Tentang Adli
Senin, 30 April 2012
TOLAK RUU PERGURUAN TINGGI
Kamis, 12 April 2012
Bagaimana Venezuela Memenuhi Kebutuhan Sembako Rakyatnya
Kejadian itu sudah menjadi panorama dalam setiap pembagian sembako di Indonesia. Maklum, sekalipun negeri ini dikenal dengan kekayaan alamnya, tetapi sembako menjadi barang mahal bagi rakyatnya. Bahkan, pada September 2008, acara pembagian sembako di Pasuruan, Jawa Timur, menelan 21 korban jiwa.
Venezuela, sebelum Hugo Chavez berkuasa, juga merasakan hal yang semacam itu. Pada tahun 1960, jumlah penduduk pedesaan Venezuela hanya 35%. Tetapi, pada tahun 1990-an, jumlah penduduk pedesaan Venezuela tinggal 12%. Mayoritas penduduk desa berpindah di kota, ketika negeri itu sedang mengalami “boom minyak”.
Setelah itu, produksi pangan pun jatuh. Sekitar 70% kebutuhan pangan rakyat Venezuela bergantung kepada impor. Padahal, lebih dari separuh penduduknya dikategorikan miskin, dan sekitar 45% diantaranya masuk kategori “kemiskinan ekstrem”. Ketergantungan impor inilah yang membuat rakyat Venezuela sering menjerit ketika harga pangan dunia tiba-tiba melonjak naik.
Karena sebagian besar kebutuhan pangan diimpor, maka rakyat Venezuela pun harus membeli sembako di mall-mall dan supermarket. Harga pangan di supermarket Venezuela sama dengan harga pangan di supermarket AS. Padahal, upah minimum di Venezuela saat itu hanya 11 USD per-hari.
Chavez berkuasa pada tahun 1998. Ia berhadapan langsung dengan persoalan-persoalan pelik ini. Selain hancurnya sektor pertanian, Chavez juga berhadapan dengan kenyataan: 75% tanah dikontrol oleh 5% tuan tanah. Itulah yang disebut “latifundios”.
Chavez pun memulai sejumlah gebrakan. Tetapi, hampir semua gebrakan itu diawali oleh penulisan kembali konstitusi.
Gebrakan pertama Chavez untuk kedaulatan pangan adalah land reform. Ini diatur dalam konstitusi negara Venezuela yang baru. Lalu, pada tahun 2001, Chaves mengeluarkan UU tentang tanah dan pembangunan pertanian. Di bawah slogan “kembali ke desa”, Chavez menegaskan bahwa tanah yang tidak terpakai alias menganggur harus digunakan untuk menaikkan produksi makanan.
Program itu sukses mendistribusikan tanah-tanah milik negara yang menganggur kepada petani dan koperasi. Lalu, hukum baru Venezuela itu juga memungkinkan pengambilan tanah swasta, dengan ketentuan: 50 hektar untuk tanah berkualitas tinggi dan 3000 hektar untuk tanah berkualitas rendah.
Misi ini diberi nama mission Zamora—mengambil nama tokoh pejuang reforma agrarian Venezuela pada tahun 1850-an. Tidak hanya mendistribusikan tanah kepada petani dan koperasi, pemerintahan Chavez juga memberikan dukungan modal dan teknologi kepada para petani.
Sekalipun petani sudah berproduksi, tetapi jika tidak didukung industri pengolahan, maka hasil produksi petani Venezuela itu akan tetap dijual ke pasar internasional. Karena harga di pasar internasional memang relative lebih tinggi. Tetapi rakyat Venezuela harus membeli lebih mahal hasil pertanian itu apabila sudah diolah menjadi produk jadi. Chavez pun menyusun program pembangunan pabrik olahan. Skema ini mengakhiri penindasan petani oleh tengkulak.
Lalu, pada tahun 2003, Chavez kembali meluncurkan sebuah program baru: Mission Mercal. Program ini merupakan respon terhadap sabotase sayap kanan Venezuela pada tahun 2002. Saat itu, kamar dagang Venezuela (Fedecámaras) melancarkan aksi “lockout” karyawan. Perusahaan-perusahaan makanan, yang sebagian besar dikontrol oleh modal asing, turut menjalankan lockout. Supermarket juga banyak yang tutup. Rakyat Venezuela krisis bahan pangan.
Dengan program Mission Mercal, pemerintahan Chavez membangun ribuan toko kelontong yang disubisidi pemerintah dengan menjual daging, ikan, telur, susu, keju, roti, sereal, pasta, nasi, tepung, saus tomat, buah, kopi, margarin, minyak, gula, dan garam. Harganya 39% di bawah harga barang sejenis di Supermarket swasta. Di Mercal, harga susu bubuk hanya 7.89 bolivar, sedangkan di pasar swasta harganya mencapai 17 bolivar.
Mission Mercal ini membeli produk pangan secara langsung kepada petani Venezuela. Impor hanya dibolehkan jika bahan pangan itu tidak diproduksi petani Venezuela. Mereka memangkas proses distribusi, menghilangkan agen perantara dan menghindarkan penimbunan. Toko-toko ini punya gudang penyimpanan yang sangat besar.
Toko-toko ini juga menyediakan lapangan kerja baru bagi rakyat Venezuela. Meskipun didanai dan disubsidi pemerintah, tetapi toko-toko ini dijalankan sepenuhnya oleh rakyat melalui dewan komunal.
Pemerintah juga meluncurkan Producción y Distribución Venezolana de Alimentos (PDVAL), sebuah jaringan yang mendistribusikan bahan pangan dan kebutuhan rakyat dengan harga murah ke seluruh negeri. Program ini sepenuhnya disokong oleh perusahaan minyak negara Venezuela (PDVSA). Salah satu bentuk program ini adalah mobil pengangkut makanan yang mengangkut makanan ke komunitas (kampung-kampung).
Mission Mercal juga mengorganisir dapur umum untuk memberi makanan murah dan bergizi kepada rakyat Venezuela. Daging dengan harga murah, bahkan ada yang gratisan, didistribusikan melalui mission mercal ini. Ini untuk menopang program pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi rakyat.
Sekarang, sekalipun krisis pangan dunia menghantui, Chavez dengan lega berkata kepada rakyatnya: “ada krisis pangan dunia, tetapi Venezuela tidak akan jatuh ke dalam krisis itu. Sebaliknya, kita akan membantu negara-negara lain yang mengalami krisis ini.”
Dan, baru-baru ini, Venezuela telah menjadi negara pertama yang mengirimkan makanan ke Haiti dan Somalia.
Venezuela bisa melakukan itu karena pemerintahannya berpihak kepada rakyat. Chavez, seorang bekas kolonel, berani melawan kepentingan asing dan swasta.
Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
Nouriel Roubini, yang empat tahun lalu membuat prediksi yang akurat tentang krisis global, menganggap teori Karl Marx sangat benar ketika mengatakan bahwa “kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri”.
Pernyataan itu sangatlah menggemparkan, sebab disampaikan oleh bukan ekonom Marxist dan itu tersampaikan di sebuah koran borjuis paling bergengsi. Roubini pun segera dituding sebagai komunis atau setidaknya punya simpati kepada penulis “Das Capital” itu.
Pada tahun 2005, Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times, menerbitkan sebuah buku berjudul “The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century”. Friedman, yang mengikuti Kenichi Ohmae, memproklamasikan “gejala pendataran dunia” menjadi satu pasar global. Ia seperti mengikuti alunan suara Francis Fukuyama tentang “akhir sejarah”.
Pada kenyataannya: bukan alternatif kapitalisme yang berakhir, tetapi kapitalisme itu sendiri yang terancam menjadi “sejarah”. Tiba-tiba, pada akhir 2007 lalu, sebuah permulaan dari krisis struktural meluluh-lantakkan ekonomi “paman sam”. Krisis itu makin menghebat pada tahun 2008, dan malahan menyebar ke berbagai negara Eropa, seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Latvia, dan lain-lain.
Lalu, pada tahun 2010, IMF dan Bank Dunia mulai mengobarkan kembali optimisme bahwa krisis sudah akan berakhir; ekonomi Amerika Serikat mulai bangkit, lalu ekonomi global mulai tumbuh positif. Tetapi belum kering mulut pejabat IMF dan Bank Dunia mengobarkan optimisme, tiba-tiba krisis yang lebih besar kembali menghantam: krisis utang di Amerika Serikat dan Uni-Eropa.
>>>
Menurut Samsul Hadi, ekonom dari Universitas Indonesia, krisis kapitalisme global saat ini menandai kegagalan free-market. Ia, dengan mengutip Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel itu, bahwa “the fall of Lehman Brothers is a fall free-market capitalism”.
Negara, yang sebelumnya dianggap biang-keladi kerusakan sistim ekonomi, kembali dipanggil sebagai “penyelamat”. Sedangkan pasar, khususnya pasar finansial yang dibebaskan (unregulated), dianggap sumber masalah.
