawat dan bidan.(4)
Rifaah pernah disingkirkan oleh penguasa Mesir saat itu yaitu Khadewi Abbas yang menentang proyek modernisasi dan menutup sekolah-sekolah. Pada 1848 Rifaah diasingkan ke Khortum, Sudan, dengan dalih membangun sekolah dasar! Rifaah menghabiskan enam tahun di daerah pembuangannya itu dengan menerjemahkan sebuah novel terkenal Les aventures de Télémaque (Pertualangan Telemachus) karya penulis Perancis François Fénelon pada abad ke-17. Rifaah al-Thahtawi baru bisa kembali ke Kairo dan dipulihkan jabatannya setelah Abbas mangkat pada 1854.
Perhatian Rifaah al-Thahtawi terhadap pendidikan perempuan tertuang kembali dalam karyanya Manâhij al-Albab al-Mishriyah fil Âdâb al-‘Ashriyah – sebuah buku tentang tentang cita-cita masyarakat madani yang dibangun melalui ilmu-ilmu humaniora modern. Buku terpenting karyanya tentang pendidikan perempuan berjudul al-Mursyid al-Amîn lil Banât wal Banîn (Petunjuk Terpercaya untuk Anak Perempuan dan Laki-Laki). Buku yang terdiri dari 7 bab dan 50 sub-bab ini diterbitkan pertama kali pada 1872.
Buku ini menuntut pendidikan bagi perempuan. Rifaah al-Thahtawi menilai laki-laki yang menolak pendidikan perempuan laki-laki itu memiliki kecemburuan yang berlebihan. Rifaah menilai sikap ini ditemukan dalam kebiasaan lokal Mesir dan menyebutnya sebagai “kebiasaan jahiliyah”. Rifaah menjadikan standard keadaban masyarakat tergantung pada seberapa banyak perempuan yang dihormati dalam masyarakat itu.
“Makin banyak perempuan dihormati dalam suatu masyarakat, berarti semakin banyak keberadaban masyarakat itu, namun apabila perempuan tidak dipenuhi haknya untuk mendapatkan kebebasan – yang seharusnya mereka miliki – hal ini menunjukkan pada kebiasaan barbar.(5)
Rifaah memiliki pengamatan yang tajam dan sangat tepat ketika menangkap ketakutan laki-laki dan kecemburuan laki-laki pada perempuan yang pandai – suatu pandangan yang masih berlaku hingga saat ini. Padahal perempuan yang terdidik “menguntungkan” bagi laki-laki.
Pertama, perempuan yang terpelajar, kata Rifaah, akan mampu berinteraksi secara baik dengan laki-laki, bisa berdialog dan bertukar pendapat (wa yaj’aluhunna bil ma’ârifi ahlan wa yashluhunna bihi li musyârakati al-rijâl fil kalâm wal ra’yi) . Perempuan yang memiliki kemampuan membaca dan menulis adalah bagian yang terpenting dari kesempurnaan perempuan dan menjadi sebab utama ketertarikan laki-laki yang terpelajar kepadanya dari pada soal kecantikan. Perempuan yang terdidik tidak perlu cantik, tapi perempuan yang cantik tak bisa lepas dari pendidikan.(6)
Kedua, perempuan yang terpelajar akan berpengaruh pada pendidikan dan karakter anaknya. Rifaah al-Thahtawi mengandaikan seorang anak perempuan yang melihat ibunya gemar membaca, mampu mengatur urusan rumah tangga dan sibuk mendidik anak-anaknya maka anak perempuan itu akan terdorong untuk menjadi seperti ibunya.(7)
Ketiga, perempuan yang terpelajar akan memiliki pekerjaan dan kesibukan sedangkan perempuan yang menganggur akan melahirkan kebiasaan yang buruk: gemar gosip dan mudah iri hati. Pekerjaan akan menjaga perempuan dari hal-hal yang tidak terpuji itu. Bahkan, menurut Rifaah al-Thahtawi, kalau pengangguran dianggap keburukan bagi laki-laki, maka pengangguran jauh lebih buruk lagi untuk perempuan.(8)
Rifaah al-Thahtawi juga mengkritik pandangan laki-laki yang melihat perempuan hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang saja. Padahal, kata Rifaah, perempuan itu persis seperti laki-laki baik anggota tubuhnya, keperluannya, inderanya yang lahir dan batin maupun sifat-sifatnya; bisa dikatakan struktur perempuan itu menyerupai struktur laki-laki.(9) Orang yang berakal, kata Rifaah, akan menemukan perbedaan yang sangat tipis antara laki-laki dan perempuan kecuali masing-masing memiliki alat reproduksi yang berbeda; hanya dari sisi ini akan tampak perbedaan.(10) Selain sisi tadi laki-laki dan perempuan benar-benar sama.
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905)
Muhammad Abduh adalah seorang ulama lulusan al-Azhar pada 1877. Pada awalnya ia sangat terpengaruh oleh Jamaluddin al-Afghani, penggerak “Pan-Islamisme” sebagai elan untuk melawan kolonialisme asing. Akibat aktivitas politiknya Abduh bersama al-Afghani diasingkan, salah satunya ke Perancis; di negeri inilah ia bertemu Qasim Amin yang menjadi penerjemahnya. Pemikiran keagamaan Abduh sangat berpengaruh pada pemikiran Qasim Amin. Setelah kembali ke Mesir, Abduh mengubah siasatnya. Setelah sebelumnya menjadi seorang “revolusioner” dengan mengikuti Jamaluddin al-Afgani, kemudian ia menjadi seorang “reformis” untuk melakukan agenda-agenda reformasi dalam agama, pendidikan dan peradilan agama. Agenda ini berjalan semakin efektif ketika Abduh diangkat menjadi mufti Mesir pada 1899 hingga ia wafat pada 1905.
Muhammad Abduh berikhtiar untuk mengembalikan rasionalitas Islam yang, menurutnya, merupakan dasar dari modernitas Islam. Berbeda dari al-Thahthawi yang liberal – yang memandang modernitas ada di Barat dengan melakukan penerjemahan khazanah intelektual, politik, sastra, hingga peraturan dan perundang-undangan Perancis ke dalam bahasa Arab dan Turki – Abduh tidak melakukan proses ini, karena di samping tidak memiliki pendidikan Barat, Abduh sendiri berkeyakinan bahwa Islam telah menyediakan prinsip-prinsip modernitas. Oleh karena itu, Abduh berusaha menemukan kembali elan kemajuan dalam Islam dengan menyingkap aspek-aspek rasionalitas. Abduh menegakkan kembali supremasi nalar manusia yang selama berabad-abad telah ditaklukkan oleh kebodohan, kejumudan dan irasionalitas. Bagi Abduh, Islam dulu pernah jaya karena ditopang oleh penalaran yang kuat. Sebab kemunduran umat Islam, bagi Abduh, telah jelas: hilangnya supremasi akal dalam umat Islam.
Inilah agenda utama Abduh dalam melakukan penafsiran kembali terhadap doktrin-doktrin Islam melalui arahan “akal yang tercerahkan”. Sebagai seorang sarjana muslim dan Mufti Mesir saat itu, penafsiran Abduh sangat otoritatif. Dalam konteks perempuan, bagi Abduh, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan sangat bertentangan dengan Islam, karena Islam, menurut Abduh, memuat ajaran yang mengedepankan kesetaraan. Kalau penindasan perempuan pada periodenya membawa doktrin-doktrin Islam, maka Abduh menyuguhkan kembali tafsir yang modern tentang perempuan. Model tafsir yang dikembangkan Abduh adalah dengan melacak kembali sosio-historis(11) ayat-ayat al-Quran melalui dua proses: pertama ayat-ayat itu turun dalam lanskap budaya setempat abad ke-7 Masehi. Oleh karena itu, ayat dan aturan tentang perempuan harus dikaitan dengan sebab turunnya (asbâb al-nuzûl) yang bersumber dari kejadian dan adat-istiadat bangsa Arab waktu itu. Kedua bagaimana al-Quran dipahami kembali dalam konteks kehidupan Abduh pada akhir abad ke-19 yang mengusung jargon kemajuan, rasionalitas dan modernitas.
Kepedulian Abduh terhadap perempuan tertuang dalam tulisan-tulisannya di al-Waqâ’i’ al-Mishriyah – media yang diterbitkan oleh Pemerintah Mesir yang berisi laporan kejadian-kejadian di Mesir – pada 1881 sebelum Abduh menjadi Mufti Mesir. Dalam media itu Abduh menulis “Urgensi Perni¬kahan bagi Manusia” dan “Hukum Poligami dalam Syariat Islam”. Dalam konteks relasi gender, Abduh tergolong tradisional. Bagi Abduh, suatu bangsa terdiri dari kumpulan rumah (keluarga). Apabila keluarga dalam keadaan baik, maka bangsa tersebut akan baik pula. Untuk kasus poligami, Abduh mengkritik keras alasan poligami yang selalu menarik-narik justifikasi agama. Abduh juga menemukan bahwa mayoritas pelaku poligami pada masa hidupnya menimbulkan kerusakan.(12) Abduh berpendapat jika pada zaman Nabi poligami bisa dibatasi, maka di masa sekarang sudah waktunya dilarang karena menimbulkan mudarat.
Prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ditegaskan oleh Abduh – sebagai seorang ulama dan Mufti – dengan mengutip dalil al-Quran dan Hadis sembari memberikan penafsiran yang mencerahkan. Salah satu sumbangan penting Abduh adalah membongkar mitos penciptaan yang menjadi sebab-musabab stereotipe gender perempuan. Konon Adam adalah makhluk yang pertama kali diciptakan selanjutnya Hawa yang dibentuk dari tulang rusuknya. Abduh menentang pemahaman ini dengan merujuk pada surat al-Nisa’ ayat 1, manusia diciptakan dari “nafs wâhidah” (jiwa yang satu) dan Abduh menentang bahwa yang disebut “nafs wâhidah” adalah Adam.
Menurut Abduh, pemahaman ini kontradiktif karena setiap bangsa di dunia akan mengaku memiliki nenek-moyang sendiri. Bangsa Cina akan menyebut asal-usul leluhurnya berbeda dari bangsa Ibrani, Mongol, Negro atau Indian. Bangsa-bangsa ini memiliki klaim nenek-moyang dan sejarahnya sendiri-sendiri. Sementara, ayat tadi meliputi seluruh bangsa di bumi. Bagaimana mungkin membatasi pengertian “nafs wâhidah” hanya pada Adam, yang hanya dikenal oleh sebuah bangsa?(13) Penafsiran “nafs wâhidah” yang merujuk pada Adam sebagai moyang manusia bagi Abduh tidak masuk akal dan bertentangan dengan sejarah antropologi manusia. Pendapat Abduh berlawanan dengan penafsiran mayoritas ahli tafsir klasik yang menafsirkan ayat ini untuk menegaskan Hawa dicip¬takan dari tulang rusuk Adam. Sementara, dengan dalil ayat di atas, Abduh bersikukuh dengan pandangannya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam asal-usul penciptaan; baik laki-laki atau perempuan diciptakan dari “nafs wâhidah”.
Abduh juga membongkar penafsiran yang sering dirujuk oleh kelompok misioginis terhadap perempuan seperti kutipan “qawwam” dalam surat al-Nisa’ ayat 34 yang berarti “pemimpin” yang acap kali ditarik terlalu jauh untuk melarang perempuan sebagai pemimpin politik yang akan memimpin para laki-laki. Padahal yang dimakud pemimpin di sini adalah dalam konteks keluarga. Kehidupan keluarga laksana kehidupan sosial, maka diperlukan seorang pemimpin untuk menyatukan pendapat dan keinginan yang berbeda dari masing-masing individu.(14) Sedangkan lanjutan ayat ini yang berisi tentang “kelebihan laki-laki”, bagi Abduh, artinya sangat sempit: “kelebihan” dalam arti jasmani dan pemberian nafkah. Namun “kelebihan” di sini dipahami sebagai sunnah (ketentuan) Allah dan diskripsi atas pluralitas kehidupan sosial. Tuju¬an dari makna “kelebihan” dalam ayat ini seharusnya dipahami sebagai perimbangan dalam lini kehidupan dan untuk saling berbagi, bukan bertujuan merendahkan bagian yang lain.(15)
Sedangkan masalah nafkah bukan berarti laki-laki bisa bersikap otoriter terhadap istri, karena perempuan juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban. Dalam ayat lain Allah menuntut sang suami untuk membalas dan melayani sang istri ketika hamil, mengasuh anak, dan lain-lain.(16) Maka kepemimpinan harus sejalan dengan kemauan dan pilihan yang dipimpin, seorang pemimpin tidak boleh memaksa melainkan membimbing dan merawat.(17) Dalam ayat lain kepemimpinan dalam keluarga berasas pada musyawarah.(18)
Sumber penindasan perempuan, dalam pemikiran Abduh, berasal dari konteks sosial perempuan itu. Di sinilah tubuh perempuan bergerak menjadi “tubuh sosial” yang diatur oleh hukum, adat-istiadat dan pandangan laki-laki waktu itu. Sumber kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga. Abduh memberikan aturan untuk melindungi perempuan dari kekerasan model ini. Fokus Abduh pada soal penetapan aturan yang melindungi perempuan dalam pernikahan, poligami, perceraian dan hak waris.
Dalam Islam, perempuan berhak menentukan calon suaminya, dan tidak seorang pun yang berhak untuk memaksa. Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah pernah membatalkan pernikahan Khansa' bint Khizam, ketika ayah Khansa' memaksakan pernikahan dengan laki-laki yang tidak sesuai dengan kehendak Khansa'. Dan seorang wali perempuan tidak berhak menghalang-halangi pernikahan perempuan jika keduanya saling mencintai, sesuai firman Allah dalam al-Baqarah ayat 232.
Bagi Abduh, poligami lebih pada soal produk budaya masyarakat yang tidak selalu berkaitan dengan agama, dan bukan kasus Islam saja. Dalam sebuah fatwanya, Muhammad Abduh memperbolehkan pelarangan tradisi poligami ini dengan tiga alasan. Pertama, adil adalah syarat poligami dan syarat ini pernah terjadi sesuai firman Allah: Dan kamu tidak akan pernah bisa berlaku adil terhadap istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka jangan terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) . Jikapun ternyata ada seorang yang bisa berbuat adil, mungkin satu dari sejuta orang, realitas ini tidak bisa dijadikan kaidah. Kedua, dewasa ini, suami berbuat tidak baik terhadap istrinya karena berpoligami, seperti tidak memberi nafkah, dan bertindak sewenang-wenang. Maka, hakim agama (qâdlî) berhak melarang tradisi ini untuk menghindari kerusakan dalam kehidupan keluarga. Ketiga, timbul permusuhan dan perselisihan antara anak-anak yang berbeda ibu, karena mereka dididik dalam suasana persaingan dan kebencian antara istri-istri. Setelah mempertimbangkan realitas di atas, tokoh-tokoh agama berhak membatalkan tradisi ini, untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan dalam sebuah keluarga.(19)
Laki-laki juga tidak bisa menceraikan istrinya sewenang-wenang; kalau pernikahan saja harus disahkan melalui proses keterlibatan wali dan saksi dalam proses ijab-kabul, maka perceraian juga harus dilangsungkan dalam konteks yang demikian. Abduh membatasi ketentuan laki-laki yang secara mudah menceraikan istrinya. Sebagai seorang mufti, Abduh menetapkan aturan perceraian sebagai berikut. Pertama, setiap suami yang ingin menceraikan istrinya harus mendatangi pengadilan agama dan mengabarkan sebab keretakan rumah tangga. Kedua, hakim agama harus menasihati laki-laki tersebut tentang hakikat dan hukum perceraian dari al-Quran dan al Sunnah, bahwa perbuatan ini memiliki akibat-akibat negatif dan termasuk perbuatan yang paling dibenci Allah. Hakim agama memberi tenggat waktu pada suami untuk mempertimbangkan kembali. Ketiga, jika sang suami kembali setelah seminggu dan tetap memaksa, maka hakim agama mengutus juru damai dari keluarga suami dan keluarga istri. Keempat, jika juru damai gagal mendamaikan dua pasangan ini, keduanya melaporkan pada hakim agama, dan pengadilan agama bisa mengizinkan sang suami menceraikan istrinya. Kelima perceraian tidak dianggap sah kecuali di pengadilan agama: di depan hakim agama dan dihadiri dua orang saksi.(20)
Abduh juga menyusun materi-materi perlindungan hak-hak perempuan pada perceraian (Protection on Rights on Divorce) sebanyak sebelas materi, seperti hak mendapatkan jaminan setelah perceraian, hak gugat cerai, dan lain-lain sebagainya. Hingga saat ini, materi-materi tersebut masih berlaku dalam Seksi Undang-Undang Mesir (Egyptian Law Section). Pengaruh Abduh tersebar ke negeri-negeri muslim yang mengadopsi pemikiran Abduh dalam membuat aturan dan perundang-undangan negara. Sebelum Abduh, laki-laki dengan mudah dapat menceraikan istrinya dengan ucapan “Aku cerai kamu!”
Pendapat Abduh ini lebih maju dari Rifaah al-Thahtawi. Dalam kasus poligami, Rifaah tidak memiliki keberanian untuk melarang, namun ia menekankan soal keadilan. Meskipun ketika ia menggambarkan relasi gender antara laki-laki dan perempuan di Paris, Rifaah menekankan pada cinta dan kesetiaan pada pasangannya saja, namun di negerinya sendiri, Rifaah tidak mengambil langkah terlalu jauh.
Soal jatah warisan perempuan, juga menjadi pangkal stereotipe terhadap perempuan, yaitu separuh bagian laki-laki yang diklaim dari kutipan QS al-Nisâ' ayat 7-11. Abduh memiliki pandangan yang lain dalam menafsirkan ayat-ayat ini. Abduh berpendapat melalui ayat ini bahwa penekanannya adalah “bagian perempuan” menjadi asas bagian laki-laki. Kalimat ini dipilih untuk menghapus kebiasaan laki-laki Arab jahiliyah yang tidak mengakui hak waris perempuan dan menjadikan laki-laki sebagai asas dalam sendi-sendi kehidupan periode itu. Oleh karena itu, firman ini berbunyi, li al-dzakar mitsl hadzdzi al-untsayain (bagian laki-laki adalah seperti bagian dua perempuan), bukan li al-untsâ nishf hadzdzi al-dzakar (bagian perempuan separuh bagian laki-laki).(21)
Abduh mengajak kita untuk melihat pada fokus ayat itu yakni adanya pengakuan terhadap hak waris perempuan setelah sebelumnya tidak diakui sama sekali, meskipun jatah tersebut sangat kompromistis. Signifikasinya adalah adanya pengakuan dan perluasan hak-hak perempuan dan adanya pembatasan terhadap hak-hak laki-laki. Jatah yang kompomistis itu bisa dipahami sebagai sistem “kuota” – seperti kuota 30 persen untuk perempuan dalam politik kita.
Dalam hal poligami, yang juga dilakukan oleh Abduh adalah pembatasan terhadap hak yang diklaim sebagai hak istimewa laki-laki. Sebelumnya, batasan jumlah istri dalam poligami tidak terbatas, yang kemudian dibatasi empat orang saja. Signifikasi yang bisa diambil adalah adanya pembatasan poligami. Nah, pembatasan inilah yang dijadikan kaidah oleh Abduh untuk melarang poligami.
Saya memiliki catatan terhadap pemikiran Abduh ini. Pertama pemikirannya mengandung nuansa tradisional yang mengulas perempuan dalam konteks membangun rumah-tangga. Kata Abduh, “bangsa yang maju ditentukan oleh keluarga yang maju.” Namun demikian, di sini diperlukan perempuan yang merdeka, dihargai dan terdidik. Kedua, pemikirannya mengandung nuansa liberal yang memakai rasionalitas dalam menafsirkan teks-teks agama. Metodologi interpretasi Abduh menjadi titik tolak penggemar hermeunetika modern. Metodologi Abduh diteruskan oleh murid dan penerusnya, seperti Rasyid Ridla, Amin Al-Khuli, Ahmad Khalafullah, Bint Syathi', Nasr Hamid Abu-Zayd, Ibrahim Khalifah dan lain-lain.(22) Menghormati dan mengakui hak-hak perempuan, bagi Abduh, bersumber dari dalam ajaran Islam yang tercerahkan, yang mengakui rasionalitas dan kemajuan.
Qasim Amin (1863-1908)
Qasim Amin adalah seorang “muslim feminis” yang paling populer, karya-karyanya dikenal luas dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia serta memiliki pengaruh terhadap wacana pembebasan perempuan. Ia berasal dari keluarga kelas menengah, lulus dari sekolah hukum dan melanjutkan pendidikan hukumnya di Perancis antara 1881-1885. Kontroversi seputar karya dan sosok Qasim Amin sendiri tidak pernah usai hingga sekarang. Padahal ia “hanya” menerbitkan dua buku tentang perempuan: Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pada 1899, dan setahun kemudian menerbitkan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern).
Kelebihan Qasim Amin dari generasi “muslim feminis” sebelumnya adalah bahwa ia lebih berani dan terbuka melancarkan kritik terhadap kaum laki-laki dan masyarakat patriarkis saat itu. Qasim Amin memadukan elan liberalisme Rifaah al-Thahtawi dan rasionalitas Islam Muhammad Abduh. Hal ini tertuang dalam Tahrîr al-Mar’ah yang melihat pembebasan perempuan dari dua perspektif besar: reformasi pendidikan dan sosial, serta reformasi pemikiran keagamaan. Sebagai seorang pengacara dan ahli hukum Perancis tentulah Qasim Amin mengimani liberalisme – Qasim Amin memiliki pernyataan bagus tentang kebebasan: “kebebasan yang sebenarnya membawa segala pemikiran, menerbitkan segala aliran dan menyambut setiap pemikiran”(23) Qasim Amin juga sangat lihai mengutip pendapat filosof dan intelektual Barat. Sementara untuk konteks pemikiran keagamaan Qasim sangat terpengaruh oleh ide-ide Muhammad Abduh: sosok yang sangat dia hormati dan dianggap gurunya.