“Dengan kejadian krisis global, kita melihat pasar menjadi sumber masalah, sedangkan negara menjadi solusi. Negara didorong memberi paket-paket stimulus,” ujar Samsul Hadi saat menjadi pembicara dalam diskusi “Krisis Ekonomi Global Dan Pasal 33” di Galeri Kafe, Taman Ismail Marzuki, 12 Oktober 2011.
Bahkan, kata Samsul, ketika ekonomi dunia sudah terglobalisasi dan terkoneksi satu sama lain, krisis ekonomi sebuah negara semakin sulit dilokalisir. “Globalisasi atau dunia datar menjadi tidak relevan,” katanya.
Tetapi “negara sebagai solusi” juga tidak bisa terlalu diharapkan. Pasalnya, kata ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini, negara juga menjadi bagian dari masalah sebagaimana diperlihatkan dalam krisis utang di AS dan Yunani.
Yunani, dan juga Portugal, adalah dua negara dengan defisit belanja publik paling tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Sedangkan pengaruh gelembung spekulasi keuangan di kedua negara itu berskala menengah dan kecil.
Sehingga mimpi Paul Krugman untuk menjadikan negara “sebagai kuda tunggangan” untuk memancing “permintaan agregat” terbukti bermasalah. Apa yang dimaksud sebagai “model China” oleh Paul Krugman juga terkena dampak krisis.
“China itu sangat bergantung kepada ekonomi ekspor. Itu juga dialami oleh ekonomi negara seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Eropa Timur,” tegas Samsul Hadi.
Sementara itu, Fadli Zon, salah satu pimpinan partai Gerindra, kapitalisme sebagai sebuah ‘sistim yang gagal” sudah terjadi sejak lama. Selain krisis ekonomi global saat ini, krisis ekonomi 1996/7 di Asia adalah juga buah dari ‘krisis kapitalisme global’. “Krisis Asia itu juga disebabkan oleh adanya global capital movement,” terangnya.
Saat itu, katanya, pemicu krisis tidaklah sepenuhnya karena praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sebagaimana disuarakan ekonom neoliberal, tetapi sebagian besar karena krisis ekonomi global yang dipicu oleh global capital movement.
Dalam perspektif marxisme, krisis kapitalisme global saat ini sebetulnya tanda-tandanya sudah muncul sejak tahun 1970an. kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas).
Saat itu, untuk mengatasi krisis itu, arsitektur kapitalisme global mengajukan dua solusi: finansialisasi dan neoliberalisme. Finansialisasi dijalankan dengan keterpisahan antara sektor finansial dan sektor real, sehingga kapitalis mencetak keuntungan dari “kertas fiktif”. Sementara neoliberalisme dijalankan dengan mengintegrasikan ekonomi nasional dalam sebuah pasar global, sebagai solusi atas krisis over-produksi dan over-akumulasi dari negeri kapitalis maju.
Sekitar 95% aktivitas ekonomi saat ini adalah bersifat financial. Sedangkan produksi, transportasi, dan penjualan hanya menempati angka 5%. Sudah begitu, seluruh aktivitas ekonomi keuangan ini berjalan tanpa kontrol politik dan publik, sehingga mendorong dunia dalam sebuah krisis ekonomi yang sangat buruk.
>>>
Seperti apa dampak krisis ekonomi dunia terhadap Indonesia?
Dalam dunia yang sudah terglobalisasi dan terkoneksi satu sama lain, krisis yang menyerang suatu negara dengan sendirinya, baik langsung maupun tidak langsung, akan menyebrang dan mempengaruhi ekonomi negara lain.
Apalagi jika yang krisis adalah induk kapitalisme global, yaitu Amerika serikat dan Eropa, tentu akan membawa pengaruh di negara-negara lain di dunia. Pendek kata, ‘jika Amerika bersin, maka bukan cuma airnya yang terkena ke muka kita, tapi juga penyakit demamnya.’
Bagi Samsul Hadi, dampak krisis global yang sudah mulai terasa di Indonesia adalah turunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5%. “Itu berarti ada penurunan transaksi, ada pelarian atau penarikan modal.
Hanya saja, sektor finansial ini, jika mengacu pada data Kompas, hanya dimasuki 311.000 pemain. Artinya, sektor ini tidak berhubungan langsung dengan rakyat jelata.
Di mata Samsul Hadi, ancaman nyata terhadap ekonomi nasional justru berasal dari dampak kerjasama FTA dengan China. “Sektor industri kehilangan 20% lapangan kerja, kapasitas produksi nasional menurun 25%,” ungkapnya.
Data Investor Daily, yang dikutip oleh Samsul Hadi, menyebutkan, hanya empat bulan setelah FTA dengan China diberlakukan, impor mainan anak-anak dari China meningkat 952%. Kemudian impor tekstil meningkat menjadi 225%. Ini berarti meningkatnya kehilangan pekerjaan atau pengangguran.
Dengan mengutip ekonom Belanda di masa lalu, Samsul Hadi menjelaskan soal dualisme ekonomi Indonesia: (1) ekonomi yang terkoneksi dengan kapitalisme global, dan (2) ekonomi rakyat yang subsisten.
Ini masih nampak sampai sekarang, seperti konfigurasi segelintir orang yang sangat kaya dan bermain di pasar finansial dan 75% rakyat Indonesia yang hidup di sektor informal. “Sektor informal ini sudah sangat terbiasa untuk cari cara sendiri untuk hidup,” tegasnya.
Dampak lainnya adalah turunnya ekspor Indonesia, khususnya untuk Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi, jika bercermin kepada pengalaman krisis ekonomi 2008, dampaknya tidak terlalu terasa kepada rakyat banyak.
Penyebabnya: penopang utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rakyat sebesar 57%. Artinya, kata Samsul Hadi, rakyat banyak tidak terlalu terkena dampak krisis ekonomi global 2008.
Itulah mengapa, dalam derajat tertentu, krisis kapitalisme global tidak serta-merta membawa dampak seketika terhadap rakyat Indonesia.
TAN MALAKA : GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandang Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis.Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus- kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.
Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannyamemisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.
Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat enjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.
Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”. Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik,ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri AmirSyarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya ditengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Selasa, 10 April 2012
Nyoto, Seorang Marxis Hingga Akhir Hayatnya
Akan tetapi, dalam diskusi menyambut Hari Kelahiran Nyoto, 17 Januari 1927, Sabar Anantaguna membantah keras pernyataan tersebut. Teman sekolah dan kolega Nyoto di Lekra ini justu lebih suka menggunakan istilah “Soekarno-Nyotois”.
“Kalau orang menyebut Nyoto sebagai Soekarnois, maka saya menjawab: Soekarno-Nyotois. Kenapa Soekarno dekat dengan PKI? itu karena Nyoto,” kata Sabar Anantaguna.
Sabar menganggap Nyoto sebagai orang memegang teguh prinsip, tidak mudah goyah dalam keadaan apapun. Bahkan, jika pidato-pidato Bung Karno di tahun 1960-an semakin condong ke marxisme, maka itu tidak lepas dari pengaruh Nyoto.
“Nyoto tidak semudah itu mengubah pendiriannya. Itu terlihat sejak ia masih kecil hingga terjun dalam pergerakan,” kata Sabar.
Dalam pengamatan Martin Aleida, bekas wartawan Harian Ra’jat yang ditugaskan meng-cover Bung Karno, Nyoto merupakan orang kepercayaan Bung Karno. “Dalam banyak kesempatan di istana negara, Bung Karno sering memanggil staffnya dan mempertanyakan keberadaan Nyoto. Ini memberikan ilustrasi betapa dekatnya Bung Karno dengan Nyoto kala itu.”
Martin Aleida pun mensitir salah satu pernyataan Bung Karno saat bertemu dengan tokoh-tokoh muda PNI, yang berkata: “Penafsiran mengenai Soekarnoisme yang paling benar adalah Nyoto.”
Sosok cerdas dan serba-bisa
Sabar Anantaguna, ketika menjadi teman sekelas Nyoto di MULO Solo, mengaku bahwa Nyoto merupakan sosok sangat cerdas dan pandai. “Sebagai pelajar, Nyoto sangat cerdas dan pandai. Tulisan-tulisannya selalu dijadikan contoh oleh guru,” kenang Sabar Anantaguna.
S. Anantaguna mengisahkan, suatu hari guru menyuruh mereka mengarang soal sepak bola dan harus ditulis dengan lucu. Saat itu, seingatnya, Nyoto menulis mengenai kekecewaan penjudi bola karena pertandingan batal dilakukan akibat lapangan tergenang oleh air hujan yang lebat.
Nyoto, yang lebih tua dua tahun dibandingkan S. Ananataguna, memperlihatkan kecerdasan dan kepandaiannya saat menjadi politikus. Tidak mengherankan, meski baru berusia 17 tahun, Nyoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–semacam parlemen paska di masa awal Republik– di Jogjakarta.