Atas dasar itulah, Muhammad Imarah, yang mengumpulkan dan menyunting karya-karya Muhammad Abduh dan Qasim Amin, menganggap Tahrîr al-Mar’ah yang bagian agama ditulis oleh Muhammad Abduh sendiri. Saya menolak anggapan ini setelah sebelumnya mempercayainya. Qasim memang sangat terpengaruh Abduh, namun bukan berarti Tahrîr al-Mar’ah sebagai karya berdua. Perspektif keagamaan di buku ini memang menegaskan ide-ide Abduh tentang perempuan serta mengutip fatwa dan aturan Abduh soal poligami, nikah dan perceraian. Mungkin saja Abduh memiliki kontribusi besar dalam membantu menyiapkan data yang berkaitan dengan penafsiran agama, mungkin saja Abduh membaca buku ini sebelum terbit dengan memberikan masukan-masukan atau sebagai “proof-reader”. Tapi kalau kita membaca buku ini secara saksama, diksi, gaya tulisan, keterbukaan dan keberanian dalam mengangkat penindasan perempuan adalah khas Qasim Amin.
Qasim Amin adalah sosok yang “sentimentil” yang berbeda dari Muhammad Abduh yang tenang dan rasional. Perbedaan ini tampak dalam gaya tulisan mereka berdua, meskipun keduanya dikenal memiliki tulisan yang indah, diksi yang tegas dan sastrawi. Empat tahun sebelum menerbitkan buku Tahrîr al-Mar’ah, Qasim Amin menulis buku Le Egyptiens (1894) yang menjadi bantahan pada buku karangan seorang penulis Perancis Duc Dharcouri. Dharcouri mengkritik kemunduran dan keterbelakangan perempuan Mesir. Ia menyebut penyebabnya berasal dari agama Islam. Qasim membantah buku itu dan “membela” realitas perempuan Mesir. Dari sinilah lahir kontroversi. Ada perbedaan besar dalam pemikiran Qasim Amin antara buku ini dengan Tahrîr al-Mar’ah. Dalam buku ini Qasim membela tradisi hijab dan tidak sepakat dengan penyebutan perempuan Mesir dalam kondisi yang sangat terbelakang.
Saya menilai buku Qasim ini yang ditulis dalam bahasa Perancis itu seperti buku dari mereka yang beraliran “nasionalis-apologetik” – yang juga sering mengusung slogan “right or wrong is my country” – di mana sebagai seorang Mesir, Qasim tidak terima negerinya direndahkan. Selain itu, seperti dalam pengakuan Qasim Amin sendiri, ia sampai jatuh sakit selama sepuluh hari setelah membaca buku ini. Setelah sembuh ia terdorong untuk menulis bantahan.
Pengakuan lain dituturkan oleh Qasim Amin kepada Rasyid Ridha, seorang murid Muhammad Abduh, bahwa ia menulis buku ini dalam suasana emosi yang sangat tinggi. Namun setelah itu ia sadar bahwa memang benar tersebar keburukan dalam rumah-tangga Mesir. Ia pun insaf dan berkata “Tidak ada faedahnya kalau keburukan itu memang ada di dalam diri kita, kemudian kita terlalu sibuk membantah orang yang mencela keburukan kita atau kita malah mencari-cari keburukan yang ada dalam diri orang yang mencela itu. Sebaiknya kita membahas keburukan yang ada dalam diri kita, dan berusaha mencari cara untuk menghilangkannya.”(24) Oleh karena itu, Qasim Amin tidak pernah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Arab.(25) Inilah karakter Qasim Amin yang jejak-jejak emosinya terlihat jelas dalam tulisannya; karakter tulisan inilah yang membedakan teks Qasim Amin dari Muhammad Abduh.
Buku Le Egyptiens ini tak hanya bertentangan dengan dua buku yang ditulis oleh Qasim Amin sesudahnya baik dalam Tahrirul Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah namun juga bertentangan dengan tulisan-tulisan Qasim Amin sebelumnya yang diterbitkan dalam media seperti al-Mu’ayyid. Dalam tulisan-tulisannya waktu itu Qasim telah memberikan kritik terhadap kondisi masyarakat Mesir dari sisi sosial, ekonomi dan pendidikan. Qasim Amin telah menulis soal kemiskinan, pentingnya kemerdekaan (al-istiqlâl) dan reformasi pendidikan yang baginya perlu menyentuh rasa nasionalisme (al-ihsâs al-wathanî).
Buku Tahrîr al-Mar’ah menyedot perhatian bangsa Arab waktu itu karena menyulut kontroversi baik yang berasal dari lawan politik(26) kubu Qasim Amin hingga tokoh-tokoh agama(27) yang menulis bantahan-bantahan. Lawan politik Qasim Amin yang terkenal adalah Musthafa Kamil ketua Partai Nasional (al-Hizb al-Wathanî) yang menuduh secara tak langsung Qasim Amin menyerukan pendidikan perempuan Mesir atas dasar-dasar pendidikan Eropa. Buku Qasim Amin ini juga menyulut kemarahan dari penguasa Mesir saat itu, Khadewi Abbas Helmi, yang memiliki ambisi menjadi penguasa satu-satunya di Mesir dan bebas dari pengaruh Inggris. Dalam konteks keluarga bangsawan Mesir, Khadewi Abbas juga terlibat perpecahan dengan Putri Nazli Fadhil yang sangat dekat dengan kubu Qasim Amin seperti Muhammad Abduh, Saad Zaghlul dan Luthfi Sayyid. Khadewi Abbas memberikan dukungan terhadap Musthafa Kamil yang mengusung nasionalisme “radikal” yang mengingkan “revolusi”, sementara kubu Qasim Amin lebih tampak sebagai kubu “reformasi”. Kubu Abbas Helmi dan Musthafa Kamil menuding karya Qasim ini berbau politik dan membawa agenda kolonial Eropa.
Beberapa penulis perempuan juga ikut menulis bantahan seperti Aisyah Taimuryiah dan Malak Hifni Nashif. Kritik terhadap Qasim Amin diteruskan oleh feminis radikal atau postkolonial yang mencurigai Qasim Amin tetap membawa perspektif laki-laki dalam memandang perempuan, dengan memberikan kategori untuk “perempuan” bila ingin disebut “modern”. Qasim Amin dianggap tidak terlalu maju, karena hanya berbicara pada batasan jilbab yang boleh terbuka hanya wajah dan tangan. Qasim Amin hanya menolak kritik terhadap pingitan perempuan dan busana yang menutupi seluruh tubuh perempuan (hijab) dan cadar perempuan (niqâb). Dalam hal pendidikan, Qasim Amin hanya berbicara pendidikan tingkat dasar bagi perempuan. Kritik lain dari feminis postkolonial menyebut Qasim Amin silau oleh modernitas dan rasionalitas, sehingga mengorbankan tradisi-tradisi yang mungkin menjadi pilihan perempuan, namun justeru dilihat oleh Qasim sebagai kemunduran. Pengertian “perempuan modern” yang “diinginkan” oleh Qasim Amin haruslah terbebas dari tradisi masyarakat.
Bagi saya, tuduhan ini berlebihan. Wacana Qasim Amin memang tidak akan pernah lepas dari kekurangan yang semestinya terus dibaca dan dikritik. Tulisan Qasim Amin adalah produk sosial, politik dan agama di mana Qasim Amin hidup. Salah satu sumbangan terbesar Qasim Amin adalah kritik pada lelaki patriarkis pada zamannya, membongkar standard kelelakian tentang perempuan dan sistem sosial-politik yang zalim. Oleh sebab itu, karya-karya Qasim Amin ini perlu dibaca dalam konteks dia sebagai male feminist.
Dalam menghadapi kontroversi yang bertubi-tubi, Qasim Amin menjadi “penangkal-petir” dari serangan-serangan yang dialamatkan kepada mereka yang menyerukan reformasi agama, pendidikan dan kesetaraan gender. Qasim Amin hidup dalam kondisi transisi politik Mesir yang rawan. Satu sisi serangan berasal dari kubu konservatif yang menginginkan status-quo, serangan sisi lain berasal dari kubu revolusioner yang menuding agenda kaum reformis sebagai penguatan terhadap agenda kolonialis. Sebagai ilustrasi adalah posisi Soekarno bersama kubunya yang menerima untuk terlibat dalam PPKI/BPUPKI yang dibentuk Pemerintah Jepang di tengah serangan kaum tradisional dan kubu revolusioner (seperti Sjahrir dan Tan Malaka). Kira-kira seperti ini posisi Qasim Amin dan kubunya saat itu.
Serangan terhadap Qasim Amin muncul karena ia tidak memiliki posisi politik yang kuat dan penting, tidak seperti Muhamamd Abduh sebagai Mufti Mesir atau Rifaah al-Thahtawi sebagai orang pemerintah. Qasim Amin adalah seorang ahli hukum yang juga bekerja untuk pemerintah. Di sinilah letak kontroversinya juga, seorang pegawai pemerintah melancarkan kritik atas kebijakan pemerintah, meskipun tak lansung, namun secara jelas Qasim Amin menegaskan bahwa keterbelakangan yang terjadi dalam masyarakat merupakan tanggungjawab pemerintah yang berkuasa.
Qasim Amin juga memilih diksi “tahrîrul mar’ah” (pembebasan perempuan), istilah yang dianggap provokatif dan tidak pernah dipakai oleh tokoh-tokoh reformasi sebelumnya baik oleh al-Thahthawi ataupun Abduh. Generasi sebelum Qasim cukup memakai tarbiyatul mar’ah wa ta’lîmuhâ (pendidikan dan pengajaran perempuan) bukan pembebasan perempuan.
Apabila Qasim dibandingkan dengan Rifaah, ide Qasim memiliki persebaran yang lebih luas, sementara ide Rifaah diterbitkan secara terbatas dalam media Raudlatul Madâris – hanya dibagikan pada sekolah dan lembaga pemerintah. Karena reformasi pendidikan dijadikan kebijakan pemerintah, maka proyek Rifaah didukung penuh oleh pemerintah. Hal itu berbeda dari Qasim Amin yang bukunya diterbitkan untuk khalayak luas, dan dengan begitu “pembebasan perempuan” menjadi opini publik. Lebih dari itu, posisi politik Qasim Amin berlawanan dengan penguasa Mesir, Khadewi Abbas Hilmi.(28)
Sejauh pembacaan saya terhadap karya Qasim Ami, dia melancarkan kritik yang keras terhadap penguasa. Bagi Qasim, keterbelakangan sebuah bangsa akan menyebabkan keterbelakangan perempuan dan sumber utamanya adalah sistem politik yang tiranikal. Seorang suami menindas istrinya karena ia juga tertindas di lingkungan sosial dan politiknya. Di sinilah saya melihat karya Qasim Amin ini juga membawa kritik terhadap penguasa waktu itu.