Dengan kepandaian dan kecerdasannya, Nyoto menjadi seorang politisi ulung di usia yang masih terbilang sangat muda. Selain itu, menurut S. Anantaguna, Nyoto seorang orator yang sangat hebat.
Berbeda dengan kebanyakan orator, Nyoto selalu berpidato dengan beretika dan menggunakan penjelasan rasional, tidak pernah memakai kata-kata kasar dan makian. “Dia menggunakan retorika-retorika yang hebat sekali dan mengena.”
Meski Nyoto tidak pernah menimbah ilmu di Universitas atau belajar di luar negeri, tetapi Sabar Anantaguna mengakui bahwa pengetahuan Nyoto luas sekali, terutama di bidang politik, filsafat, dan kebudayaan.
Nyoto yang dikenal tidak banyak bicara, dikenal juga sebagai tokoh yang punya kharisma dan pengaruh sangat kuat terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Saya rasa, kalau Bung Nyoto tidak ada, maka Lekra tidak akan pernah besar seperti jaman itu,” kata Martin Aleida, yang juga pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Begitu juga dengan kebesaran Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak lepas dari pengaruh Nyoto, yang pada saat itu berhasil mendekatkan PKI dan Bung Karno.
Selain kehebatan di bidang politik, Nyoto juga dikenal sebagai seorang pemain musik dan pencinta olahraga. Musik yang sering dimainkan Nyoto adalah electone. Namun, Nyoto diketahui pandai memainkan banyak alat musik, seperti biola, piano, gitar, saxophone dan klarinet.
“Saya tidak pernah melihat Nyoto memainkan Saxofone, tetapi dia memang sangat pintar memainkan electone. Kalau ada acara di istana, Nyoto sering bergabung dengan pemain musik dan memainkan electone untuk mengiringi tari lenso,” kenang Martin.
Martin juga menduga Nyoto seorang jago seni bela diri. Salah seorang pengawalnya, Hardono, adalah seorang ahli seni bela diri dan ada kemungkinan Nyoto belajar dari sana.
Dan, mungkin sedikit diantara kita yang tahu, bahwa Nyoto pernah menjadi penasehat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pemikiran Politik
Mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan sekaligus mahasiswa filsafat STF Driyarkara, Anom Astika, mengatakan: “Orang ini punya kemampuan, kalau dalam filsafat, berbicara dan menulis dengan memberikan arah atau orientasi politik.”
Anom Astika kemudian menunjukkan satu petikan tulisan Nyoto yang menjelaskan hal tersebut:
“Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya “orang gila”. Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang “gila” di mata burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana.”
Pada semua tulisan Nyoto, tambah Anom, Nyoto mengulas sejarah dengan sangat lengkap dan detail sekali, terutama tulisannya di Bintang Merah dan buku “Pers dan Massa”.
Meskipun banyak tulisan Nyoto yang memuji-muji Soviet, tetapi ia selalu berusaha menempatkan revolusi Indonesia seakan berbeda dengan revolusi Rusia. “Karakter independenya selalu nampak mencolok,” kata mantan tahanan politik rejim soeharto ini.
Anom juga mengeritik sebuah pernyataan dalam pengantar buku “Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, yang diterbitkan oleh TEMPO, bahwa “Nyoto menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.”
Menurut Anom Astika, komunisme memang tidak pernah memusuhi kapitalis, tetapi yang dimusuhi komunisme adalah relasi produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme.
Di luar yang diperkirakan orang, sebagaimana sering dituduhkan kepada stalinisme, Nyoto adalah pribadi yang sangat menghargai perbedaan pendapat dan selalu mencari arti penting dari perbedaan pendapat itu.
Nyoto sangat disegani seniman
Nyoto juga pernah menulis mengenai peringatan kematian Beethoven. Di zaman baru, koran terbitan milik Lekra, ada upaya penteorisasian aktivitas kesenian rakyat, salah satunya, penteorisasian musik alu—semacam pertunjukan memukul alu di dalam lesung.
Di Lekra, organisasi kebudayaan tempat Nyoto berkecimpung, S. Antaguna menyatakan bahwa Nyoto tidak pernah memaksakan Lekra harus memeluk realisme sosialis. “Dalam rapat-rapat Lekra, Nyoto lebih banyak diam. Baru kalau ada yang kurang disetujui, dia akan berbicara,” kata Antaguna.
Lekra akan menerima semua struktur dan gaya, asalkan itu berpihak kepada perjuangan rakyat. Nyoto sangat menyadari bahwa setiap seniman punya jati diri dan ide masing-masing.
Sangat Mencintai Keluarga
Ilham Dayawan, anak kedua Nyoto, mengaku bahwa ayahnya sangat sayang kepada keluarganya. “Jika berkunjung kemanapun, ia tidak pernah melupakan istri dan anak-anaknya.”
Ini juga dibenarkan oleh Martin dan S Anantaguna, yang sering menyaksikan Nyoto membawa anak-anaknya ke kantor Harian Ra’jat dan kegiatan-kegiatan Lekra.
Ilham juga masih mengingat bagaimana koleksi buku-buku ayahnya, yang memenuhi ruangan hingga menyundul langit-langit rumah. Di rumah Nyoto, di Jalan Malang, rak buku terdapat dimana-mana.
Nyoto juga menyimpan banyak koleksi piringan hitam, bukan saja koleksi musik klasik dari eropa, tetapi juga musik-musik nasional dan daerah.
Sebagai anak yang ditinggal ayahnya terlalu cepat, dalam usia 8 tahun, ia merasa sering merasa galau dan bertanya-tanya, terutama keberadaan Nyoto pasca 1965 itu masih gelap. “Kita tidak tahu bagaimana ia meninggal, dengan cara apa, dimana kuburnya.”
Mempertanyakan Akurasi Laporan TEMPO
Sementara itu, rumor perselingkuhan antara Nyoto dengan seorang perempuan Rusia bernama Rita dibantah keras oleh pembicara, yaitu Martin Aleida dan S. Anantaguna.
Menurut Martin Aleida, gaya sensasional TEMPO, terutama dalam mengangkat tokoh Rita dalam kehidupan Nyoto, menyebabkan laporan tersebut dipertanyakan akurasinya.
“Ini dikutip habis-habisan TEMPO dari Joesoef (Joesef Ishak). Sedangkan Joesof mendengar rumor itu di penjara Salemba. Benar tidak dengan itu?” kata Martin Aleida yang mengaku bahwa laporan TEMPO itu mengutip habis-habisan pernyataan Joesoef Isak dalam sebuah diskusi.
Dan, Martin menyarankan, jika mau menukik lebih jauh mengenai siapa Rita ini, ada baiknya menggali informasi dari Sibarani, karikaturis Indonesia jaman itu, yang juga kenal dan punya hubungan dengan Rita.
Sabar Anantaguna menganggap kasus itu masih sebatas rumor, sesuatu yang belum tentu benar dan mesti diverifikasi kebenarannya.
“Nyoto adalah orang yang sangat mencintai istrinya, Soetarni,” tegasnya.
Hal lain yang dibantah dari laporan TEMPO adalah pernyataan bahwa “Nyoto menghilangkan Hemingway dari catatan.” “Ini tidak benar,” kata Martin.
Yang benar, menurut Martin, ketika terjadi kampanye anti-film Amerika dan ada baliho tentang film Amerika berjudul “The Old Man and The Sea”, di situ ada photo Ernest Hemingway sebagai penulisnya.
Ketika gambar baliho itu mau dimuat di Harian Ra’jat, Nyoto menghitamkan nama Ernest Hemingway ini. Karena Nyoto sangat tahu bahwa Hemingway adalah seorang yang berfikiran maju, dan bersahabat dengan Fidel Castro dan sering memancing bersama-sama.
Perpecahan Nyoto-Aidit dan G.30/S
Nyoto adalah orang yang sangat teguh pendirian, tidak mudah untuk berganti ideologi. Dengan demikian, adalah tidak benar untuk menyimpulkan bahwa Nyoto telah bergeser dari seorang marxis-leninis menjadi soekarnois.
Begitu juga dengan isu perpecahan Nyoto-Aidit, yang menurut isu yang berhembus, menyebabkan Nyoto tersingkir dari perahu kepemimpinan partai.
Dalam ingatan Sabar Anantaguna, Nyoto merupakan orang sangat cinta kepada partai dan patuh kepada Aidit. Sebagai contoh, Sabar mengutip pernyataan Nyoto bahwa “dia berangkat ke Moskow atas pesan Aidit dan di sana ia mengejek Khrushchev (Nikita Khrushchev) di sana. Itu pertanda bahwa PKI menentang revisionisme.
Bahwa Nyoto tidak tahu menahu soal G.30/S, Sabar menganggap hal itu mungkin saja. “Kala semua tahu, PKI akan menyelamatkan diri,” ujar Antaguna dengan nada kelakar.