Dalam buku Tahrîr al-Mar’ah, Qasim Amin menggunakan Islam sebagai poros untuk agenda reformasi. Ia memulai dengan premis bahwa Islam adalah agama yang mengakui kesetaraan, kemandirian dan kemuliaan peremuan.(29) Namun, Qasim Amin melihat realitas yang ada dalam masyarakat muslim saat itu bertentangan dengan dasar-dasar Islam ini, yang menurutnya berpulang pada dua sebab: pertama adalah adat-istiadat masyarakat, dan kedua adalah penafsiran fiqih yang rigid.
Oleh karena itu, Qasim Amin mengkritik adat-istiadat yang dilihatnya sebagai kemunduran, dan baginya kebiasan masyarakat ini tidaklah suci untuk dikritik. Dan kebiasaan yang buruk ini tiba-tiba mengalahkan ajaran agama dan dianggap sebagai ajaran agama. Qasim Amin juga menyebut sebab penindasan perempuan berasal dari sistem politik yang zalim. Kepemimpinan yang lalim di suatu bangsa akan melahirkan model laki-laki yang kuat namun menghina perempuan karena kelemahannya.(30)
Kritik yang sengit juga dialamatkan oleh Qasim Amin kepada kaum ulama yang menyumbang penafsiran dan aturan yang menindas perempuan. “Tak terbantahkan oleh siapa pun bahwa agama Islam sekarang ini telah berubah dari ajaran dasarnya, sedangkan para ulama sangat sedikit yang diberi cahaya oleh Allah, mereka telah memainkan agama sesuai kepentingan nafsu mereka, sehinga mereka menjadi barang tertawaan dan ejekan.”
Qasim menyebut beberapa kebiasaan laki-laki yang menghina perempuan (ihtiqâr al-mar’ah) , seperti laki-laki yang rumahnya dipenuhi budak perempuan atau istri-istri dan ia melampiaskan syahwatnya kepada yang ia suka, laki-laki yang menceraikan istrinya tanpa alasan, laki-laki yang duduk sendiri di meja makan menikmati hidangan dikelilingi oleh para perempuan baik istri, ibu dan adik-adiknya yang makan dari sisa makanan itu, laki-laki yang menyewa seorang penjaga untuk memantau ke mana pun istrinya pergi, laki-laki yang memenjara istri di rumahnya dan laki-laki itu bangga akan sikapnya, laki-laki yang menganggap perempuan tidak bisa dipercaya dan diberi amanat, laki-laki yang memisahkan perempuan dari ruang publik dan tidak memberi kesempatan pada perempuan untuk memberikan pendapat tentang makanan, seni dan hal-hal umum lainnya atau tidak diberi kebebasan beragama. Qasim Amin menyatakan bahwa deskripsi di atas tidak berlebihan, itulah yang ia saksikan di Mesir pada waktu itu.(31)
Ketika Qasim berbicara tentang urgensi pendidikan perempuan, ia sependapat dengan Rifaah al-Thahtawi tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang memiliki nalar, perasaan dan tubuh. Perbedaannya hanya berkaitan dengan organ kecil di tubuhnya.
Dalam soal pakaian, Qasim Amin menolak hijab yang menutupi seluruh tubuh perempuan dan penggunaan cadar atau segregasi perempuan melalui batasan tabir. Qasim menunjukkan bahwa pakaian ini telah dikenal jauh sebelum Islam dan ditemukan dalam masyarakat yang lain, yang kemudian dianggap sebagai “busana agama” dan tak jarang aturannya dilebih-lebihkan. Qasim Amin menentang keras pengurungan perempuan baik dalam rumah atau dalam pakaian yang serba tertutup. Qasim Amin memilih pendapat yang “moderat” yaitu bahwa perempuan boleh terbuka wajah dan tangannya. Qasim menentang anggapan bahwa perempuan harus tertutup tubuhnya karena dituding sebagai sumber fitnah. Bagi Qasim persoalan ini hanya berkaitan dengan laki-laki yang hatinya lemah. Kalau ia takut tergoda perempuan, mengapa tidak menundukkan pandangan (ghadd al-bashar)?
“Mengherankan, mengapa laki-laki tidak diperintahkan membungkus dirinya atau menutup wajahnya jika takut pada perempuan yang dianggap bisa menimbulkah fitnah? Apakah laki-laki menganggap dirinya lebih lemah dari perempuan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dibandingkan perempuan?”(32)
Qasim Amin menentang keras poligami. Ia menyebutkan kebiasaan ini sebagai bentuk penghinaan yang keras pada perempuan.
Tidak terbantah, poligami merupakan bentuk penghinaan yang keras terhadap perempuan, karena Anda tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang rela melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya. Seperti halnya juga seorang laki-laki tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya. Cinta jenis ini – cinta yang tidak bisa dibagi – merupakan kodrat bagi perempuan, seperti ia juga menjadi kodrat bagi laki-laki…(33)
Sementara buku “Perempuan Modern” (al-mar’ah al-jadîdah) merupakan penegasan kembali terhadap ide-ide yang telah tertuang dalam buku Tahrîr al-Mar’ah yang ditulis sebelumnya. Dengan buku “Perempuan Modern”, sekaligus Qasim Amin merespon serangan-serangan yang dilancarkan padanya oleh para pengkritiknya. Buku ini melanjutkan polemik dan membantah tudingan bahwa dirinya menyerukan perempuan untuk melepaskan jilbab. Dalam buku ini Qasim menekankan kembali prinsip-prinsip kemodernan dan keberadaban. Bagi Qasim, yang disebut dengan “perempuan modern” adalah buah dari peradaban modern yang muncul di Barat setelah penemuan-penemuan ilmiah yang membebaskan akal-budi dari kekangan khurafat, wahm dan praduga.(34)
Setelah menuturkan kondisi perempuan dalam lintas sejarah, yang ditemukan penindasan-pernindasan terhadapnya, ia menyebutkan sebabnya adalah hilangnya kebebasan politik di suatu bangsa. Masyarakat yang terkekang oleh penindasan akan berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga. Qasim menunjuk negeri-negeri Timur yang menurutnya perempuan itu ditindas oleh laki-laki, sementara laki-lakinya ditindas oleh Penguasa. Laki-laki itu menjadi sosok penindas di rumahnya dan ia akan menjadi tertindas setelah keluar dari rumahnya.(35)
Dalam buku ini juga Qasim Amin menegaskan kembali tentang “kebebasan perempuan” (hurriyatul mar’ah) yang tertuang dalam bab khusus. Bagi Qasim kebebasan adalah syarat utama untuk pemberdayaan kualitas manusia dan akan membawa pada kebahagiaan. Kebebasan yang dimaksud oleh Qasim di sini adalah kebebasan individu, setiap orang memiliki kemerdekaan dalam pemikiran, kehendak dan memilih pekerjaan yang berpijak pada batas-batas aturan dan etika serta ia tidak takluk pada kehendak di luar dirinya. Kebebasan dalam pengertian seperti inilah seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan perempuan.(36) Qasim Amin dalam bab ini juga mencela pandangan, sikap dan kebiasaan laki-laki yang merendahkan perempuan, seperti anggapan laki-laki yang merasa memiliki kedaulatan tak terbatas pada perempuan, perempuan sebagai sumber fitnah, perlakuan sewenang-wenang pada istri, mengurung istri di dalam rumah, menganggap buruk perempuan yang keluar rumah, membungkus seluruh perempuan dengan hijab dan mewajibkan cadar serta keburukan-keburukan lainnya yang Qasim temukan dalam masyarakat masa itu.
Catatan Akhir
Kontribusi para laki-laki dalam wacana perempuan sangat tepat ditempatkan pada ranah male feminist – tokoh-tokoh yang saya ulas di atas lebih layak disebut sebagai “muslim yang feminis” dari pada gelar-gelar yang tujuan awalnya untuk menghormati mereka namun yang timbul justeru sebaliknya: datangnya hujatan. Gelar-gelar yang kontraproduktif itu misalnya sebutan “pembela perempuan”, “pelopor pembebasan perempuan” atau “bapak feminisme Islam”. Sebutan-sebutan ini secara tak sadar telah mengungkapkan adanya kesenjangan gender: derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan. Padahal kesenjangan inilah yang dikritik oleh feminisme.
Para “muslim feminis” yang saya suguhkan ide-idenya di atas terbatas pada konteks di mana mereka hidup. Anda akan menemukan pola relasi gender antara laki-laki dan perempuan yang sangat sederhana yakni dalam lingkup keluarga. Dalam ranah ini bukan berarti saya tidak menyadari bahwa pembahasan “muslim feminis” masih dalam lingkup heteroseksual–dugaan yang bisa muncul: pembahasan ini acuh tak acuh terhadap homoseksualitas. Apalagi dalam perkembangan terakhir, wacana male feminist dikembangkan oleh kalangan gay yang menguji kembali soal “kejantanan” (benarkah laki-laki baru disebut “jantan” apabila tertarik pada perempuan?) atau kritik pada soal “macoisme”. Saya yakin kontribusi ini sangat penting terhadap wacana male feminist. Saya tidak hendak menafikan wacana ini, atau dianggap “heteroseksis” ketika mengulas “muslim feminis” yang lingkupnya sangat sederhana (keluarga) dalam perspektif heteroseksual. Saya pun tak hendak meneguhkan “hetero-normativitas”. Tema ini membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dan saya berjanji akan mengulas wacana male feminist yang jauh “lebih maju” di kesempatan yang lain.
Saya memlih beberapa tokoh male feminist tadi – dengan pemikiran mereka yang sangat sederhana – untuk memberikan kontribusi pada wacana male feminist dari perspektif Islam di Indonesia yang tidak terlalu dikenal luas. Acap kali nama Qasim Amin disebut dan tulisan-tulisannya dikutip namun diseret terlalu jauh dari konteksnya dan—seperti yang telah saya singgung di atas—perannya dilebih-lebihkan.
Sebutan male feminist bagi Qasim Amin atau tokoh-tokoh muslim lainnya yang pro terhadap gerakan perempuan adalah pengakuan terhadap mereka sebagai laki-laki yang tidak bisa “bebas-nilai-gender”. Namun saya tak berharap kritik yang dialamatkan pada mereka lebih diarahkan pada “kelelakian”-nya, bukan pada subtansi idenya.
Hal terpenting yang dikemukakan oleh “male-feminist yang muslim” itu bukan soal apa pendapat mereka tentang perempuan – saya menghormati kebebasan perempuan untuk mendefinisikan diri sendiri dan membebaskan diri dari penilaian di luar dirinya – tapi apa yang mereka (laki-laki) katakan untuk melawan sistem yang patriarkis, mengkritik pandangan yang bias laki-laki dan membongkar standard-standard yang dibangun oleh laki-laki untuk perempuan.
Male feminist insaf, ia sebagai laki-laki tidak bisa dipisahkan dari perempuan (tidak dalam arti heteroseksual), ia terlibat di dalamnya, namun ia juga perlu sadar akan “batas” sebagai laki-laki. Ia tidak memiliki hak atau pun kewewenangan untuk merasa paling tahu dan mengeluarkan aturan tentang perempuan. Male feminist adalah “mitra-perempuan” dalam jihad menegakkan kesetaraan gender. Dalam posisi yang sangat terlibat ini namun dengan tetap mengakui adanya “batas”, saya kira kesadaran inilah yang terpenting bagi male-feminist.
Jakarta 11 September 2009
Mohamad Guntur Romli
Catatan Belakang:
Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan Edisi 64 "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" (November 2009)
(1) Dalam wawancara saya dengan Nawal Saadawi, dia menolak pengaruh Marxisme pada ide-idenya, bagi dia Karl Marx tidak lebih jenius dari dia, wawancara saya dimuat di GATRA, Edisi 30, 4 Juni 2004.
(2) Saadawi, Nawal, ”Tahrîr al-Mar’ah Bayna Musalsal Qâsim Amîn wa Khithâb Collin Powel”, harian al-Hayat, 8 Maret 2003.
(3) wa binnisbah li’iffatin nisâ’ la ya’ti min kasfihinna wa satrihinna bal mansya’u dzâlika al-tarbiyah al-jayyidah.
(4) Sekolah untuk perempuan kala itu bukan berarti tidak ada tapi jumlahnya sangat terbatas. Kaum perempuan yang menerima pendidikan hanya terbatas pada keluarga bangsawan dan kaya. Anak-anak perempuan dalam keluarga ini dididik oleh guru-guru asing. Pada era Muhammad Ali telah ada sekolah-sekolah khusus untuk perempuan yang dibangun oleh komunitas-komunitas non-muslim: Kristen dan Barat. Pada 1835, dibangun sekolah khusus perempuan oleh seorang istri dari misionaris Kristen Inggris. Ini merupakan sekolah asing pertama untuk perempuan berdasarkan dukungan penuh dari seorang muridnya yang berasal dari keluarga penguasa Muhammad Ali, Madihah Ahmad Ubadah. Lihat ”Huqûq al-Mar’ah fil Fikr al-Ijtimâ’î Inda Rifâ’ah Râfi’ al-Thahthâwi” dalam Kairomajalah al-Tasamuh, Edisi 20, 2008, yang terbit di Kairo.
(5) Kullamâ katsura ihtirâmul mar’ah ’ind qawmin katsura adâbuhum fa ’adamu tawfiyatin nisâ’ huqûquhunna fîmâ yanbaghî lahunna al-hurriyah fîhi dalîlun ’alâ al-thabî’ah al-barbarah.
(6) wa la syakka anna hushulal mar’ah ala malakatil qirâh wal kitâbah, wa ‘ala al-takhalluq bil akhlâq al-hamîdah wal ithlâ’ alal ma’ârif al-mufîdah huwa ajmal shifâtil kamâl wa huwa asywaqu li al-rijâl al-mutarabbîn minal jamâl, fal adab lil mar’ah yughni ‘anil jamâl, wa lâkinna al-jamâl lâ yughni ‘anil adab.
(7) Inna âdâbal mar’ah wa ma’ârifahâ tu’atstsiru katsîran ‘alâ akhlâqi awlâdihâ, idz al-bint al-shaghîrah idzâ ra’at ummahâ muqbalah ’alâ muthâla’ah al-kutub wa dlabth umûril al-bayt wal isytighâl bi tarbiyati awlâdihâ jadzdzabatha al-ghîrah ilâ antakûna mistla ummihâ.
(8) Fa’inna farâgha aydihinna ‘anil ‘amal yusyghilu alsinatahunn bil abâthil wa qulûbahunna bil ahwâ’ wa ifti’âl aqâwil fal ’amal yashûnu al-mar’ah ’ammâ lâ yalîqu wa yuqibuhâ minal fadhîlah wa idzâ kânal bathâlah madzmûmah fî haqqi al-rijâl fahiya mudzammamah ’adzîmah fi haqqi al-nisâ’.
(9) Fîmâ ‘adâ hâdzâ al-malâdz fahiya mitsluhu sawâ bi sawâ’, a’dlâ’uha ka a’dlâ’ihi, wa hâjatuha ka hâjatihi wa hawâsuhâ al-dhâhirah wal bâthinah ka hawâsihi, wa shifâtuha ka shifâtihi hattâ kâdat an tandzima al-untsâ fi salaki al-rijâl.
(10) Idzâ am’ana al-âqil al-nadlar al-daqîq fî hay’ati al-rajul wal mar’ah fi ayyi wajhin kâna minal wujûh wa fi ayyi nisbatin min al-nasab lam yajid illâ farqan yasîran fi al-dzukûrah wal unûtsah wa ma yata’allaqu bihimâ, fa al-dzukûrah wal unûtsah hiya mawdli’u al-tadlud wa al-tabâyun.
(11) Romli, Mohamad Guntur, 2002, ”Kontekstualisasi Tafsir Sosio-Historis Muhammad Abduh: Pandangan Abduh terhadap Pembebasan Perempuan” dalam Romli, M. Guntur dan Sofia Tidjadi (Ed.), Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban, Kairo: Fosgama.
(12) Imarah, Muhammad, 1979, al-Islâm wa al-Mar’ah fi Ra'yî al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Kairo: Dâr al-Hilâl, hlm. 11-12.
(13) Abduh, Muhammad, 1993, dalam al-A‘mâl al-Kâmilah (Koleksi Lengkap Karya Muhammad Abduh), (Penyunting Muhammad Imarah), Kairo: Dâr al-Syurûq, Cet. I, Vol. 5, hlm. 160.
(14) al-A‘mâl al Kâmilah, Vol. 4, hlm. 611.
15 (15) QS. al-Baqarah (2): 251, QS. al-Hasyar (58): 7 dan QS. al-Hujarât (49): 13.
16 (16) QS. al-Baqarah (2): 233.
(17) al-A‘mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 201.
(18) QS. al-Baqarah (2): 233.
(19) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 92.
(20) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 2, hlm. 174-175.
(21) al-A'mâl al-Kâmilah, Vol. 5, hlm. 173.
(22) Lihat Romli, Mohamad Guntur, 2002, op. cit..
(23) al-hurriyah al-haqîqiyah tahtamilu ibdâ’ kulli fikrin, wa nasyri kulli madzhabin wa tarwîj kulli fikrin.
(24) Hamdan, Samir Abu, 1993, Qasim Amin: Jadaliyah al-‘Alâqah Bayna al-Mar’ah wa al-Nahdlah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.
(25) Buku ini baru diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Muhammad al-Bukhari dan diterbikan bersama karangan-karangan Qasim Amin yang lain yang dikumpulkan dan diberi pengantar oleh Muhammad Imarah dalam al-A’mâl al-Kamilah yang pertama kali terbit di tahun 1975
(26) Dua buku yang ditulis oleh Muhammad Thal’at Harb, ahli ekonomi dan penggagas Bank Mesir, Tarbiyatul Mar’ah wal Hijâb (Pendidikan Perempuan dan Hijab) dan Fashlu Khithâbil Mar’ah wal Hijâb (Wacana Perempuan dan Hijab) yang menuduh Qasim Amin membawa agenda pembebasan Eropa dan memiliki kontradiksi dalam pemikiran-pemikirannya yang ada dalam karya-karyanya.
(27) Syekh Muhammad Ahmad Hasanain al-Bulaqi, seorang ulama al-Azhar saat itu, menulis al-Jalîsul Anîs Amma fi Tahdzîr Tahrîrul Mar’ah Min al-Talbîs dan Muhammad Farid Wajdi yang menulis al-Mar’ah al-Muslimah.
(28) Zayd, Muna Ahmad Abu, al-Ushûl al-Fikriyah Li Huqûq al-Mar’ah fi Mishr al-Hadîtsah (Dasar-dasar Pemikiran tentang Hak-hak Perempuan di Mesir Modern), makalah seminar di Perpustakaan Alexandria, Mesir, tanggal 19-21 Januari 2009.
(29) Amin, Qasim, 1988, dalam al-A’mâl al-Kamilah (Kumpulan Karya Lengkap Qasim Amin), yang dikumpulkan dan disunting oleh Muhammad Imarah, Kairo: Dar al-Syurûq, Cet ke-2, hlm. 325.
(30) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 326.
(31) al-A’mâl al-Kamilah , hlm. 327-328.
(32) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 356.
(33) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 393.
(34) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 420.
(35) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 426.
(36) al-A’mâl al-Kamilah, hlm. 437.
Rabu, 06 Juni 2012
KORUPSI DALAM KACAMATA MARXISME
Walaupun Marxisme sering dicemooh di sana-sini dan dianggap aliran sesat oleh beberapa orang atau kelompok, menurut-ku ajaran Marxisme masih sangat relevan untuk menganalisis fenomena dan dinamika sosial-budaya-ekonomi kemasyarakatan. Berikut ini salah satu analisis Marxisme terhadap korupsi.
Dalam literatur Marxisme dikenal istilah AKUMULASI PRIMITIF (dalam bahasa David Harvey di sebut dengan AKUMULASI MELALUI PENJARAHAN). Apa itu akumulasi primitif? Secara sederhana akumulasi primitif itu memiliki pengertian PROSES PEMISAHAN PEKERJA DENGAN ALAT PRODUKSINYA. Itu pengertian sederhananya, tetapi dalam pengertian yang luas, akumulasi primitif, menurut David Harvey, menjelma dalam bentuk-bentuk deregulasi, pencabutan subsidi, privatisasi, penciptaan ketergantungan, proses hegemoni dan penciptaan ruang. Mari kita ulas tentang penciptaan ruang dalam tradisi kapitalisme: Penciptaan ruang yang dimaksud di sini adalah aktivitas para kapitalisme mencari tempat-tempat yang strategis untuk melakukan penetrasi modalnya dan kemudian melakukan akumulasi kapital (penumpukan keuntungan). Munculnya berbagai kota-kota di negara, dalam perspektif Marxisme, sebenarnya ulah dari para pemilik modal besar (kapitalisme) dalam menciptakan ruang demi untuk menjalankan bisnis-nya yang bercorak kapitalis.
Dalam hal menciptakan ruang (akumulasi primitif) demi untuk akumulasi kapital, para kapitalis tidak saja mendorong terbangunnya berbagai kota-kota di suatu negara, tetapi juga para kapitalis itu juga berusaha untuk mendorong terciptanya ruang-ruang abstrak dalam bentuk prilaku manusia-manusia yang memegang jabatan di suatu negara. Bentuk konkret dari penciptaan ruang abstrak tersebut adalah mendorong para pejabat atau para pemimpin disuatu negara untuk menumbuh kembangkan penyakit korup atau rakus akan kekayaan materiil.
Pertanyaannya adalah: Mengapa para kapitalis itu (kapitalis yang aku maksud di sini adalah kapitalis-multinasional/imperialis) mendorong agar para pejabat itu menumbuh kembangkan penyakit korup? Jawabannya sederhana: Bahwa dengan berhasilnya para kapitalis menumbuh kembangkan penyakit korup di dalam kepribadian para pejabat negara tersebut, maka para kapitalis tersebut dapat dengan mudah membeli mereka. Bukti yang paling nyata yang terjadi di Indonesia adalah, telah terbelinya pejabat-pejabat Indonesia oleh asing yang ditandai dengan menggilanya produk-produk hukum (kebijakan pemerintah) yang terlahir atas dasar seruan atau perintah dari asing, undang-undang dasar 1945 amandemen misalnya, atau undang-undang nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi misalnya, atau undang-undang tentang ketenagakerjaan yang melegalkan tentang kerja kontrak (outsourching). Jadi, MENTAL KORUP dari para pejabat tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh para kapitalis dalam tataran akumulasi primitif atau akumulasi melalui penjarahan.