Pada intinya, menurut Anantaguna, bukan cuma Nyoto yang kemungkinan tidak tahu soal G.30/S, tetapi banyak orang PKI memang tidak tahu. Pada saat itu, partai sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melakukan parlawanan terhadap teror kaum reaksioner.
Soal loyalitas Nyoto terhadap PKI, itupun tidak dapat diragukan lagi. “Nyoto mempertahankan partai hingga akhir hayatnya. Bahkan, Nyoto lebih duluan mati dibanding Aidit,” katanya.
Satu pertanyaan diajukan Sabar Anantaguna, “Jika Nyoto memang lebih loyal kepada Bung Karno, kenapa dia tidak pergi ke Bung Karno dan memaki-maki PKI pasca G.30/S?”
Menurut catatan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, Aidit bertemu Nyoto di Solo pada pertengahan tahun 1946, setelah ia lepas dari penjara pulau Onrust.
http://berdikarionline.com/tokoh/20110119/nyoto-seorang-marxis-hingga-akhir-hayatnya.html
BBM Akan Tetap Naik, Mari Lanjutkan Perlawanan!
Sumber** : koranpembebasan.wordpress.com
Seri Tolak BBM Naik 1
Cukup Sudah Dipermainkan DPR, Dibohongi Pemerintah SBY-Budiono
BBM Akan Tetap Naik, Mari Lanjutkan Perlawanan!
Bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu sumber energi pokok bagi kelangsungan hidup rakyat. Naik turunnya harga BBM menentukan naik turunnya harga produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan lainnya yang menggunakan BBM, seperti: listrik, transportasi, bahan makanan pokok (utamanya beras, jagung, kedelai, terigu, telor dan gula) dan seterusnya. Oleh karena itu BBM menjadi barang komoditas (dagangan) yang paling utama dan paling penting, sekaligus paling menguntungkan bagi para pemiliknya.
Naik turunnya harga BBM di Indonesia disebabkan oleh: persaingan antar perusahaan-perusahaan raksasa minyak dunia, seperti: Chevron, Caltex, Exxon, dan Conoco Phillips (AS), Shell (Belanda), Total (Perancis) , BP (Inggris), Petro Cina (Cina), yang sedang menguasai perindustrian minyak di seluruh dunia—termasuk Indonesia, saling terkait dengan naik turunnya kurs dollar terhadap rupiah—pemerintah membeli minyak dengan mata uang dollar, struktur industri minyak nasional yang tidak efisien, minim teknologi, dan tidak mandiri, situasi cadangan minyak nasional dan internasional serta spekulasi harga minyak di pasar saham.
Bila negara tidak turun tangan mengintervensi harga BBM (dalam bentuk subsidi hingga pengambilalihan penguasaan) maka harganya bisa semakin jauh dari daya beli rakyat. Oleh karena itu negara Indonesia menetapkan besaran subsidi agar harga BBM berada dalam “jangkauan” masyarakat. Pengurangan subsidi BBM (dan gas) inilah yang, paling tidak, sejak 10 tahun terakhir telah dilakukan SELURUH PEMERINTAHAN di Indonesia (dari Megawati hingga SBY), sehingga membuat harga BBM naik. Tahun ini pemerintah kembali hendak menaikkan harga BBM pada 1 April 2012, yang disambut kemarahan ratusan ribu rakyat diseluruh Indonesia, dan ditutup oleh dagelan DPR pada 31 Maret 2012, dini hari.
Apa arti hasil sidang paripurna DPR 31 Maret 2012?
Pertama, kenaikan BBM 1 April DITUNDA. Namun, kebutuhan BBM rakyat dibuat semakin tidak dilindungi dan diserahkan pada mekanisme pasar dalam 6 bulan ke depan. Berdasarkan keputusan DPR, harga BBM AKAN DINAIKKAN jika: rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) selama 6 bulan (berturut-turut) melampaui 15% dari asumsi RAPBN-P yang besarnya $105/barel. Dengan kata lain, pemerintah SBY-Budiono akan menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP selama 6 bulan melampaui $120.75. Inilah makna dari tambahan ayat 6a pada pasal 7 UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN Perubahan (APBN-P).
Dengan demikian maka kenaikan harga BBM hanya tinggal menunggu waktu, karena harga rata-rata ICP sejak Januari-Maret 2012 sudah mencapai $122,07/barel. Tidak ada jaminan ICP akan turun di 3 bulan atau 6 bulan mendatang, sehingga harga rata-rata ICP bisa di bawah $120. Ketika harga ICP ditentukan oleh sebab-sebab diatas, maka kita sudah mengetahui bahwa jika harga BBM Indonesia ditentukan oleh naik-turunnya harga ICP, berarti pemerintah sedang menyerahkan nasib kita ke tangan pasar yang dikuasai oleh raksasa-raksasa minyak di atas.
Kedua, DPR saat ini tak bisa lagi dipercaya setelah mereka berjudi nasib rakyat menggunakan isu BBM (demi pemilu 2014). DPR lepas tangan dengan menyerahkan keputusan untuk menaikkan harga BBM kepada pemerintah berdasarkan logika pasar, setelah sebelumnya bersandiwara pura-pura menolak kenaikan harga BBM, namun ternyata mendukung opsi 2 (penambahan ayat 6a). Ada tiga lakon sandiwara partai-partai yang terjadi di DPR saat itu. Lakon pertama adalah penjahat (antagonis) yang peran utamanya adalah Partai Demokrat; lakon kedua adalah penjilat (oportunis) yang diperankan oleh partai-partai pendukung koalisi seperti PAN, PKB, PKS, PPP, dan PBB; lakon ketiga adalah pahlawan (protagonis) yang pemeran utamanya adalah PDIP dibantu oleh Gerindra dan Hanura.
Di penghujung cerita, ternyata, hanya PDIP lah yang tampil sebagai pahlawan karena tetap menolak opsi 2. Namun anehnya, ratu PDIP, Megawati Soekarnoputri, pada akhirnya melarang kadernya turun ke jalan dengan membawa bendera PDIP untuk menolak kenaikan BBM, seperti halnya raja PDIP, Taufik Kemas, yang meminta maaf pada pemerintah (yang isinya partai koalisi) terkait demo-demo BBM oleh kader partainya. Mungkin perannya dalam lakon ini adalah pahlawan bertopeng.
Apa arti berbagai protes menolak kenaikan BBM menjelan 1 April 2012?
Bahwa rakyat, khususnya mahasiswa dan buruh, lah pahlawan sejatinya! Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di kota Jakarta, Tangerang, Medan, Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, Purwokerto, Semarang, Cirebon, Indramayu, Surabaya, Mojokerto, Solo, Yogyakarta, Makassar, Palu, Mamuju, Samarinda, Balikpapan, Ambon, Ternate, Jayapura, melakukan protes dengan berbagai metode, yang bertujuan agar rencana kenaikan BBM dibatalkan. Blokade jalan, upaya keras untuk masuk dan menduduki kantor-kantor pemerintah, bandar udara, pelabuhan, yang berbuah gas air mata, pemukulan, penyiksaan, peluru karet, penangkapan, dan pemenjaraan oleh dari aparat keamanan, BERHASIL MEMAKSA DPR MENUNDA kenaikan BBM 1 April.
Artinya politik protes massa, demonstrasi massa, partisipasi langsung massa, pergerakan massa adalah satu-satunya politik yang disegani penguasa, menguntungkan rakyat. Sementara politik sandiwara, tipu-tipu, muka dua, yang tidak menghendaki partisipasi massa, adalah politik yang merugikan rakyat dan menguntungkan penguasa.
Apa yang harus kita lakukan?
- Melanjutkan perlawanan dan aksi-aksi protes menolak kenaikan BBM.
- Membuat perlawanan menjadi lebih luas, lebih kuat, lebih pandai, lebih kreatif, lebih berani, lebih terencana dan terorganisir dengan baik, dengan melibatkan semua sektor rakyat yang akan paling sengsara kalau BBM naik: buruh, supir, petani kecil, nelayan, ibu-ibu rumah tangga, pedagang-pedagang kecil, tukang dagang keliling, dst.
- Menyebarkan bahan-bahan bacaan, slogan-slogan aspirasi dan tuntutan, melalui berbagai macam media kreatif (selebaran, corat coret dinding kota, stiker, lukisan, kartun, lirik lagu, spanduk, poster, kartu pos, dll) untuk membantu rakyat mengerti apa yang sedang terjadi, mendiskusikan dan memperdebatkannya agar tak lagi-lagi ditipu dan dibodohi.
- Membangun wadah-wadah protes BBM naik, tolak pengurangan subsidi, tolak dimiskinkan, dll, dengan aktivitas yang beragam dan sekreatif mungkin.
- Bersatu!