Berikut ini aku kutipkan pengakuan USAID (United State Agency for International) yang penulis comot dari situs resmi USAID:
“USAID telah membantu merancang draf Rancangan Undang-Undang Migas yang diserahkan kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada Oktober 2002. Rancangan Undang-Undang ini akan meningkatkan persaingan dan efesiensi dengan mereduksi peran Pertamina di bidang eksplorasi dan produksi. Sektor migas yang lebih efisien akan menurunkan harga, meningkatkan kualitas produk bagi konsumen, meningkatkan penerimaan negara, dan memperbaiki kualitas udara. USAID akan terus bekerja dalam menyusun peraturan pelaksanaan undang-undang migas.
Untuk proyek tahun 2001, USAID mengnggarkan dana sebesar US$ 850.000 untuk menyokong LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan perguruan tinggi dalam mengembangkan program peningkatan kesadaran dan dukungan bagi keterlibatan pemerintah daerah dan masyarakat pada isu-isu sektor energi, termasuk penghapusan subsidi energi dan pengurangan bensin bertimbal."
Dari pengakuan USAID tersebut, sudah jelas kepentingan para imperialis yang diejawantahkan melalui USAID berusaha menggiring perekonomian Indonesia ke ranah persaingan pasar dan efesiensi. Yang namanya persaingan sudah pasti ada pihak yang kuat dan lemah dan pihak yang lemah pun harus remuk-redam ketika bersaing dengan raksasa-raksasa kapital di wilayah pasar. Sedangkan esensi dari efesiensi adalah memanfaatkan sumber daya seirit-iritnya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal terakhir inilah yang kemudian melegalkan para imperialis untuk mengeruk kekayaan alam di Indonesia (Freeport di Papua misalnya atau tambang-tambang Migas di Pangkalan Brandan atau tambang nikel di Ternate) dan menindas pekerja atau buruh dan merusak alam Indonesia. Berkali-kali penulis tekankan di sini, keberhasilan dari imperialis untuk mendikte Indonesia pada tahap awalnya kapitalis harus membuka jalannya terlebih dahulu, dengan cara menciptakan pejabat-pejabat bermental korup. Pejabat yang bermental korup inilah yang sangat mudah disuap, diiming-imingi kenikmatan materiil (coba saja perhatikan para pejabat yang sangat doyan dan rakus dengan kesenangan materiil seperti desakannya untuk menaikan gaji, meniduri perempuan yang bukan istrinya, cabul, kerjaan tidur diwaktu rapat...dan lain-lain...dan sebagainya). Ketika mereka mudah disuap (dibeli) pada saat itulah kapitalis-imperialis akan menyuap mereka demi untuk meng-GOAL-kan kepentingannya melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Mungkin kawan-kawan ada yang bertanya, bukankah kelakuan korup tersebut akan merugikan para kapitalis dalam mengakumulasi kapitalnya (penumpukan keuntungan)? Itu benar sekali kawan, tapi dalam tataran ketika akumulasi primitif itu telah tercipta. Perlu selalu diingat watak dari kapitalisme adalah PENGORBANAN SEDIKIT, DEMI UNTUK MENGERUK KEUNTUNGAN SEBESAR-BESARNYA! Pada tataran penciptaan ruang abstrak, para kapitalis itu telah berhitung untung dan ruginya mendorong para pejabat-pejabat negara itu memiliki sifat rakus atau korup. Mereka tentunya berpikir, pengeluaran kita para kapitalis luar biasa sangat kecil untuk mendorong tumbuhnya sifat rakus, ketimbang keuntungan yang kita peroleh dengan mengeruk kekayaan di suatu negeri, di Indonesia salah satunya.
Yang menggeletik adalah kenapa para korporasi asing yang tahu betul bahwa Soeharto dan kaki tangannya itu adalah para pejabat KORUP bersedia untuk menyuntikan dana segarnya melalui IMF? Sudah jelas apabila dipakai analisis Marxisme dalam landscap penciptaan ruang, justru prilaku korup tersebutlah yang akan memberikan peluang besar bagi para kapitalis untuk melakukan penetrasi modalnya di Indonesia demi untuk kepentingan akumulasi modalnya lebih lanjut.
Naaaaah, ketika ruang-ruang tersebut telah tercipta, dan kapitalis-kapitalis multinasional itu telah mapan dalam berbisnis di suatu negeri (baca: Indonesia) pada saat itulah para kapitalis ini menyerukan: GANYANG PARA KORUPTOR! GANTUNG PARA KORUPTOR! BANTAI PARA KORUPTOR! Seruan ini jelas, dilakukan oleh para kapitalis tersebut untuk mengamankan aktivitasnya dalam mengakumulasi modal-nya. TERKUTUKLAH PARA KAPITALIS ITU!
Berangkat dari ulasanku tentang korupsi dalam kacamata Marxisme ini dapatlah ditarik sebentuk garis pemahaman bahwa proyek pengganyangan terhadap korupsi bukan saja proyek dari rakyat Indonesia yang menginginkan para koruptor itu dibersihkan, tetapi juga proyek dari para imperialis yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, akan sangat lucu apabila gerakan anti korupsi ini tidak dibarengi dengan gerakan mengusir para imperialis-imperialis yang tengah beroperasi di Indonesia. Mereka itu, para imperialis itu, kata Soekarno adalah tidak lebih dari sosok Rahwana Dasamuka Bermulut Sepuluh dimana kelakuannya ibarat ular naga nyai blorong, mulutnya dengan rakus mencari makan di Indonesia tetapi perutnya ada di luar negeri.
*Sumber : Ismantoro Dwi Yuwono
--Pembelajar Sosialisme-Ilmiah--
Senin, 30 April 2012
TOLAK RUU PERGURUAN TINGGI
Kamis, 12 April 2012
Bagaimana Venezuela Memenuhi Kebutuhan Sembako Rakyatnya
Kejadian itu sudah menjadi panorama dalam setiap pembagian sembako di Indonesia. Maklum, sekalipun negeri ini dikenal dengan kekayaan alamnya, tetapi sembako menjadi barang mahal bagi rakyatnya. Bahkan, pada September 2008, acara pembagian sembako di Pasuruan, Jawa Timur, menelan 21 korban jiwa.
Venezuela, sebelum Hugo Chavez berkuasa, juga merasakan hal yang semacam itu. Pada tahun 1960, jumlah penduduk pedesaan Venezuela hanya 35%. Tetapi, pada tahun 1990-an, jumlah penduduk pedesaan Venezuela tinggal 12%. Mayoritas penduduk desa berpindah di kota, ketika negeri itu sedang mengalami “boom minyak”.
Setelah itu, produksi pangan pun jatuh. Sekitar 70% kebutuhan pangan rakyat Venezuela bergantung kepada impor. Padahal, lebih dari separuh penduduknya dikategorikan miskin, dan sekitar 45% diantaranya masuk kategori “kemiskinan ekstrem”. Ketergantungan impor inilah yang membuat rakyat Venezuela sering menjerit ketika harga pangan dunia tiba-tiba melonjak naik.
Karena sebagian besar kebutuhan pangan diimpor, maka rakyat Venezuela pun harus membeli sembako di mall-mall dan supermarket. Harga pangan di supermarket Venezuela sama dengan harga pangan di supermarket AS. Padahal, upah minimum di Venezuela saat itu hanya 11 USD per-hari.
Chavez berkuasa pada tahun 1998. Ia berhadapan langsung dengan persoalan-persoalan pelik ini. Selain hancurnya sektor pertanian, Chavez juga berhadapan dengan kenyataan: 75% tanah dikontrol oleh 5% tuan tanah. Itulah yang disebut “latifundios”.
Chavez pun memulai sejumlah gebrakan. Tetapi, hampir semua gebrakan itu diawali oleh penulisan kembali konstitusi.
Gebrakan pertama Chavez untuk kedaulatan pangan adalah land reform. Ini diatur dalam konstitusi negara Venezuela yang baru. Lalu, pada tahun 2001, Chaves mengeluarkan UU tentang tanah dan pembangunan pertanian. Di bawah slogan “kembali ke desa”, Chavez menegaskan bahwa tanah yang tidak terpakai alias menganggur harus digunakan untuk menaikkan produksi makanan.
Program itu sukses mendistribusikan tanah-tanah milik negara yang menganggur kepada petani dan koperasi. Lalu, hukum baru Venezuela itu juga memungkinkan pengambilan tanah swasta, dengan ketentuan: 50 hektar untuk tanah berkualitas tinggi dan 3000 hektar untuk tanah berkualitas rendah.
Misi ini diberi nama mission Zamora—mengambil nama tokoh pejuang reforma agrarian Venezuela pada tahun 1850-an. Tidak hanya mendistribusikan tanah kepada petani dan koperasi, pemerintahan Chavez juga memberikan dukungan modal dan teknologi kepada para petani.
Sekalipun petani sudah berproduksi, tetapi jika tidak didukung industri pengolahan, maka hasil produksi petani Venezuela itu akan tetap dijual ke pasar internasional. Karena harga di pasar internasional memang relative lebih tinggi. Tetapi rakyat Venezuela harus membeli lebih mahal hasil pertanian itu apabila sudah diolah menjadi produk jadi. Chavez pun menyusun program pembangunan pabrik olahan. Skema ini mengakhiri penindasan petani oleh tengkulak.
Lalu, pada tahun 2003, Chavez kembali meluncurkan sebuah program baru: Mission Mercal. Program ini merupakan respon terhadap sabotase sayap kanan Venezuela pada tahun 2002. Saat itu, kamar dagang Venezuela (Fedecámaras) melancarkan aksi “lockout” karyawan. Perusahaan-perusahaan makanan, yang sebagian besar dikontrol oleh modal asing, turut menjalankan lockout. Supermarket juga banyak yang tutup. Rakyat Venezuela krisis bahan pangan.
Dengan program Mission Mercal, pemerintahan Chavez membangun ribuan toko kelontong yang disubisidi pemerintah dengan menjual daging, ikan, telur, susu, keju, roti, sereal, pasta, nasi, tepung, saus tomat, buah, kopi, margarin, minyak, gula, dan garam. Harganya 39% di bawah harga barang sejenis di Supermarket swasta. Di Mercal, harga susu bubuk hanya 7.89 bolivar, sedangkan di pasar swasta harganya mencapai 17 bolivar.
Mission Mercal ini membeli produk pangan secara langsung kepada petani Venezuela. Impor hanya dibolehkan jika bahan pangan itu tidak diproduksi petani Venezuela. Mereka memangkas proses distribusi, menghilangkan agen perantara dan menghindarkan penimbunan. Toko-toko ini punya gudang penyimpanan yang sangat besar.
Toko-toko ini juga menyediakan lapangan kerja baru bagi rakyat Venezuela. Meskipun didanai dan disubsidi pemerintah, tetapi toko-toko ini dijalankan sepenuhnya oleh rakyat melalui dewan komunal.
Pemerintah juga meluncurkan Producción y Distribución Venezolana de Alimentos (PDVAL), sebuah jaringan yang mendistribusikan bahan pangan dan kebutuhan rakyat dengan harga murah ke seluruh negeri. Program ini sepenuhnya disokong oleh perusahaan minyak negara Venezuela (PDVSA). Salah satu bentuk program ini adalah mobil pengangkut makanan yang mengangkut makanan ke komunitas (kampung-kampung).
Mission Mercal juga mengorganisir dapur umum untuk memberi makanan murah dan bergizi kepada rakyat Venezuela. Daging dengan harga murah, bahkan ada yang gratisan, didistribusikan melalui mission mercal ini. Ini untuk menopang program pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi rakyat.
Sekarang, sekalipun krisis pangan dunia menghantui, Chavez dengan lega berkata kepada rakyatnya: “ada krisis pangan dunia, tetapi Venezuela tidak akan jatuh ke dalam krisis itu. Sebaliknya, kita akan membantu negara-negara lain yang mengalami krisis ini.”
Dan, baru-baru ini, Venezuela telah menjadi negara pertama yang mengirimkan makanan ke Haiti dan Somalia.
Venezuela bisa melakukan itu karena pemerintahannya berpihak kepada rakyat. Chavez, seorang bekas kolonel, berani melawan kepentingan asing dan swasta.
Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
Nouriel Roubini, yang empat tahun lalu membuat prediksi yang akurat tentang krisis global, menganggap teori Karl Marx sangat benar ketika mengatakan bahwa “kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri”.
Pernyataan itu sangatlah menggemparkan, sebab disampaikan oleh bukan ekonom Marxist dan itu tersampaikan di sebuah koran borjuis paling bergengsi. Roubini pun segera dituding sebagai komunis atau setidaknya punya simpati kepada penulis “Das Capital” itu.
Pada tahun 2005, Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times, menerbitkan sebuah buku berjudul “The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century”. Friedman, yang mengikuti Kenichi Ohmae, memproklamasikan “gejala pendataran dunia” menjadi satu pasar global. Ia seperti mengikuti alunan suara Francis Fukuyama tentang “akhir sejarah”.
Pada kenyataannya: bukan alternatif kapitalisme yang berakhir, tetapi kapitalisme itu sendiri yang terancam menjadi “sejarah”. Tiba-tiba, pada akhir 2007 lalu, sebuah permulaan dari krisis struktural meluluh-lantakkan ekonomi “paman sam”. Krisis itu makin menghebat pada tahun 2008, dan malahan menyebar ke berbagai negara Eropa, seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Latvia, dan lain-lain.
Lalu, pada tahun 2010, IMF dan Bank Dunia mulai mengobarkan kembali optimisme bahwa krisis sudah akan berakhir; ekonomi Amerika Serikat mulai bangkit, lalu ekonomi global mulai tumbuh positif. Tetapi belum kering mulut pejabat IMF dan Bank Dunia mengobarkan optimisme, tiba-tiba krisis yang lebih besar kembali menghantam: krisis utang di Amerika Serikat dan Uni-Eropa.
>>>
Menurut Samsul Hadi, ekonom dari Universitas Indonesia, krisis kapitalisme global saat ini menandai kegagalan free-market. Ia, dengan mengutip Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel itu, bahwa “the fall of Lehman Brothers is a fall free-market capitalism”.
Negara, yang sebelumnya dianggap biang-keladi kerusakan sistim ekonomi, kembali dipanggil sebagai “penyelamat”. Sedangkan pasar, khususnya pasar finansial yang dibebaskan (unregulated), dianggap sumber masalah.
“Dengan kejadian krisis global, kita melihat pasar menjadi sumber masalah, sedangkan negara menjadi solusi. Negara didorong memberi paket-paket stimulus,” ujar Samsul Hadi saat menjadi pembicara dalam diskusi “Krisis Ekonomi Global Dan Pasal 33” di Galeri Kafe, Taman Ismail Marzuki, 12 Oktober 2011.
Bahkan, kata Samsul, ketika ekonomi dunia sudah terglobalisasi dan terkoneksi satu sama lain, krisis ekonomi sebuah negara semakin sulit dilokalisir. “Globalisasi atau dunia datar menjadi tidak relevan,” katanya.
Tetapi “negara sebagai solusi” juga tidak bisa terlalu diharapkan. Pasalnya, kata ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini, negara juga menjadi bagian dari masalah sebagaimana diperlihatkan dalam krisis utang di AS dan Yunani.
Yunani, dan juga Portugal, adalah dua negara dengan defisit belanja publik paling tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Sedangkan pengaruh gelembung spekulasi keuangan di kedua negara itu berskala menengah dan kecil.
Sehingga mimpi Paul Krugman untuk menjadikan negara “sebagai kuda tunggangan” untuk memancing “permintaan agregat” terbukti bermasalah. Apa yang dimaksud sebagai “model China” oleh Paul Krugman juga terkena dampak krisis.
“China itu sangat bergantung kepada ekonomi ekspor. Itu juga dialami oleh ekonomi negara seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Eropa Timur,” tegas Samsul Hadi.
Sementara itu, Fadli Zon, salah satu pimpinan partai Gerindra, kapitalisme sebagai sebuah ‘sistim yang gagal” sudah terjadi sejak lama. Selain krisis ekonomi global saat ini, krisis ekonomi 1996/7 di Asia adalah juga buah dari ‘krisis kapitalisme global’. “Krisis Asia itu juga disebabkan oleh adanya global capital movement,” terangnya.
Saat itu, katanya, pemicu krisis tidaklah sepenuhnya karena praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sebagaimana disuarakan ekonom neoliberal, tetapi sebagian besar karena krisis ekonomi global yang dipicu oleh global capital movement.
Dalam perspektif marxisme, krisis kapitalisme global saat ini sebetulnya tanda-tandanya sudah muncul sejak tahun 1970an. kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas).
Saat itu, untuk mengatasi krisis itu, arsitektur kapitalisme global mengajukan dua solusi: finansialisasi dan neoliberalisme. Finansialisasi dijalankan dengan keterpisahan antara sektor finansial dan sektor real, sehingga kapitalis mencetak keuntungan dari “kertas fiktif”. Sementara neoliberalisme dijalankan dengan mengintegrasikan ekonomi nasional dalam sebuah pasar global, sebagai solusi atas krisis over-produksi dan over-akumulasi dari negeri kapitalis maju.
Sekitar 95% aktivitas ekonomi saat ini adalah bersifat financial. Sedangkan produksi, transportasi, dan penjualan hanya menempati angka 5%. Sudah begitu, seluruh aktivitas ekonomi keuangan ini berjalan tanpa kontrol politik dan publik, sehingga mendorong dunia dalam sebuah krisis ekonomi yang sangat buruk.
>>>
Seperti apa dampak krisis ekonomi dunia terhadap Indonesia?
Dalam dunia yang sudah terglobalisasi dan terkoneksi satu sama lain, krisis yang menyerang suatu negara dengan sendirinya, baik langsung maupun tidak langsung, akan menyebrang dan mempengaruhi ekonomi negara lain.
Apalagi jika yang krisis adalah induk kapitalisme global, yaitu Amerika serikat dan Eropa, tentu akan membawa pengaruh di negara-negara lain di dunia. Pendek kata, ‘jika Amerika bersin, maka bukan cuma airnya yang terkena ke muka kita, tapi juga penyakit demamnya.’
Bagi Samsul Hadi, dampak krisis global yang sudah mulai terasa di Indonesia adalah turunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5%. “Itu berarti ada penurunan transaksi, ada pelarian atau penarikan modal.
Hanya saja, sektor finansial ini, jika mengacu pada data Kompas, hanya dimasuki 311.000 pemain. Artinya, sektor ini tidak berhubungan langsung dengan rakyat jelata.
Di mata Samsul Hadi, ancaman nyata terhadap ekonomi nasional justru berasal dari dampak kerjasama FTA dengan China. “Sektor industri kehilangan 20% lapangan kerja, kapasitas produksi nasional menurun 25%,” ungkapnya.
Data Investor Daily, yang dikutip oleh Samsul Hadi, menyebutkan, hanya empat bulan setelah FTA dengan China diberlakukan, impor mainan anak-anak dari China meningkat 952%. Kemudian impor tekstil meningkat menjadi 225%. Ini berarti meningkatnya kehilangan pekerjaan atau pengangguran.
Dengan mengutip ekonom Belanda di masa lalu, Samsul Hadi menjelaskan soal dualisme ekonomi Indonesia: (1) ekonomi yang terkoneksi dengan kapitalisme global, dan (2) ekonomi rakyat yang subsisten.
Ini masih nampak sampai sekarang, seperti konfigurasi segelintir orang yang sangat kaya dan bermain di pasar finansial dan 75% rakyat Indonesia yang hidup di sektor informal. “Sektor informal ini sudah sangat terbiasa untuk cari cara sendiri untuk hidup,” tegasnya.
Dampak lainnya adalah turunnya ekspor Indonesia, khususnya untuk Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi, jika bercermin kepada pengalaman krisis ekonomi 2008, dampaknya tidak terlalu terasa kepada rakyat banyak.
Penyebabnya: penopang utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rakyat sebesar 57%. Artinya, kata Samsul Hadi, rakyat banyak tidak terlalu terkena dampak krisis ekonomi global 2008.
Itulah mengapa, dalam derajat tertentu, krisis kapitalisme global tidak serta-merta membawa dampak seketika terhadap rakyat Indonesia.
TAN MALAKA : GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandang Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis.Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus- kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.
Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannyamemisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.
Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat enjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.
Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”. Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik,ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri AmirSyarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya ditengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Selasa, 10 April 2012
Nyoto, Seorang Marxis Hingga Akhir Hayatnya
Akan tetapi, dalam diskusi menyambut Hari Kelahiran Nyoto, 17 Januari 1927, Sabar Anantaguna membantah keras pernyataan tersebut. Teman sekolah dan kolega Nyoto di Lekra ini justu lebih suka menggunakan istilah “Soekarno-Nyotois”.
“Kalau orang menyebut Nyoto sebagai Soekarnois, maka saya menjawab: Soekarno-Nyotois. Kenapa Soekarno dekat dengan PKI? itu karena Nyoto,” kata Sabar Anantaguna.
Sabar menganggap Nyoto sebagai orang memegang teguh prinsip, tidak mudah goyah dalam keadaan apapun. Bahkan, jika pidato-pidato Bung Karno di tahun 1960-an semakin condong ke marxisme, maka itu tidak lepas dari pengaruh Nyoto.
“Nyoto tidak semudah itu mengubah pendiriannya. Itu terlihat sejak ia masih kecil hingga terjun dalam pergerakan,” kata Sabar.
Dalam pengamatan Martin Aleida, bekas wartawan Harian Ra’jat yang ditugaskan meng-cover Bung Karno, Nyoto merupakan orang kepercayaan Bung Karno. “Dalam banyak kesempatan di istana negara, Bung Karno sering memanggil staffnya dan mempertanyakan keberadaan Nyoto. Ini memberikan ilustrasi betapa dekatnya Bung Karno dengan Nyoto kala itu.”