Apakah Feminisme Sosialis?*
Barbara Ehrenreich**
Artikel yang pertama kali muncul dalam majalah WIN tanggal 3 Juni, 1976, dan dicetak kembali di sini atas izin pengarang, merupakan pemikiran klasik sosialis feminis. Setelah puluhan tahun perdebatan atas isu-isu ini, kebutuhannya, dalam pandangan kami, tidak pernah berkurang.—Editor
Pada tingkatan tertentu, mungkin tak terlalu pas dijabarkan, feminisme sosialis telah ada sejak lama. Kau adalah perempuan di dalam masyarakat kapitalis. Kau dilanda amarah: menyangkut pekerjaan, tagihan-tagihan, suamimu (atau mantan), sekolah anak-anak, pekerjaan rumah, cantik atau tak cantik, diperhatikan atau tak diperhatikan (dan juga tak didengar), dll. Jika kau memikirkan semua ini dan bagaimana semua itu cocok satu sama lain, serta apa yang harus diubah, kemudian kau mencari kata-kata yang sekaligus menyiratkan semua pikiran ini dalam bentuk singkat, kau akan hampir mendapatkan apa yang disebut “feminisme sosialis.”
Banyak diantara kita menjadi feminisme sosialis hanya dari cara semacam itu. Kita sedang mencari sebuah kata/istilah/frasa untuk mulai mengekspresikan semua keresahan kita, semua prinsip kita, dengan cara yang sepertinya bukan “sosialis” maupun “feminis”. Aku harus akui bahwa banyak kaum feminis sosialis yang aku kenal juga tak senang dengan istilah “feminis sosialis”. Di satu sisi (istilah) itu terlalu panjang (aku tak berharap pada suatu sambungan pergerakan massa); di sisi lain nama itu juga masih terlalu pendek untuk apa yang disebut feminisme sosialis internasionalis antirasis dan anti heteroseksis.
Persoalan ketika memberi label baru pada sesuatu adalah ia serta merta menciptakan aura sektarianisme. “Feminisme sosialis” menjadi suatu tantangan, suatu misteri, suatu bahasan dalam dan pada dirinya sendiri. Kita memiliki para pembicara, konferensi-konferensi, artikel-artikel mengenai “feminisme sosialis”—meskipun kita tahu persis bahwa baik “sosialisme” dan “feminisme” terlalu besar dan terlalu umum sebagai bahan yang bagus untuk setiap pidato, konferensi, artikel, dll. Orang, termasuk yang menyatakan diri sebagai feminis sosialis, bertanya pada diri mereka sendiri, “Apa itu feminisme sosialis?” Ada semacam ekspektasi bahwa ia adalah (atau akan demikian dalam beberapa saat, mungkin dalam pidato, konferensi atau artikel berikutnya) sintesis yang brilian dari bagian-bagian historis dunia—suatu lompatan evolusioner Marx, Freud, dan Wollstonecraft. Atau ia akan berubah menjadi tiada arti, suatu model yang digunakan oleh segelintir feminis dan sosialis feminis yang resah, suatu gangguan sementara saja.
Aku mau mencoba menerobos beberapa misteri yang telah tumbuh disekitar feminisme sosialis. Suatu cara logis memulainya adalah dengan melihat sosialisme dan feminisme secara terpisah. Bagaimana seorang sosialis, lebih tepatnya, seorang Marxis, melihat dunia? Bagaimana seorang feminis? Untuk memulainya, Marxisme dan Feminisme memiliki memiliki satu kesamaan penting: keduanya adalah cara pandang kritis dalam melihat dunia. Keduanya menghancurkan mitologi rakyat dan kebiasaan “awam” dan memaksa kita untuk melihat pengalaman dengan suatu cara baru. Keduanya mencoba memahami dunia—bukan dalam bentuk keseimbangan statis, simetris, dll (seperti dalam ilmu sosial konvensional)—namun dalam bentuk yang antagonisme. Keduanya menuju kesimpulan yang menggelegar dan menggelisahkan dan, disaat bersamaan, juga membebaskan. Tak akan bisa memiliki cara pandang Marxis atau feminis dan tetap sekadar menjadi seorang penonton. Untuk memahami realitas yang dijentrengkan oleh analisa ini, artinya bergerak menjadi aksi untuk mengubahnya.
Marxisme mengarahkan dirinya pada dinamika kelas dalam masyarakat kapitalis. Setiap ilmuwan sosial tahu bahwa masyarakat kapitalis ditandai oleh, lebih kurang, ketidaksetaraan yang sistemik. Marxisme mengerti ketidaksetaraan ini muncul dari proses yang melekat pada kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi. Minoritas orang (kelas kapitalis) memiliki seluruh pabrik-pabrik/sumber-sumber energi/sumber-sumber daya, dll, yang membuat mayoritas orang lain bergantung padanya untuk dapat bertahan hidup. Mayoritas (kelas pekerja) harus memenuhi semua kebutuhan, di bawah kondisi yang diciptakan oleh kapitalis, sesuai upah yang dibayar kapitalis. Karena kapitalis menghasilkan keuntungan dengan membayar upah lebih rendah daripada nilai sebenarnya yang diciptakan oleh pekerja, hubungan antara dua kelas ini tak terhindarkan menjadi salah satu antagonisme yang tak terdamaikan. Kelas kapitalis bergantung hidup pada kesinambungan eksploitasi atas kelas pekerja. Apa yang mempertahankan sistem kekuasaan kelas ini, pada akhirnya, (adalah) kekerasan. Kelas kapitalis mengontrol (secara langsung maupun tak langsung) alat-alat kekerasan terorganisir dalam wujud negara—polisi, penjara, dll. Hanya dengan mengobarkan perjuangan revolusioner yang bertujuan mengambil alih kekuasaan negara maka kelas pekerja dapat membebaskan dirinya, dan pada akhirnya, semua orang.
Feminisme mengarahkan dirinya pada ketidaksetaraan yang lazim lainnya. Seluruh masyarakat manusia ditandai oleh sekian derajat ketidaksetaraan antar jenis kelamin. Jika kita sekilas mengamati masyarakat manusia, disepanjang sejarah dan di berbagai benua, kita lihat bahwa mereka sama-sama dicirikan oleh: penundukan perempuan di bawah otoritas laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat secara umum; pemberhalaan perempuan sebagai sebuah properti; pembagian kerja seksual dimana perempuan dibatasi pada aktivitas seperti pemeliharaan anak, merawat orang tua laki-laki, dan bentuk-bentuk khusus kerja produktif (biasanya bereputasi rendah).
Kaum feminis, diserang oleh kelaziman yang hampir-hampir universal dari semua itu, telah mencari suatu penjelasan dari ‘takdir’ biologis yang terdapat di sepanjang kehidupan sosial manusia. Laki-laki secara fisik lebih kuat dari perempuan rata-rata, khususnya dibandingkan perempuan hamil atau perempuan yang menyusui bayi. Lebih jauh lagi, laki-laki memiliki kekuasaan untuk membuat perempuan hamil. Oleh karena itu bentuk-bentuk ketidaksetaraan seksual terletak—meski beragam bentuknya dari satu budaya ke budaya lain–, akhirnya, pada apa yang dengan jelas berupa kelebihan fisik yang laki-laki miliki atas perempuan. Yang artinya, akhirnya, terletak pada kekerasan, atau pada ancaman kekerasan.
Akar biologis dan paling awal dari supremasi laki-laki—sebenarnya kekerasan laki-laki—biasanya dikaburkan oleh hukum-hukum dan konvensi yang mengatur hubungan antar jenis kelamin dalam budaya tertentu di manapun. Namun, penindasan itu ada menurut analisis feminis. Kemungkinan serangan/pelecehan laki-laki terjadi sebagai suatu peringatan terus menerus terhadap perempuan yang “nakal/jahat” (melawan, agresif), dan membuat perempuan “baik” menjadi bertanggung jawab ke dalam supremasi laki-laki. Penghargaan karena telah menjadi “baik” (“cantik”, “patuh”) adalah (mendapat) perlindungan dari berbagai kekerasan laki-laki dan, dalam beberapa kasus, jaminan ekonomi.
Marxisme menghancurkan mitos mengenai “demokrasi” dan “pluralisme”nya dengan menunjukkan suatu sistem kekuasaan kelas yang bersandarkan pada pemaksaan eksploitasi. Feminisme menghancurkan mitos mengenai “insting” dan cinta romantis untuk menunjukkan aturan laki-laki sebagai aturan kuasa. Kedua analisa menghendaki kita melihat pada ketidakadilan yang mendasar. Pilihannya adalah memenuhi kehendak mitos-mitos tersebut, atau seperti Marx menyebutnya, memperjuangkan tata kehidupan sosial yang tidak membutuhkan mitos-mitos untuk mempertahankannya.
Adalah mungkin untuk menjumlahkan Marxisme dan feminisme dan hasilnya “feminisme sosialis.” Sebetulnya, mungkin, inilah cara pandang yang kerap digunakan oleh banyak kaum feminis sosialis–semacam hibrida, mendorong feminisme kita ke dalam lingkaran sosialis, sosialisme kita ke lingkaran feminis. Namun, satu persoalan ketika meninggalkannya demikian, adalah, membuat orang tetap bertanya-tanya “Baiklah, tapi apa sebenarnya itu?” atau menuntut pada kita “Apa kontradiksi pokoknya.” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, yang kedengarannya memaksa dan otoriter, seringkali menghentikan kita dalam perjalanan: “Buatlah pilihan!” “Satu atau yang lainnya!” Namun kita tahu bahwa terdapat suatu konsistensi politis terhadap feminisme sosialis. Kita bukanlah hibrida atau netral tak bersikap.
Untuk menuju pada konsistensi politis tersebut kita harus membedakan diri kita, sebagai feminis, dari feminis yang lain, dan sebagai Marxis, dari Marxis lainnya. Kita harus mengawasi (maaf atas terminologinya) feminisme jenis feminis sosialis dan sosialisme jenis sosialis feminis. Hanya dengan begitu terdapat satu kemungkinan hal-hal akan “berarti” lebih dari (sekadar) suatu penyajaran (pensejajaran) yang problematik.
Kupikir banyak kaum feminis radikal dan feminis sosialis akan setuju pada kapsul karakterisasi ku terhadap feminisme sejauh ini. Masalahnya dengan kaum feminisme radikal, dari sudut pandang feminis sosialis adalah, ia tak akan menuju ke mana-mana. Ia tetap terpaku pada universalitas supremasi laki-laki—hal yang tak pernah benar-benar berubah; semua sistem sosial yakni patriarki; imperialisme, militerisme, dan kapitalisme adalah semata-mata ekspresi dari agresifitas bawaan laki-laki. Dan lain-lain.
Masalahnya dengan ini, dari sudut pandang sosialis feminis, adalah bukan saja tak menyertakan laki-laki (dan kemungkinan rekonsiliasi dengan mereka atas landasan yang benar-benar setara dan kemanusiaan) namun juga meninggalkan banyak hal buruk tentang perempuan. Contohnya, mendistorsi negeri sosialis seperti China sebagai “patriarki”— saya dengar kaum feminis radikal mengatakannya—adalah mengabaikan perjuangan nyata dan capaian jutaan perempuan. Feminis sosialis, sambil bersetuju bahwa terdapat hal yang universal dan tanpa batas waktu menyangkut penindasan perempuan, telah menegaskan bahwa hal itu memiliki berbagai bentuk berbeda dalam seting berbeda-beda, dan perbedaan itu adalah sangat penting. Terdapat perbedaan antara suatu masyarakat dimana seksisme diekspresikan dalam bentuk pembunuhan bayi perempuan, dan suatu masyarakat dimana seksisme mengambil bentuk perwakilan tak setara di dalam Komite Sentral. Dan perbedaan tersebut pantas diperjuangkan hidup dan mati.
Salah satu variasi historis menyangkut seksisme, yang harus diperhatikan seluruh kaum feminis, adalah seperangkat perubahan yang muncul bersama dengan transisi dari suatu masyarakat agraris ke masyarakat industri kapitalisme. Ini bukanlah isu akademik. Sistem sosial yang digantikan kapitalisme industrial pada dasarnya adalah sistem sosial patriarkis, dan aku menggunakan istilah ini sekarang dalam makna aslinya, untuk mengartikan suatu sistem dimana produksi dipusatkan dalam rumah tangga dan dipimpin oleh laki-laki tertua. Kenyataannya adalah bahwa kapitalisme industrial hadir dan merobek sistem tersebut dari bawah patriarki. Produksi dibawa ke pabrik-pabrik dan individu ditarik dari keluarga untuk menjadi pekerja upahan “bebas”. Mengatakan bahwa kapitalisme mengacaukan organisasi produksi patriarkal dan kehidupan keluarga, bukan, tentu saja, mengatakan bahwa kapitalisme menghapuskan supremasi laki-laki! Namun benar bahwa bentuk-bentuk tertentu dari penindasan jenis kelamin yang kita alami saat ini, hingga derajat yang signifikan, adalah perkembangan yang baru. Suatu diskontinuitas historis terbentang antara kita dan patriarki yang sebenarnya. Jika kita hendak memahami pengalaman kita sebagai perempuan hari ini, kita harus bergerak pada suatu pemikiran mengenai kapitalisme sebagai suatu sistem.
Pasti terdapat cara lain agar aku dapat sampai pada poin yang semacam ini. Aku dapat saja sekedar bilang bahwa, sebagai feminis, kita paling banyak tertarik pada perempuan yang paling tertindas—perempuan miskin dan kelas pekerja, perempuan di dunia ketiga, dll—dan atas alasan ini kita mengarah pada kebutuhan untuk memahami dan mengkonfrontasi kapitalisme. Aku dapat saja bilang bahwa kita butuh menekankan sistem kelas karena kita adalah anggota kelas. Namun aku mencoba menunjukkan hal lain mengenai perspektif kita sebagai feminis: bahwa tak mungkin kita mengerti seksisme sebagai suatu tindakan atas hidup kita, tanpa meletakkannya ke dalam konteks historis kapitalisme.
Kupikir, sejauh ini, mayoritas feminis sosialis juga akan setuju dengan kemasan kapsul teori Marxis. Dan masalahnya lagi-lagi adalah bahwa banyak sekali orang (aku menyebutnya ”Marxis mekanik”) yang tidak beranjak ke mana-mana. Kepada orang-orang ini, satu-satunya yang “nyata” dan penting yang terjadi dalam masyarakat kapitalis adalah hal-hal yang terkait proses produktif atau lapangan politik konvensional. Dari sudut pandang tersebut, setiap bagian lain pengalaman dan keberadaan sosial—hal-hal yang terkait pendidikan, seksualitas, rekreasi, keluarga, seni, musik, kerja rumah tangga (sebutkan saja)—merupakan pinggiran dari dinamika utama perubahan sosial; hal tersebut adalah bagian dari “superstruktur” atau “kebudayaan”.
Feminis sosialis berada pada kubu yang sangat berbeda dari apa yang aku sebut “Marxis mekanik.” Kita (bersama dengan banyak, banyak Marxis lainnya yang tidak feminis) melihat kapitalisme sebagai suatu totalitas sosial dan kebudayaan. Kita memahami bahwa dalam kepentingannya mencari pasar, kapitalisme berkehendak memasuki setiap pojok dan celah kehidupan sosial. Khususnya pada fase kapitalisme monopoli, lapangan konsumsi sekecil apapun sama penting, dari sudut pandang ekonomi saja, seperti halnya dalam lapangan produksi. Sehingga kita tidak bisa memahami perjuangan kelas sebagai sesuatu yang terbatas pada isu upah dan jam kerja, atau sebatas isu-isu tempat kerja. Perjuangan kelas terjadi dalam setiap arena dimana kepentingan-kepentingan kelas berkonflik, dan itu termasuk pendidikan, kesehatan, seni, music, dll. Kita bertujuan untuk mentransformasi tak hanya kepemilikan alat-alat produksi, melainkan totalias kehidupan sosial.
Sebagai Marxis, kita mendekati feminisme dari tempat yang benar-benar berbeda ketimbang Marxis mekanik. Karena kita melihat kapitalisme monopoli sebagai sebuah totalitas politik, ekonomi, dan kebudayaan, kita memiliki ruang di dalam bingkai Marxis terhadap isu-isu feminisme yang tak berhubungan jelas dengan produksi atau “politik”, isu-isu yang memiliki hubungan dengan keluarga, layanan kesehatan, dan kehidupan “pribadi”.
Lebih jauh lagi, di dalam jenis Marxisme kita, tidak ada “persoalan perempuan”, karena sejak awal kita tidak pernah mengkompartementalisasi perempuan keluar dari “superstruktur” atau (diletakkan) di tempat lain. Marxis dengan kecenderungan mekanik terus menerus mendengungkan isu perempuan tak berupah (ibu rumah tangga): apakah ia anggota kelas pekerja? Tepatnya, apakah ia benar-benar memproduksi nilai lebih? Kita bilang, tentu saja ibu-ibu rumah tangga adalah anggota kelas pekerja—bukan karena kita memiliki bukti jelas apakah mereka benar-benar memproduksi nilai lebih—namun karena kita mengerti, bahwa kelas terdiri dari orang-orang, dan memiliki suatu kehidupan sosial yang jauh (berbeda) dari areal produksi yang didominasi kapitalis. Ketika kita memikirkan kelas dengan cara ini, lalu kita lihat bahwa pada dasarnya perempuan yang tampak paling terpinggir, ibu-ibu rumah tangga, berada (justru) pada jantung kelasnya—membesarkan anak, menyatukan keluarga, memelihara jaringan kultural dan sosial komunitas.