Martin Aleida pun mensitir salah satu pernyataan Bung Karno saat bertemu dengan tokoh-tokoh muda PNI, yang berkata: “Penafsiran mengenai Soekarnoisme yang paling benar adalah Nyoto.”
Sosok cerdas dan serba-bisa
Sabar Anantaguna, ketika menjadi teman sekelas Nyoto di MULO Solo, mengaku bahwa Nyoto merupakan sosok sangat cerdas dan pandai. “Sebagai pelajar, Nyoto sangat cerdas dan pandai. Tulisan-tulisannya selalu dijadikan contoh oleh guru,” kenang Sabar Anantaguna.
S. Anantaguna mengisahkan, suatu hari guru menyuruh mereka mengarang soal sepak bola dan harus ditulis dengan lucu. Saat itu, seingatnya, Nyoto menulis mengenai kekecewaan penjudi bola karena pertandingan batal dilakukan akibat lapangan tergenang oleh air hujan yang lebat.
Nyoto, yang lebih tua dua tahun dibandingkan S. Ananataguna, memperlihatkan kecerdasan dan kepandaiannya saat menjadi politikus. Tidak mengherankan, meski baru berusia 17 tahun, Nyoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–semacam parlemen paska di masa awal Republik– di Jogjakarta.
Dengan kepandaian dan kecerdasannya, Nyoto menjadi seorang politisi ulung di usia yang masih terbilang sangat muda. Selain itu, menurut S. Anantaguna, Nyoto seorang orator yang sangat hebat.
Berbeda dengan kebanyakan orator, Nyoto selalu berpidato dengan beretika dan menggunakan penjelasan rasional, tidak pernah memakai kata-kata kasar dan makian. “Dia menggunakan retorika-retorika yang hebat sekali dan mengena.”
Meski Nyoto tidak pernah menimbah ilmu di Universitas atau belajar di luar negeri, tetapi Sabar Anantaguna mengakui bahwa pengetahuan Nyoto luas sekali, terutama di bidang politik, filsafat, dan kebudayaan.
Nyoto yang dikenal tidak banyak bicara, dikenal juga sebagai tokoh yang punya kharisma dan pengaruh sangat kuat terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Saya rasa, kalau Bung Nyoto tidak ada, maka Lekra tidak akan pernah besar seperti jaman itu,” kata Martin Aleida, yang juga pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Begitu juga dengan kebesaran Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak lepas dari pengaruh Nyoto, yang pada saat itu berhasil mendekatkan PKI dan Bung Karno.
Selain kehebatan di bidang politik, Nyoto juga dikenal sebagai seorang pemain musik dan pencinta olahraga. Musik yang sering dimainkan Nyoto adalah electone. Namun, Nyoto diketahui pandai memainkan banyak alat musik, seperti biola, piano, gitar, saxophone dan klarinet.
“Saya tidak pernah melihat Nyoto memainkan Saxofone, tetapi dia memang sangat pintar memainkan electone. Kalau ada acara di istana, Nyoto sering bergabung dengan pemain musik dan memainkan electone untuk mengiringi tari lenso,” kenang Martin.
Martin juga menduga Nyoto seorang jago seni bela diri. Salah seorang pengawalnya, Hardono, adalah seorang ahli seni bela diri dan ada kemungkinan Nyoto belajar dari sana.
Dan, mungkin sedikit diantara kita yang tahu, bahwa Nyoto pernah menjadi penasehat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pemikiran Politik
Mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan sekaligus mahasiswa filsafat STF Driyarkara, Anom Astika, mengatakan: “Orang ini punya kemampuan, kalau dalam filsafat, berbicara dan menulis dengan memberikan arah atau orientasi politik.”
Anom Astika kemudian menunjukkan satu petikan tulisan Nyoto yang menjelaskan hal tersebut:
“Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya “orang gila”. Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang “gila” di mata burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana.”
Pada semua tulisan Nyoto, tambah Anom, Nyoto mengulas sejarah dengan sangat lengkap dan detail sekali, terutama tulisannya di Bintang Merah dan buku “Pers dan Massa”.
Meskipun banyak tulisan Nyoto yang memuji-muji Soviet, tetapi ia selalu berusaha menempatkan revolusi Indonesia seakan berbeda dengan revolusi Rusia. “Karakter independenya selalu nampak mencolok,” kata mantan tahanan politik rejim soeharto ini.
Anom juga mengeritik sebuah pernyataan dalam pengantar buku “Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, yang diterbitkan oleh TEMPO, bahwa “Nyoto menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.”
Menurut Anom Astika, komunisme memang tidak pernah memusuhi kapitalis, tetapi yang dimusuhi komunisme adalah relasi produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme.
Di luar yang diperkirakan orang, sebagaimana sering dituduhkan kepada stalinisme, Nyoto adalah pribadi yang sangat menghargai perbedaan pendapat dan selalu mencari arti penting dari perbedaan pendapat itu.
Nyoto sangat disegani seniman
Nyoto juga pernah menulis mengenai peringatan kematian Beethoven. Di zaman baru, koran terbitan milik Lekra, ada upaya penteorisasian aktivitas kesenian rakyat, salah satunya, penteorisasian musik alu—semacam pertunjukan memukul alu di dalam lesung.
Di Lekra, organisasi kebudayaan tempat Nyoto berkecimpung, S. Antaguna menyatakan bahwa Nyoto tidak pernah memaksakan Lekra harus memeluk realisme sosialis. “Dalam rapat-rapat Lekra, Nyoto lebih banyak diam. Baru kalau ada yang kurang disetujui, dia akan berbicara,” kata Antaguna.
Lekra akan menerima semua struktur dan gaya, asalkan itu berpihak kepada perjuangan rakyat. Nyoto sangat menyadari bahwa setiap seniman punya jati diri dan ide masing-masing.
Sangat Mencintai Keluarga
Ilham Dayawan, anak kedua Nyoto, mengaku bahwa ayahnya sangat sayang kepada keluarganya. “Jika berkunjung kemanapun, ia tidak pernah melupakan istri dan anak-anaknya.”
Ini juga dibenarkan oleh Martin dan S Anantaguna, yang sering menyaksikan Nyoto membawa anak-anaknya ke kantor Harian Ra’jat dan kegiatan-kegiatan Lekra.
Ilham juga masih mengingat bagaimana koleksi buku-buku ayahnya, yang memenuhi ruangan hingga menyundul langit-langit rumah. Di rumah Nyoto, di Jalan Malang, rak buku terdapat dimana-mana.
Nyoto juga menyimpan banyak koleksi piringan hitam, bukan saja koleksi musik klasik dari eropa, tetapi juga musik-musik nasional dan daerah.
Sebagai anak yang ditinggal ayahnya terlalu cepat, dalam usia 8 tahun, ia merasa sering merasa galau dan bertanya-tanya, terutama keberadaan Nyoto pasca 1965 itu masih gelap. “Kita tidak tahu bagaimana ia meninggal, dengan cara apa, dimana kuburnya.”
Mempertanyakan Akurasi Laporan TEMPO
Sementara itu, rumor perselingkuhan antara Nyoto dengan seorang perempuan Rusia bernama Rita dibantah keras oleh pembicara, yaitu Martin Aleida dan S. Anantaguna.
Menurut Martin Aleida, gaya sensasional TEMPO, terutama dalam mengangkat tokoh Rita dalam kehidupan Nyoto, menyebabkan laporan tersebut dipertanyakan akurasinya.
“Ini dikutip habis-habisan TEMPO dari Joesoef (Joesef Ishak). Sedangkan Joesof mendengar rumor itu di penjara Salemba. Benar tidak dengan itu?” kata Martin Aleida yang mengaku bahwa laporan TEMPO itu mengutip habis-habisan pernyataan Joesoef Isak dalam sebuah diskusi.
Dan, Martin menyarankan, jika mau menukik lebih jauh mengenai siapa Rita ini, ada baiknya menggali informasi dari Sibarani, karikaturis Indonesia jaman itu, yang juga kenal dan punya hubungan dengan Rita.
Sabar Anantaguna menganggap kasus itu masih sebatas rumor, sesuatu yang belum tentu benar dan mesti diverifikasi kebenarannya.
“Nyoto adalah orang yang sangat mencintai istrinya, Soetarni,” tegasnya.
Hal lain yang dibantah dari laporan TEMPO adalah pernyataan bahwa “Nyoto menghilangkan Hemingway dari catatan.” “Ini tidak benar,” kata Martin.
Yang benar, menurut Martin, ketika terjadi kampanye anti-film Amerika dan ada baliho tentang film Amerika berjudul “The Old Man and The Sea”, di situ ada photo Ernest Hemingway sebagai penulisnya.
Ketika gambar baliho itu mau dimuat di Harian Ra’jat, Nyoto menghitamkan nama Ernest Hemingway ini. Karena Nyoto sangat tahu bahwa Hemingway adalah seorang yang berfikiran maju, dan bersahabat dengan Fidel Castro dan sering memancing bersama-sama.
Perpecahan Nyoto-Aidit dan G.30/S
Nyoto adalah orang yang sangat teguh pendirian, tidak mudah untuk berganti ideologi. Dengan demikian, adalah tidak benar untuk menyimpulkan bahwa Nyoto telah bergeser dari seorang marxis-leninis menjadi soekarnois.
Begitu juga dengan isu perpecahan Nyoto-Aidit, yang menurut isu yang berhembus, menyebabkan Nyoto tersingkir dari perahu kepemimpinan partai.
Dalam ingatan Sabar Anantaguna, Nyoto merupakan orang sangat cinta kepada partai dan patuh kepada Aidit. Sebagai contoh, Sabar mengutip pernyataan Nyoto bahwa “dia berangkat ke Moskow atas pesan Aidit dan di sana ia mengejek Khrushchev (Nikita Khrushchev) di sana. Itu pertanda bahwa PKI menentang revisionisme.
Bahwa Nyoto tidak tahu menahu soal G.30/S, Sabar menganggap hal itu mungkin saja. “Kala semua tahu, PKI akan menyelamatkan diri,” ujar Antaguna dengan nada kelakar.
Pada intinya, menurut Anantaguna, bukan cuma Nyoto yang kemungkinan tidak tahu soal G.30/S, tetapi banyak orang PKI memang tidak tahu. Pada saat itu, partai sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melakukan parlawanan terhadap teror kaum reaksioner.
Soal loyalitas Nyoto terhadap PKI, itupun tidak dapat diragukan lagi. “Nyoto mempertahankan partai hingga akhir hayatnya. Bahkan, Nyoto lebih duluan mati dibanding Aidit,” katanya.
Satu pertanyaan diajukan Sabar Anantaguna, “Jika Nyoto memang lebih loyal kepada Bung Karno, kenapa dia tidak pergi ke Bung Karno dan memaki-maki PKI pasca G.30/S?”
Menurut catatan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, Aidit bertemu Nyoto di Solo pada pertengahan tahun 1946, setelah ia lepas dari penjara pulau Onrust.
http://berdikarionline.com/tokoh/20110119/nyoto-seorang-marxis-hingga-akhir-hayatnya.html