Kita menjadi satu jenis feminisme dan satu jenis Marxisme yang kepeduliannya beriring berjalan secara cukup natural. Kupikir sekarang kita sampai pada posisi untuk melihat mengapa feminisme sosialis telah begitu dimistifikasi: gagasan feminisme sosialis merupakan misteri besar atau paradoks, sepanjang yang dimaksud sosialisme adalah yang aku sebut “Marxisme mekanik” dan apa yang dimaksud dengan feminisme adalah suatu jenis feminisme radikal yang ahistoris. Kedua hal ini tak bisa sekadar dihubung-hubungkan; mereka tak sama.
Namun jika kau rekatkan bersama sosialisme jenis lain dan feminisme jenis lain, seperti yang aku coba definisikan, kau akan dapat beberapa landasan yang sama dan itu adalah salah satu yang terpenting mengenai feminisme sosialis saat ini. Ia adalah ruang—bebas dari penciutan atas feminisme yang dipendekkan dan versi Marxisme yang dipendekkan—dimana kita dapat mengembangkan jenis politik yang mengurusi totalitas politik/ekonomi/kebudayaan dari masyarakat kapitalis monopoli. Kita hanya dapat menuju ke sana, sejauh ini, melalui jenis feminisme yang sudah ada, jenis Marxisme konvensional, dan lalu kita harus memutus untuk menjadi sesuatu yang tidak terlalu terbatas dan tak lengkap dalam pandangannya tentang dunia. Kita harus mengambil nama baru, “feminisme sosialis”, bertujuan untuk menyatakan kehendak kita menyatukan keseluruhan pengalaman kita dan membangun suatu politik yang merefleksikan totalitas dari kesatuan tersebut.
Namun demikian, aku tidak mau meninggalkan teori feminisme sosialis sebagai suatu “ruang” atau landasan bersama. Hal-hal memang mula-mula berkembang dalam “landasan” tersebut. Kita menjadi lebih dekat pada suatu sistesis dalam pemahaman kita mengenai seks dan kelas, kapitalisme dan dominasi laki-laki, dibandingkan beberapa tahun lalu. Di sini aku akan mengindikasikan, hanya dengan sekilas-ringkas, menyangkut garis pemikiran tersebut:
- Pemahaman Marxis/feminis bahwa dominasi kelas dan seks bersandarkan, akhirnya, pada kekerasan adalah benar, dan ini tetap menjadi kritik paling jahat terhadap masyarakat kapitalis/seksis. Namun terdapat banyak hal terkait pernyataan “akhirnya” tersebut. Dalam hal kesehariaan, banyak orang rela pada dominasi kelas dan seks tanpa dibariskan oleh ancaman kekerasan, dan seringkali bahkan tanpa ancaman kekurangan material.
- Maka sangat penting kemudian, untuk mencari tahu apa itu, jika bukan penggunaan kekerasan secara langsung, dalam menjalankan segala sesuatu. Menyangkut kelas, sudah banyak yang menulis tentang kenapa kelas pekerja AS kurang memiliki kesadaran kelas yang militan. Tentu saja pembagian etnik, khususnya pemisahan hitam/putih, merupakan bagian kunci jawabannya. Namun aku berpendapat, selain dibuat pemisahan, kelas pekerja secara sosial sudah diatomisasi (dipisah-pisah). Lingkungan kelas pekerja telah dihancurkan dan dibuat rusak; hidup telah diprivatisasi sedemikian rupa dan mementingkan diri sendiri; keterampilan yang dahulu dimiliki kelas pekerja telah diambil alih oleh kelas kapitalis; dan “kebudayaan massa” yang dikontrol kapitalis menyisihkan hampir semua institusi dan kebudayaan asli kelas pekerja. Bukannya kolektifitas dan kemandirian sebagai sebuah kelas, (namun justru) terdapat saling isolasi dan ketergantungan kolektif pada kelas kapitalis.
- Penundukan perempuan, yang dikarakterisasi oleh masyarakat kapitalis tahap lanjut, merupakan kunci dari proses atomisasi kelas ini. Atau dengan kata lain, kekuatan-kekuatan yang telah mengatomisasi kehidupan kelas pekerja dan mempromosikan ketergantungan material/kebudayaan pada kelas kapitalis adalah kekuatan yang sama yang bertanggung jawab terhadap penundukan perempuan. Perempuan lah yang paling terisolasi dalam keberadaan keluarga yang telah semakin terprivatisasi (bahkan juga ketika mereka bekerja di luar rumah). Itulah, dalam banyak contoh, keterampilan perempuan (keterampilan produksi, pengobatan, kebidanan, dll), yang telah diragukan bahkan dilarang demi melapangkan jalan bagi komiditas. Perempuanlah, pertama-tama, yang didorong menjadi benar-benar pasif/tidak kritis/bergantung (dengan kata lain “feminin”) berhadapan dengan sebaran penetrasi kapitalis ke dalam kehidupan pribadi. Secara historis, penetrasi kapitalis tahap lanjut pada kehidupan kelas pekerja telah memilih perempuan sebagai target utama pasifikasi/”feminisasi”—karena perempuan adalah para pemegang-kebudayaan kelas mereka.
- Selanjutnya terdapat interkoneksi mendasar antara perjuangan perempuan dengan apa yang secara tradisional dipahami sebagai perjuangan kelas. Tidak semua perjuangan perempuan secara inheren memiliki desakan antikapitalis (khususnya bukan mereka yang hanya menghendaki kekuasaan dan kekayaan bagi kelompok perempuan tertentu), namun, semua yang membangun kolektivitas dan kemandirian kolektif di kalangan perempuan, sangat penting untuk pembangunan kesadaran kelas. Selain itu, tidak semua perjuangan kelas secara inheren memiliki desakan antiseksis (khususnya bukan mereka yang menggandol nilai-nilai patriarkal praindustri), namun, semua yang berkehendak membangun otonomi sosial dan kebudayaan kelas pekerja, sangat berkaitan dengan perjuangan pembebasan perempuan.
Ini merupakan, dalam garis besar yang sangat kasar, satu arah yang diambil oleh analisis feminis sosialis. Tak ada yang mengharapkan suatu sintesa muncul yang akan menjatuhkan perjuangan feminis dan sosialis menjadi hal yang sama. Kapsul rangkuman yang aku berikan sebelumnya mengandung kebenaran “akhir”: bahwa terdapat aspek-aspek penting dari dominasi kapitalis (seperti penindasan rasial) yang perspektif feminis murni tidak dapat mengaitkan atau mengatasinya—tanpa distorsi yang aneh. Terdapat aspek-aspek penting dari penindasan seks (seperti kekerasan laki-laki di dalam keluarga) yang sangat sedikit ada dalam pemikiran sosialis—lagi, tanpa distorsi dan banyak pengaretan. Oleh karena itu butuh untuk terus menjadi sosialis dan feminis. Namun, terdapat cukup sistesis, baik dalam apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan, untuk mulai percaya diri memiliki identitas sebagai feminis sosialis.
*http://www.marxists.org/subject/women/authors/ehrenreich-barbara/socialist-feminism.htm
** Barbara Ehrenreich adalah pengarang 13 buku termasuk Bait and Switch: The (Futile) Pursuit of the American Dream, yang akan datang dari Metropolitan Books, dan Nickel and Dimed: On (Not) Getting By in America (Metropolitan Books, 2001).
–Diterjemahkan oleh Zely Ariane
Senin, 09 April 2012
Melihat
trackback
Dengan ironi yang dahsyat, dengan magnífica ironía, Tuhan memberi Jorge Luis Borges dua hal: buku-buku dan malam hari. Di tahun 1950-an, pada usia setengah abad, penyair besar Argentina itu jadi buta sepenuhnya.
Tapi menarik bahwa dalam sajak yang ditulisnya tentang kejadian itu ia memakai kata ”malam hari”, la noche, untuk menggambarkan ”buta”. Borges yang lahir di akhir abad ke-19 mungkin lupa: abad ke-20 telah memperkenalkan sisi lain dari malam, yaitu cahaya. Bahkan cahaya itu berpendar mewah, atau bertebar di mana-mana, dan gelap menjadi minoritas. Malah sebuah cacat. Terutama di kota-kota besar.
Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.
Tentu saja akan berlebihan bila kita pisahkan masa kini dari masa lalu. Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an.
Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.
Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.
Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya Borges–apalagi ketika bahkan buku-buku juga sedang meninggalkannya. Sejak ia kecil deretan jilid berbaris di rumahnya. Bertahun-tahun ia sentuh kertas yang membentuk pagina itu dan ia hidu aroma tintanya. Tapi hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Di pertengahan abad ke-20 Tuhan memberi Borges buku dan malam hari. Kini sejarah teknologi merenggutkan keduanya. Beruntung ia tak menyaksikan babak baru ini. Ia meninggal pada 1986.
Saya kira saat itu ia bebas. Maksud saya, ia tak akan digedor iklan yang tanpa jeda. Ia tak akan dijepit etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt. Tapi sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia.
Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”
Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.
Itulah yang saya maksud: mungkin yang didapat Borges sebuah magnífica ironía yang membebaskan.
Ia beroleh buku: tempat tersimpannya apa yang tak ada di dunia etalase, ruang visual yang rata. Buku Borges sendiri contohnya: di dalam cerita-ceritanya, fantasi lebih berperan, bahkan mengecoh fakta. Di sana datang hal yang tak pernah dilihat: Borges menulis The Book of Imaginary Beings. Di situlah ia hidup bersama ”malam”: fantasi & imajinasi meriah justru ketika kita tak tergoda untuk melihat. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” kata Borges dalam satu sajaknya.
Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali. Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan puisi.
~Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011~
Republik Sandal Jepit
Besar dan Kecil ~ Iwan Fals~
Kau seperti bis kota atau truk gandengan
Mentang mentang paling besar klakson sembarangan
Aku seperti bemo atau sandal jepit
Tubuhku kecil mungil biasa terjepit
Pada siapa kumengadu?
Pada siapa kubertanya ?
Kau seperti buaya atau dinosaurus
Mentang mentang menakutkan makan sembarangan
Aku seperti cicak atau kadal bunting
Tubuhku kecil merengit sulit dapat untung
Pada siapa kumengadu?
Pada siapa kubertanya ?
Sandal jepit cukup populer di kalangan masyarakat. Dan dua hari terakhir, nama sandal jepit sampai disebut-sebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perhatian SBY terhadap sandal jepit dikarenakan kasus yang menimpa AAL, seorang pelajar SMK berusia 15 tahun. Pada Maret 2011, anggota Polri Briptu Ahmad Rusdi yang indekos di Jl. Zebra, Palu, merasa kesal lantaran sandal jepit miliknya selalu hilang. Rusdi menuding AAL sebagai pelaku pencurian. Sayangnya, proses hukum sepertinya tak berpihak kepada AAL. Ia mengaku telah dianiaya polisi.
Kasus berlanjut ketika para polisi ini dilaporkan ke Propam Polda Sulteng. Para polisi pun sudah dijatuhi hukuman. Dari sini, kasus yang sedianya selesai secara kekeluargaan, berbelok ke ranah hukum. Para polisi ini membawa perkara pencurian sandal tersebut ke ranah hukum dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa. Hal inilah yang membuat simpati dari berbagai kalangan masyarakat bermuculan di sejumlah daerah. Mirip dengan kasus yang menimpa Prita, masyarakat pun menggelar aksi pengumpulan 1.000 sandal jepit. Pengumpulan sandal jepit itu bertujuan untuk menyindir penegak hukum karena dinilai melakukan tugasnya tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum di negeri ini dinilai masih sangat diskriminatif.
Jauh sebelum kasus “sandal jepit” merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya “Besar dan Kecil”. Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Kasus AAL mengingatkan kita pada kasus nenek Minah (55) yang didakwa mencuri tiga buah kakao di Kabupaten Banyumas pada November 2009. Seolah dalam sejumlah kasus, hukum sudah tak berpihak lagi kepada rakyat kecil, tetapi kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan tentunya uang.
Meski sudah ada reformasi di bidang politik, untuk urusan hukum tetap saja jalan di tempat. Penegakan hukum seperti pisau dapur yang hanya tajam ke bawah, tapi tumpul di atas. Atas nama hukum, banyak sekali koruptor yang melenggang bebas. Kita lihat berapa hukuman terberat seorang koruptor yang jelas-jelas merampok uang negara.
Belum lagi fasilitas istimewa dan sejumlah keistimewaan lainnya saat para koruptor ini dipenjara. Pemerintah, penegak hukum, dan pengadilan tampak begitu ramah terhadap mereka yang berduit. Sering kali terdengar, aparat hukum banyak bermain-main dengan para koruptor. Kasus Gayus Tambunan membuktikan betapa tidak seriusnya negara ini menegakkan hukum.
Kasus sandal jepit ini memang cukup jelas mengguncang nurani masyarakat akan keadilan. Meski harus kita akui, hukum juga harus ditegakkan. Namun, seperti konsep keadilan, apakah perlu kasus pencurian seperti itu masuk dalam ranah pemidanaan, terlebih perkara ini menyangkut anak di bawah umur. Kalaupun memang benar-benar mau ditegakkan tanpa pandang bulu, hukum seharusnya seperti belati, tajam di ujung dan kedua sisinya. Hukum seharusnya juga buta seperti yang disimbolkan patung Dewi Keadilan.
Keadilan hukum di negeri ini faktanya hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.
Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.
Tidak Ada Kedaulatan Negara Tanpa Rasa Keadilan
Tujuan akhir bernegara adalah menciptakan keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara dibentuk untuk empat tujuan yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Empat tujuan bernegara tersebut sesungguhnya sangat bertautan dengan keadilan.
Apakah UUD 1945 dijalankan secara konsekuen ? Mari coba kita tengok sebuah fakta tentang penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. The World Justice Project dalam Rule of Law Index 2010 memberi sebuah penilaian yang sangat memprihatinkan. Dari 35 negara yang disurvei seperti Amerika Serikat,Swedia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Spanyol,Australia, Afrika Selatan, Meksiko, Argentina, Turki, Thailand, Peru, Bolivia, Maroko, dan sebagainya, Indonesia mendapatkan nilai rendah untuk keadilan (access to justice) dengan peringkat ke-32 dari 35 negara.
Sementara untuk kategori pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, kita berada di posisi tengah-bawah di peringkat ke-25 dari 35 negara. Data ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen terhadap hukum dan keadilan. Sistem demokrasi yang kita adopsi ternyata belum mampu memberi perlindungan hukum kepada warga negara, keadilan bagi semua orang, karena masih ada diskriminasi serta rendahnya kesadaran akan pentingnya penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Sangat menyedihkan dan miris manakala hukum dipermainkan dan keadilan diperjualbelikan. Inilah potret dari Republik Sandal Jepit dimana rakyat mungil biasa dijepit.
Mengapa besar selalu menang?
Bebas berbuat sewenang-wenang
Mengapa kecil selalu tersingkir
Harus mengalah dan menyingkir
Apa bedanya besar dan kecil?
Semua itu hanya sebutan
Ya walau didalam kehidupan
Kenyataan harus ada besar dan kecil
~ 7 Buku ~
-
Sumpah Pemuda: Pemuda Yang Mendambakan Indonesia
Chapter 1: Manifesto 1925: Prolog dari Belanda Chapter 2: Penggagas Kongres Pemuda Pertama Chapter 3: Secarik Kertas untuk Indonesia Chapter 4: Sang Pemimpin yang Redup Chapter 5: Kebangsaan Sunario Chapter 6: Taman Asmara Sang Komponis Chapter 7: Jejak Samar Bapak Kos Chapter 8: Bung Karno dan Kongres Pemuda II Chapter 9: Pemuda di Dalam Buku Chapter 10: Makam Tak Bertanda di Ngalihan Chapter 11: Dokter Politik dari Timur Chapter 12: Musim Gugur di Kubur ‘Penemu’ Indonesia Chapter 13: Sundari, Kacamata Merah Muda Chapter 14: Terinspirasi Kartini Chapter 15: Bersumpah untuk Bahasa
-
Bung Karno: Mencapai Indonesia Merdeka
Chapter 1: Sebab-Sebabnya Indonesia Tidak Merdeka Chapter 2: Dari Imperialisme-Tua Ke Imperialisme-Modern Chapter 3: “Indonesia, Tanah yang Mulia, Tanah Kita Yang Kaya; Disanalah Kita Berada Untuk Selama-lamanya!”…. Chapter 4: “Di timur Matahari Mulai Bercah’ya, Bangun Dan Berdiri, Kawan Semua!…” Chapter 5: Gunanya Ada Partai Chapter 6: Indonesia Merdeka Suatu Jembatan Chapter 7: Sana Mau Ke Sana, Sini Mau Ke Sini Chapter 8: Machtsvorming, Radikalisme, Aksi-Massa Chapter 9: Disebrangnya Jembatan Emas Chapter 10: Mencapai Indonesia Merdeka
-
Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat
-
Sjam Kamaruzzaman: Lelaki Misterius Dalam Sejarah Indonesia
chapter 1: Anak Tuban dalam Halimun G30S chapter 2: Lelaki dengan Lima Alias chapter 3: Agen Merah Penyusup Tentara chapter 4: Gerakan dengan Tiga Pita chapter 5: Sjam Suka Omong Besar chapter 6: Nyanyian God Father Blok III chapter 7: Intel ‘Penggarap’ Tentara chapter 8: Perjalanan Preman Tuban chapter 9: Pathuk, Soeharto, Perkenalan Biasa chapter 10: Rumah Teralis Bunga Teratai chapter 11: Akhir Pelarian Sang Buron chapter 12: Kesaksian Sjam chapter 13: Jungkir-Balik Setelah Prahara chapter 14: Peluk Terakhir buat Sang Putri chapter 15: Versi Mutakhir G30S
-
NYOTO: Peniup Saksofon di Tengah Prahara
-
DN Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara
-
MUSSO, Si Merah Di Simpang Republik